Benang yang sudah mbulet, ruwet, njlimet dan karatan hanya bisa diluruskan dari ujungnya, tidak bisa diluruskan dari tengah….!!! Ujung permasalahan politik di Indonesia yang sudah mbulet, ruwet, njlimet dan membentuk budaya politik yang korup begitu lama (karatan), hanya bisa diluruskan dengan mengembalikan kedaulatan tertinggi kembali ke tangan rakyat. Karena ujung dari system pemerintahan demokrasi adalah kedaulatan tertinggi rakyat.
Oleh: Chris Komari
Activist for democracy
Rumah Demokrasi Modern (RDM)
.
1). Benarkah seseorang boleh “memilih” dan “memiliki” agama Islam sendiri sesuai dengan kondisi sosial, budaya, latar belakang, kepercayaan dan ideology orang itu…???
2). Benarkah satu bangsa dan negara boleh “memilih” dan “memiliki” sistem demokrasi sendiri sesuai dengan kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi, ideology dan latar belakang bangsa itu sendiri…???
3). Benarkah keberadaan DPR, secara otomatis ada perwakilan rakyat…?
4). Benarkah MPR itu jelmaan rakyat dan secara otomatis rakyat berdaulat…?
5). Benarkah adanya FREE PRESS, secara otomatis ada kontrol sosial…?
Tulisan Gus Dur tahun 1991saat pembentukan Forum Demokrasi (Fordem) dan usaha awal Gus Dur untuk melakukan demokratisasi Indonesia.
President Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan:
1). Adanya DPR bukan berarti ada perwakilan rakyat yang membela kepentingan rakyat.
2). Adanya MPR bukan berarti rakyat berdaulat.
3). Adanya PERS bukan berarti ada kontrol sosial.
Gus Dur menulis pernyataan diatas tahun 1991 ketika mendirikan Forum Demokrasi (Fordem).
Adanya lembaga DPR, MPR dan PERS tidak secara otomatis, ada perwakilan rakyat, tidak secara otomatis membela kepentingan rakyat, tidak secara otomatis ada kontrol sosial.
Apalagi mau mengklaim MPR sebagai jelmaan rakyat dan secara otomatis mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat…??? Gile….!!!
What nonsense claim, assumption and assertion is that….???
Fakta sejarah telah membuktikan bahwasanya kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia selalu dikudeta oleh orang lain, oleh lembaga lain dan oleh institusi lain dengan berbagai cara, taktik, tricks dan kelicikan.
1). ORDE LAMA dengan dekrit Presiden muncul SOEKARNO-CRACY.
2). ORDE BARU dengan MPR yang diisi oleh orang-orang, utusan golongan dan utusan daerah yang sudah dikondisikan, ditunjuk (hand picked) dan dipilih oleh penguasa, dan muncul SOEHARTO-CRACY selama 32 tahun.
3). REFORMASI dengan berbagai tricks, taktik dan kelicikan mengunakan Undang-Undang (UU) untuk mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat, muncul PARTAI-KRASI selama 26 tahun berjalan.
Selama 78 tahun Indonesia merdeka, kedaulatan tertinggi rakyat selalu dikudeta oleh orang lain, lembaga lain dan institusi lain.
Itulah status quo yang harus dihancurkan…!!
A). Gus Dur adalah seorang demokrat dan seorang LIBERALIST yang sejati
Banyak orang Indonesia tidak ingat siapa yang sebenarnya melakukan tindakan awal untuk demokratisasi Indonesia…?
Orang itu tidak lain adalah Presiden Indonesia ke-4, President Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Banyak orang sudah lupa betapa terbatasnya kebebasan berbicara, berekpresi, berpendapat, berkumpul dan menulis (FREE MEDIA) di era regime ORDE BARU di bawah SOEHARTO-CRACY.
Saya mengalaminya sendiri sebagai generasi 60″an yang hidup dibawah regime authoritarianism ORDE BARU SOEHARTO-CRACY.
Majalah TEMPO saja pernah di bredel oleh regime ORDE BARU pada tanggal 21 Juni, 1994 karena dianggap sebagai media provokator dan adu domba yang menganggu stabilitas nasional.
What a classic nonsense excuse…!!!
Semua regime dictator, tyrant dan authoritarian yang tidak mau dan tidak mampu menerima kritik, scrutiny dan kontrol sosial dengan memberikan kebebasan media (FREE PRESS) selalu mengunakan excuses provokator, adu domba dan menggangu stabilitas nasional.
Ketika Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi (Fordem ) tahun 1991 sebagai usaha awal untuk melakukan “demokratisasi” Indonesia adalah tindakan yang sangat berani, courageous dan brilliant dari seorang Gus Dur.
Karena waktu itu Indonesia masih berada dibawah kekuasaan regime authorianism ORDE BARU SOEHARTO-CRACY.
Ruang kebebasan berbicara, berekpresi, berpendapat, berkumpul dan menulis (FREE MEDIA) sangat terbatas dibanding sekarang ini di era tukang ngibul, raja Hoax and the King of lip service.
Kalau sekarang demokrasi sudah 26 tahun berjalan di Indonesia, kebebasan berbicara, berekpresi, berpendapat, berkumpul dan menulis FREE MEDIA semakin besar dan dinikmati oleh semua orang, itu semua tidak lepas dari jasa dan perjuangan Gus Dur.
B). Mengapa banyak orang Indonesia membenci demokrasi-liberal dan liberalism
Kebebasan berbicara, berekpresi, berkumpul, demo, unjuk rasa dan protes, freedom of movement, kebebasan beragama dan kebebasan menulis (FREE PRESS) adalah nilai-nilai LIBERALISM yang ada dalam demokrasi-liberal.
Tetapi mengapa anda membenci dan prejudice terhadap LIBERAL-DEMOCRACY (Demokrasi-liberal)….???
Sadar-kah anda bahwasanya kebebasan berbicara, berekpresi, berpendapat, berkumpul, kebebasan untuk bisa demo, protes, unjuk rasa, kebebasan bergerak dan kebebasan menulis menulis (FREE MEDIA), itu semua adalah nilai-nilai LIBERALISM…???
Apakah Gus Dur seorang liberalist sejati…?
Yes, there was no doubt. He certainly was a true and real liberalist.
Gus Dur sering protes dan menuntut kebebasan berbicara, berekpresi, berpendapat, berkumpul dan menulis (FREE PRESS) tidak dibatasi oleh regime ORDE BARU.
Gus Dur tidak segan-segan mengkritik dan melawan regime ORDE BARU lewat berbagai tulisan dan speeches ketika hak dan ruang gerak berbicara dibatasi oleh regime ORDE BARU.
Jadi jangan sok membenci demokrasi-liberal, sementara itu di sisi lain anda selalu menuntut kebebasan berbicara, berekpresi, berkumpul kebebasan untuk bisa demo, protes, unjuk rasa, kebebasan bergerak dan kebebasan menulis (FREE PRESS) yang merupakan nilai-nilai liberalism
C). Benarkah adanya MPR yang menjadi jelmaan rakyat secara otomatis RAKYAT BERDAULAT…???
The answer is no, not really…!!!
Seperti nilai-nilai Islam yang banyak dimanipulasi dan dikorupsi untuk kepentingan politik, sosial dan ekonomi masing-masing.
Begitu juga dengan nilai-nilai demokrasi yang ada dalam 11 pilar-pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi, sering di manipulasi, direkayasa dan dikorupsi oleh golongan tertentu untuk memenuhi kepentingan politik masing-masing.
Sebagai seorang activist democracy, itulah salah satu misi, tugas dan tanggung jawab saya untuk meng-ekpose kebusukan, hypocrisy dan dirty tricks golongan tertentu termasuk PARTAI POLITIK yang memanipulasi nilai-nilai demokrasi
1). Apakah boleh, 5 rukun Islam dan 6 Rukun Iman yang menjadi syarat dan syariat seseorang menjadi seorang Muslim yang baik dan benar diganti dan dilebur menjadi satu ajaran dan konsep baru yang disebut ajaran “manunggaling kawulo gusti…?”
Jawaban-nya sudah jelas, tidak boleh karena akan membuat”PRAHARA” syariat. Meskipun secara hakekat hal itu bisa dijalankan.
2). Apakah boleh, 11 pilar-pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi nilai-nilai demokrasi dan yang membuat pemerintahan demokrasi itu demokratis diganti dan dilebur menjadi satu konsep dan ajaran baru dengan konsep: “…kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan…?”
Jawaban-nya sudah jelas, tidak bisa.
Karena system seperti itu less democratic (kurang demokratis), meskipun bisa dilakukan.
Banyak politisi ditanah air, khususnya petinggi partai politik, ketua umum partai politik, kader-kader partai politik dan relawan partai politik yang suka ngoceh dan preaching demokrasi ngalor ngidul, tetapi selama 26 tahun menjalankan demokrasi, dari 24 pi partai politik yang ikut PEMILU 2024, tidak ada satupun partai politik yang demokratis.
That’s the biggest hypocrite…!!!
Hello PKS…?
Hello PKB…?
Hello PPP….?
Hello PAN…?
Hello PBB…?
Banyak akademisi dan aktifis ditanah air yang mengklaim memahami nilai-nilai demokrasi, bahkan merasa lebih paham dan lebih demokratis.
Tetapi selama 78 tahun merdeka, yang muncul SOEKARNO-CRACY, SOEHARTO-CRACY, PARTAI-KRASI dan kualitas demokrasi di Indonesia kalah dengan negara kecil, miskin dan baru merdeka TIMOR LESTE, menurut laporkan tahunan dari the Economist Intelligence Units (EIU)..???
Yang juara cuma ngocehnya doang, hanya pinter berargumentasi dan merasa sok hebat sendiri, tetapi bukti dan fakta dilapangan BIG ZERO alias nol putul.
Antara omongan besar, klaim paling tahu demokrasi dan fakta politik on the ground tidak singkron, hanya pinter ngoceh di media sosial tetapi bukti tidak ada.
D). System pemerintahan demokrasi itu banyak warni-warninya, tetapi tidak boleh keluar dari nilai-nilai demokrasi yang ada dalam 11 pilar-pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi.
Di Amerika Serikat (AS) sendiri banyak warna warni demokrasi, ada 51 macam demokrasi di United States of America (USA) yakni:
1). Satu system pemerintahan demokrasi di tingkat Federal Government.
2). 50 macam system pemerintahan demokrasi di 50 negara bagian (State).
Contoh:
a). System pemerintahan demokrasi di negara bagian New York (State of New York) itu tidak sama dengan system pemerintahan demokrasi di negara bagian California (State of California).
Perbedaannya apa…???
Semua pejabat publik di Negara Bagian California (State of California) dari anggota City Council hingga GUBERNUR bisa di recall oleh rakyat California melalui RECALL ELECTION.
Itu sekaligus bukti bahwa kedaulatan tertinggi di Negara Bagian California (State of California) benar-benar ada di tangan rakyat California.
Sementara itu di Negara Bagian New York (State of New York), semua pejabat publik di State of New York hanya bisa di copot ditengah jalan oleh New York Supreme Court karena Constitution di Negara Bagian New York (State of New York) mengatakan seperti itu sebagai consensus rakyat di New York.
b). Masing-masing negara bagian (State) itu memiliki system pemerintahan demokrasi yang unique sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan latar belakang politik dimasing-masing negara bagian (State).
c). Tetapi dari 51 system pemerintahan demokrasi yang berbeda di Amerika Serikat (AS), tidak ada satupun system pemerintahan demokrasi itu yang keluar atau melanggar nilai-nilai demokrasi, khususnya yang ada dalam 11 pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi.
3). Di Indonesia, banyak orang yang mengklaim sebagai negara DEMOKRASI-PANCASILA, tetapi isinya Soekarno-cracy, Soeharto-cracy dan PARTAI-KRASI, jauh keluar dari nilai-nilai demokrasi yang ada dalam 11 pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi.
4). Banyak negara lain yang mengunakan embel-embel kata demokrasi dengan kata lain untuk mengklaim sebagai negara demokrasi, tetapi system pemerintahan demokrasi nya jauh dari nilai-nilai demokrasi yang ada dalam 11 pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi.
System pemerintahan seperti itu jelas bukan LAGI system pemerintahan demokrasi seperti DEMOKRASI TERPIMPIN, Soekarno-cracy, Soeharto-cracy dan PARTAI-KRASI.
5). Tak ubahnya seperti orang yang mengaku sebagai mualaf Muslim beragama Islam, tetapi dalam hati, pikiran dan tingkah lakunya jauh dan keluar dari nilai-nilai Islam yang ada dalam 5 rukun Islam, 6 rukun Iman, Al-Qur’an Sunnah dan Hadis.
Mualaf seperti itu namanya mualaf bunglon, mualaf gadungan dan mualaf palsu. Bukan seorang mualaf Muslim yang sebenarnya dan bukan orang Islam.
Hanya mengklaim dimulut saja sebagai mualaf Muslim, sebagai orang Islam tetapi isinya palsu, semu dan abal-abal bin gadungan.
E). Selama masih ada UU MD3 dan kedaulatan tertinggi ada ditangan “Ketua Umum Partai Politik”, jangan harap akan ada perubahan besar, mendasar dan fundamental di Indonesia
UU MD3 itu ternyata (Ujung-Ujungnya Majelis Dikasih Duit Diam)……????!
Apanya yang demokratis dari system pemerintahan demokrasi di Indonesia….???
Look at what came out for the last 78 years:
1). ORDE LAMA (Soekarno-cracy)
2). ORDE BARU (Soeharto-cracy)
3). REFORMASI (Partai-cracy)
Kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia selalu dikudeta oleh orang lain, lembaga lain dan institusi lain.
Para petinggi partai politik, ketua umum partai politik dan kader-kader partai politik suka berkotbah tentang demokrasi, preaching ngalor ngidul tentang nilai-nilai demokrasi, sok demokratis.
tetapi partai politiknya sendiri tidak demokratis, mirip korporasi milik pribadi, milik keluarga dynasty rasa kerajaan berbau feudalisme.
Kok nggak malu menjadi hypocrite…!!!
Demokrasi itu memiliki 11 pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi.
FREE and FAIR ELECTION itu pilar demokrasi nomer 6, baru salah satu dari 11 pilar demokrasi.
Bagaimana dengan 10 pilar demokrasi lainnya?
Jadi bukan berarti setelah melakukan PEMILU, kemudian bisa mengklaim sebagai negara demokrasi. PEMILU itu awal dari demokrasi, bukan akhir bagi rakyat dalam system pemerintahan demokrasi.
Yang saya tahu sejauh ini, belum ada demokrasi di Indonesia karena selama 78 tahun Indonesia merdeka, yang muncul:
1). ORDE LAMA (Soekarno-cracy)
2). ORDE BARU (Soeharto-cracy)
3). REFORMASI (Partai-cracy)
MPR sebagai lembaga tertinggi negara-pun tidak boleh mengambil alih dan mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat.
Dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi rakyat tidak pernah pindah tangan.
Sekarang di era raja HOAX, otonomy daerah ikut dikudeta oleh penguasa di pemerintahan pusat. Itulah status quo selama 78 tahun yang harus kita dobrak bersama…!!!
It’s not going to be easy, but it’s the right thing to do…!!!
F). Kami dari RDM memberikan solusi baru dengan hak recall dan recall election.
Secara umum, hak P.A.W itu mirip seperti hak recall, tetapi secara prinsip hak recall dan recall election itu jauh berbeda dengan hak P.A.W (Pergantian Antar Waktu).
1). Hak P.A.W dampaknya sangat kecil, insignificant dan hanya terjadi di dalam internal partai politik, dimana anggota DPR yang sudah tidak diinginkan oleh ketua umum partai politik akan disingkirkan, direshuffle atau di kicked out dari keanggotaan partai politik.
Hak P.A.W itu hanya akal bulus petinggi partai politik untuk memberikan kekuasaan baru dan kedaulatan tertinggi kepada ketua umum partai politik yang jelas melanggar nilai-nilai demokrasi karena mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat.
2). Hak recall dan recall election itu memiliki dampak yang sangat luas, sangat besar dan massive.
Hak recall dan recall election adalah satu mekanisme yang bisa digunakan oleh rakyat untuk mencabut mandat rakyat ditengah jalan dengan mencopot pejabat pemerintah di Executive, maupun wakil-wakil rakyat di lembaga Legislative dan Judicative (Judiciary).
Perkecualian hanya terhadap Presiden.
Dengan kata lain, hak recall dan recall election itu adalah mekanisme untuk mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat melawan TYRANNY Presiden, TYRANNY para pejabat tinggi negara (Menteri Kabinet, pejabat BUMN, Hakim MK, Hakim MA, TNI, POLRI) dan Ketua Umum Partai Politik.
Bayangkan saja sendiri.
Apa yang akan terjadi bila semua pejabat pemerintahan pusat dan daerah yang duduk di lembaga Executive, Legislative dan Judicative, bisa di recall oleh rakyat, kecuali Presiden…?
Karena Presiden hanya bisa di recall oleh DPR lewat impeachment proceeding.
3). Kira-kira apa dampaknya terhadap prilaku, sikap dan kelakuan para pejabat pemerintahan pusat, pemerintah daerah, bila ada Menteri Kabinet, Pejabat BUMN, hakim MK/MA/KY, pejabat Ombudsman, anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang berhasil di recall oleh rakyat lewat recall election…???
Akan muncul budaya politik baru dimana anggota MPR/DPR dan DPRD tidak lagi takut di telephone oleh ketua umum partai politik.
Anggota DPR dan DPRD tidak lagi harus minta join kepada ketua umum partai politik saat akan meloloskan RUU baru yang membela kepentingan rakyat diatas kepentingan partai politik.
Anggota MPR/DPR tidak lagi takut untuk melakukan IMPEACHMENT terhadap Presiden yang tukang ngibul, suka melanggar hukum, raja HOAX dan the King of lip service.
4). Kesulitan memahami hak recall dan recall election oleh mayoritas orang Indonesia bahkan mau memberikan contohpun juga sulit karena selama 78 Indonesia merdeka, hak recall dan recall election belum banyak dikenal, apalagi dijalankan.
Sementara itu, hak recall dan recall election sudah dijalankan di luar negeri ratusan tahun.
5). Ini bukan masalah demokrasi di Amerika Serikat (AS), demokrasi model BARAT atau demokrasi-liberal, tetapi hak recall dan recall election adalah bagian dari kedaulatan tertinggi rakyat, bagian dari nilai-nilai demokrasi yang ada dalam 11 pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi.
Apapun namanya, baik itu demokrasi lontong sayur, demokrasi musyawarah untuk mufakat, demokrasi gotong royong, demokrasi hikmat dan kebijaksanaan, demokrasi terpimpin, demokrasi kodok ngorek, selama kedaulatan tertinggi rakyat itu tidak berada ditangan rakyat, maka system pemerintahan seperti itu bukan LAGI demokrasi, seperti di Indonesia sekarang ini.
Bagaimana mungkin kedaulatan tertinggi diberikan kepada ketua umum partai politik…?
Tiap hari koar-koar tentang demokrasi, tetapi selama 26 tahun menjadi MUALAF DEMOKRASI, masih juga belum paham demokrasi…???
Kalau Indonesia ingin menjalankan demokrasi dengan baik dan benar maka:
a). Batalkan UU MD3.
b). Berikan hak recall dan recall election kepada rakyat.
Urusan apa, siapa dan bagaimana hak recall dan recall election itu dijalankan, diterapkan dan dipraktekan di Indonesia, serahkan saja kepada kami, para anggota Rumah Demokrasi Modern (RDM).
Kami para aktifis dan anggota RDM diseluruh tanah air siap membantu, siap memberikan penjelasan secara details dan comprehensive tentang proses, procedures, mekanisme, payung hukum (UU) dan S.O.P yang dibutuhkan agar hak recall dan recall election bisa dijalankan di Indonesia.
We only need one thing, that is an empowerment to take on the job.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global

Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama

Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan

Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum

Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah

Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas

Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan

Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote



No Responses