Oleh: Budi Puryanto
Gudang tua yang selama ini jadi markas Garuda kini berbau besi dan keringat. Ruangannya dingin, tapi setiap orang merasa panas oleh satu hal: kecurigaan. Bram berdiri di depan para anggota inti dengan suara berat, “Kita dikhianati. Dan pengkhianat itu ada di antara kita.”
Kalimat itu menggantung seperti palu yang siap jatuh. Tak ada yang berani menatap matanya terlalu lama. Setiap orang menunduk, pura-pura sibuk dengan senjata atau catatan, padahal dada mereka berdegup keras.
Hadi, yang dituduh Maya lewat bukti rekayasa, dijadikan contoh. Ia diikat di kursi besi, wajahnya babak belur. Di depannya, dua eksekutor Garuda bergantian menginterogasi. “Siapa kontakmu? Apa kau sudah menjual lokasi kita?”
Hadi hanya bisa menggeleng lemah, darah mengalir dari bibirnya. “Aku… aku setia. Kalian salah…”
Bram tak mendengarkan. Ia memberi isyarat, dan sebuah pistol ditempelkan ke pelipis Hadi. Dentuman memecah ruangan. Tubuh Hadi ambruk. Senyap.
Maya, yang ikut menyaksikan, menahan nafas panjang. Ia berhasil mengalihkan kecurigaan, tapi harga yang harus dibayar adalah nyawa seseorang yang barangkali tak bersalah.
Eksekusi itu bukan akhir, melainkan awal. Bram memerintahkan pemeriksaan silang terhadap semua anggota. Ponsel, catatan, bahkan barang pribadi diperiksa. Satu korek api atau slip kertas bisa berarti hukuman mati.
Orang-orang yang dulunya bersaudara mulai saling curiga. Bisik-bisik terdengar di koridor, tatapan dingin beradu di ruang makan. Garuda, yang selama ini disatukan oleh musuh bersama, kini terpecah oleh rasa takut pada diri sendiri.
Gema, sang ideolog, berusaha menahan agar organisasi tidak berubah menjadi mesin pembunuh internal. “Kita melawan negara, bukan membunuh diri sendiri,” ujarnya di rapat kecil.
Tapi Bram membalas keras, “Kau mau kita hancur karena tikus di dalam? Lebih baik kita kehilangan beberapa orang sekarang, daripada semuanya mati besok!”
Kata-kata Bram menekan, tapi justru menanamkan keraguan dalam hati Gema. Ia mulai melihat Bram bukan lagi sekadar pemimpin karismatik, melainkan algojo yang membiarkan paranoia merajalela.
Maya, di tengah kekacauan, justru makin dalam masuk ke lingkaran kepercayaan Bram. “Kau berani bicara jujur,” katanya suatu malam, “itulah kenapa aku percaya padamu.”
Maya tersenyum samar, padahal dadanya bergetar. Setiap kali Bram mempercayainya, ia semakin dekat pada bahaya. Jika jebakan berikutnya terbongkar, dialah yang akan diikat di kursi besi itu.
Namun ia juga tahu: semakin dalam ia menyusup, semakin besar peluang Operasi Bayangan untuk menjatuhkan Garuda dari dalam.
Di akhir minggu penuh darah, hanya tersisa segelintir anggota yang benar-benar dipercaya Bram. Maya duduk di ruang gelap, mendengar teriakan interogasi dari balik dinding. Ia menutup mata, menggenggam foto anaknya.
Tiba-tiba ponsel rahasianya bergetar—pesan dari Seno:
“Fase berikutnya: arahkan mereka ke target palsu. Waktu kita hampir habis.”
Maya membuka mata. Di balik jerit dan paranoia, ia sadar: permainan ganda ini belum berakhir. Justru baru saja masuk babak paling berbahaya.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api Diujung Agustus (Seri 18) – Bayangan di Balik Bayangan (Maya Main Ganda)
Api Diujung Agustus (Seri 17) – Retakan di Dalam Bayangan
Api Diujung Agustus (Seri 16) – Serangan Besar Garuda Hitam
Related Posts

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Mengapa OTT Kepala Daerah Tak Pernah Usai?

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Jejak Kekuatan Riza Chalid: Mengapa Tersangka “Godfather Migas” Itu Masih Sulit Ditangkap?

Penjara Bukan Tempat Para Aktifis

FTA Mengaku Kecewa Dengan Komposisi Komite Reformasi Yang Tidak Seimbang

Keadaan Seperti Api Dalam Sekam.

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah


No Responses