Oleh: Budi Puryanto
Gudang pelabuhan yang dijadikan markas Garuda Hitam terasa lebih tegang dari biasanya. Asap rokok bercampur bau bahan peledak yang masih tersisa dari operasi kemarin. Para anggota bersenjata mondar-mandir, tapi kali ini dengan tatapan penuh curiga satu sama lain.
Komandan Bram berdiri di depan meja operasi, menatap laporan yang baru masuk. “Polisi bergerak terlalu cepat setelah ledakan. Seolah-olah mereka sudah tahu kita akan menyerang Stasiun Palmerah.”
Ia menghantam meja dengan tinjunya. “Ada kebocoran di antara kita!”
Gema yang duduk di pojok, wajahnya pucat, mencoba menenangkan. “Jangan gegabah. Bisa jadi aparat memang sudah siaga tinggi sejak pengepungan malam itu.”
Bram menggeleng. “Tidak. Ini berbeda. Mereka tahu detail. Bahkan jalur mundur kita sempat terdeteksi. Itu berarti ada mata-mata di sini.”
Paranoia
Maya, yang selama ini bertugas sebagai penghubung informasi dan analis, tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Beberapa anggota menatapnya penuh kecurigaan.
“Dia yang paling baru masuk ke lingkaran inti,” bisik salah satu prajurit. “Dan entah kenapa setiap kali dia ikut rapat, operasi kita selalu bocor.”
Maya tetap tenang, meski jantungnya berdetak cepat. “Kalau aku mata-mata, kalian pikir aku masih duduk di sini sekarang? Aparat pasti sudah menyerbu tempat ini.”
Bram menatap tajam, lama sekali. “Mungkin kau cukup pintar untuk tidak langsung memberi mereka alamat, tapi cukup memberi informasi supaya mereka selalu satu langkah di depan.”
Hening mencengkam.
Gema akhirnya angkat bicara. “Komandan, berhenti. Kalau kita saling curiga, itu justru yang diinginkan Pradipa. Aku jamin Maya bukan pengkhianat. Aku sendiri yang membawanya ke sini.”
Bram mendekat, menatap Gema lurus. “Itulah masalahnya, Pak Wapres. Anda terlalu percaya orang. Politik berbeda dengan perang. Dalam perang, kepercayaan adalah kelemahan.”
Retakan Komando
Malam itu, rapat inti Garuda berlangsung kacau. Sebagian mendukung Bram untuk melakukan “pembersihan internal” dengan menyingkirkan siapa pun yang dicurigai. Sebagian lagi mengikuti Gema yang menekankan bahwa kecurigaan berlebihan hanya akan memecah barisan.
Maya duduk diam, pura-pura tenang, sementara di dalam kepalanya ia sudah menimbang: Kalau Bram benar-benar yakin aku pengkhianat, aku hanya punya dua pilihan—melarikan diri, atau membalikkan keadaan.
Istana Negara
Sementara itu, di ruang krisis istana, Seno melaporkan hasil penyadapan terbaru. “Pak Presiden, mereka mulai saling mencurigai. Bram menuduh ada pengkhianat di lingkaran inti. Situasi ini bisa kita manfaatkan.”
Pradipa menatap layar dengan ekspresi dingin. “Bagus. Biarkan mereka saling memangsa. Tapi jangan buru-buru menyerang. Kadang musuh yang terpecah lebih berbahaya daripada musuh yang bersatu. Kita harus dorong mereka makin curiga.”
Seno mengangguk. “Saya sudah siapkan langkah selanjutnya. Informasi palsu yang seolah-olah berasal dari Maya akan kita sisipkan ke jaringan mereka. Saat mereka tahu informasi itu jebakan, Maya akan tampak seperti pengkhianat.”
Pradipa menyesap tehnya perlahan. “Hati-hati, Seno. Kalau terlalu cepat, mereka bisa sadar itu permainan kita. Biarkan mereka terbakar oleh api curiga mereka sendiri.”
Malam semakin larut. Di markas Garuda, Bram berdiri di depan jendela, matanya menyala penuh amarah.
“Kalau benar ada pengkhianat di sini,” gumamnya, “aku akan pastikan dia tidak sekadar mati. Dia akan jadi peringatan.”
Maya, dari balik pintu, mendengar ancaman itu. Ia menarik napas dalam-dalam. Untuk pertama kalinya sejak bergabung, ia benar-benar merasa nyawanya di ujung tanduk.
Dan di balik semua itu, Operasi Bayangan diam-diam sedang meniupkan bara, memperbesar retakan yang bisa menghancurkan Garuda Hitam dari dalam.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api Diujung Agustus (Seri 16) – Serangan Besar Garuda Hitam
Api Diujung Agustus (Seri 15) – Misi Balasan Operasi Bayangan
Api Diujung Agustus (Seri 14) – Balas di Panggung Publik
Related Posts
Runtuhnya Bangunan Al Khoziny Masuk Berita Internasional
Rektor Universitas Diponegoro, Memberikan Stadium General pada acara Pelantikan Pengurus HMI Korkom UNDip
Dugaan Mega Korupsi Rp 285 Triliun di Pertamina Perkapalan: CERI Desak Kejagung Usut Tuntas “Tiga Pintu” Pertamina
Kejahatan Hukum di Balik Solusi Dua Negara
Api Diujung Agustus (Seri 19) – Pembersihan Internal Garuda Hitam
Anton Permana: Stop Kriminalisasi Tokoh Bangsa, Dari Roy Suryo hingga Abraham Samad
Membangun Surabaya, Waqaf sebagai Alternatif Pembiayaan
Mualim Balas Bobby: 1.000 Ekskavator Sumut di Aceh Siap Dipulangkan
Wakil Ketua Komisi IX DPR Yahya Zaini Apresiasi Kinerja BLK Medan, Dorong Peningkatan SDM Siap Kerja
Yahya Zaini Bongkar Akar Masalah MBG: Jangan Kriminalisasi SPPG, Benahi Dulu Tata Kelola BGN!
Api Diujung Agustus (Seri 18) - Bayangan di Balik Bayangan (Maya Main Ganda) - Berita TerbaruSeptember 29, 2025 at 5:56 am
[…] Api Diujung Agustus (Seri 17) – Retakan di Dalam Bayangan […]