Oleh : M.Hatta Taliwang, Aktivis Politik
Hampir semua parpol dan ormas melakukan pemilihan Ketumnya lewat proses perwakilan/ musyawarah.
Saat kongres atau Munas mereka mengirim utusan/ wakilnya datang dalam posisi mewakili Pengurus Daerah atau Pengurus Provinsi.
Mereka bermusyawarah di Jakarta atau di tempat Kongres/ Munas lalu memilih Ketumnya baik dengan voting maupun dengan suara aklamasi. Mereka puas dengan memilih cara demikian.
Partai dan ormas tak pernah mengundang semua pemegang kartu anggotanya datang ke bilik suara, untuk mencoblos(voting) saat memilih Ketumnya.
Mengapa pengurus pengurus partai termasuk yg terpilih menjadi anggota DPR mempertanyakan sistem, memilih Presiden dg Musyawarah di MPR padahal cara demikian yang mereka tempuh utk mendapatkan Ketum Partai/ Ormasnya? Mempersoalkan dengan berbagai ” argumen akademis” bahwa cara Musyawarah itu tidak demokratis, menyunat suara rakyat, bisa menimbulkan pemimpin otoriter dll.
Wong tiap hari mereka menikamati hasil Musyawarah partai/ ormasnya dlm wujud seorang Ketum yg memimpin mereka?
Karena memilih pemimpin dengan cara perwakilan musyawarah itu telah mendarah daging dlm kultur sosial dan politik kita, sdh menjadi budaya bangsa, bahkan pernah dipraktekkan dlm memilih Gus Dur sbg Presiden, memilih Mega dan Hamzah Haz sebagai Wapres di awal reformasi.
Mengapa sekarang mesti memilih Presiden “wajib” dengan cara voting one man one vote, demi memuaskan selera pendukung liberalisme politik ?
Padahal cara liberal itu sdh terbukti sangat buruk dampaknya terhadap nasib negara kita ?( lihat : KEBURUKAN/ KELEMAHAN SISTEM PILPRES LANGSUNG ALA INDONESIA, oleh MHT).
Ibarat ikan biasa hidup di air tawar terus disuruh berenang di air laut.Tentu keblinger dampaknya. Semoga intelektual yg terlalu semangat mendukung sistem liberalisme dan melecehkan sistem yg dibangun pendiri negara yg tertuang dalam Sila Ke 4 Pancasila, Perwakilan Musyawarah bisa menyadari.
MHT121025.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kekayaan Keragaman Hayati Tercabut Dari Bumi Sumatra

Banjir Bandang Sumatera: Pembantaian Massif (Saatnya Rakyat Menjadi “Algojo”)

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (11): Pengakuan Dunia, Diplomasi Damai, dan Kiprah Internasional Indonesia di Era Soeharto”

Monumen

Kami Bersama Dokter Tifa

Saatnya Menegaskan Arah, Membongkar Simpang Siur Kekuasaan SDA

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (10): Warisan Stabilitas Makro dan Fondasi Ekonomi Jangka Panjang

Daniel M Rosyid: Bencana Dan Riba Politik

Bandara IMIP Morowali : Antara Hilirisasi, Kedaulatan, dan Arah Baru Politik Pengawasan Negara

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (9): Stabilitas Keamanan dan Modernisasi Militer Indonesia



No Responses