BPS akui indeks kebahagiaan itu subyektif, Epidemiolog: Indeks kebahagiaan bisa dipakai untuk berbohong

BPS akui indeks kebahagiaan itu subyektif, Epidemiolog:  Indeks kebahagiaan bisa dipakai untuk berbohong
Kantor BPS

ZONASATUNEWS.COM, JAKARTA – Indeks Kebahagiaan 2021 menempatkan Jakarta di urutan 27 dari 34 provinsi dalam Indeks Kebahagiaan menurut Provinsi. Data ini merupakan hasil survei yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (31/12/2021).

Indeks Kebahagiaan di Ibu Kota Negara ini turun dibanding pada 2017. Pada 2017, angkanya berada pada 71,33 sementara pada 2021 indeks kebahagiaan DKI menjadi 70,68. DKI Jakarta kini berada pada urutan ke-27 dari 34 provinsi di Indeks Kebahagiaan menurut provinsi.

MNC Portal Indonesia melakukan peninjauan kepada masyarakat untuk melihat persepsi masyarakat tentang apa yang dirasakan dalam menjalani kehidupan. Hasilnya, masyarakat merasa terbebani dengan sulitnya perekonomian sejak pandemi.

Mayoritas masyarakat mengatakan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor utama penyebab rendahnya rasa kebahagiaan seseorang.

Seorang pegawai swasta bernama Joko mengatakan bahwa faktor penyebab kebahagiaan masyarakat menurun lantaran ekonomi yang sulit. Selain itu, banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan sulitnya mencari pekerjaan juga menjadi salah satu penyebabnya.

“Banyaknya pengurangan tenaga kerja efek pandemi. Sekarang sulit untuk mencari keuangan, tenaga kerja juga pada di PHK, sulitnya mencari kerja buat yang baru lulus juga ya kan,” kata Joko kepada MNC Portal Indonesia (1/1/2021).

Selain itu, seorang pedagang bernama Ina turut menyampaikan bahwa faktor penyebab kebahagiaan menurun salah satunya adalah karena harga sembako yang kian melambung.

“Karena masih ada pandemi masih berlanjut, ya seperti bahan pokok semuanya pada naik, jadi masyarakat merasa resah seperti itu,” kata Ina.

Seorang satpam bernama Aswandi turut mengeluhkan harga sembako yang kian melambung juga salah satu faktor tingkat kebahagiaan masyarakat menurun.

“Karena kenaikannya harga sembako, sembako kan sekarang pada naik ya,” kata Aswandi.

Tidak proporsional

Survey BPS tetap bermanfaat sebagai indikator untuk mengetahui kondisi masyarakat, khususnya pasca bencana pandemi. Data BPS dapat digunakan sebagai bahan evaluasi ilmiah bagi pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota.

Namun, membandingkan indeks kebahagiaan sebelum pandemi dan setelah pandemi, tidaklah proporsional. Kondisinya jauh berbeda. Secara logika saja, pandemi memberikan tekanan berat kepada masyarakat.

Masyarakat selama 2 tahun lebih hidup dalam tekanan, berkurang kebebasan bergeraknya, kehilangan keluarga, kehiangan pekerjaan, berkurang penghasilan ekonominya.

Anak tidak bisa sekolah secara normal. Pergaulan tidak bebas (harus berjarak). Bahkan tempat ibadah pun ada pembatasan jumlah dan jarak.

Tekanan dalam masa 2 tahun (2019-2020) sungguh meruntuhan sendi-sendi kebahagian warga masyarakat. Oleh karena itu adalah sangat wajar apabila warga masyarakat menjadi kurang bahagia.

Kondisi serupa bisa dianalogikan dalam suatu masyarakat yang terkena bencana lainnya, misalnya korban erupsi gunung Semeru.

Bila kita datang ke pengungsian, dan tanya apakah anda bahagia? Lalu kita bandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya bencana erupsi. Kira-kira indeks kebahagiaan mereka turun apa naik? Tentu, normalnya turun. Dan itu wajar, karena penyebabnya bisa diterima dengan akal.

Justru kalau indeks kebahagiaan mereka naik setelah bencana, atau bahkan masih dalam pemulihan (mitigasi), bisa jadi ada yang salah. Bisa datanya, analisanya, atau kesimpulannya. Namanya survey, pasti ada errornya.

Apalagi survey kebahagiaan itu berdasarkan 3 dimensi (kepuasan hidup, perasaan, dan makna hidup) yang bersifat subyektif. Lalu dibuat angka-angka kuantitatif.

Statistik bisa dipakai untuk bohong

Survei indeks kebahagiaan oleh BPS itu pun mendapatkan sorotan dari sejumlah pihak. Salah satu yang menyoroti adalah epidemiolog Pandu Riono.

Pandu Riono lewat akun Twitternya, @drpriono1, mengomentari indeks kebahagiaan yang dirilis oleh BPS. Dia menyebut statistik indeks kebahagiaan bisa dipakai untuk berbohong.

“Statistik pun bisa dipakai untuk berbohong. Kebahagiaan merupakan kondisi yg kompleks, dikatakan meningkat di Indonesia yg hanya 0.8 poin, dalam situasi Pandemi. Ada problema besar dalam pengukuran, “measurement bias. Ada problem interpretasi. Kita perlu skeptis. @bps_statistics,” cuitnya, seperti dilihat detikcom, Selasa (4/1/2022).

Menanggapi Pandi Riono, BPS menyebut indeks kebahagiaan memang bersifat subjektif antara masing-masing warga. Meski demikian, BPS menekankan subjektif bukan berarti bohong.

“BPS menghitung indeks kebahagiaan sebagai ukuran yang bersifat subjektif untuk melihat persepsi masyarakat, tentang apa yang dirasakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Subjektif. Bukan berarti bohong,” lanjut BPS.

EDITOR : REYNA

Last Day Views: 26,55 K