Daniel M Rosyid : Garuda Melawan Naga

Oleh  : Daniel Mohammad Rosyid

Kebangkitan neokomunisme China di seluruh dunia diwujudkan dalam prakarsa ambisius One Belt One Road yang sering disebut juga sebagai Jalan Sutera Maritim Baru. Ini prakarsa dari sebuah negara besar dengan populasi terbesar di dunia yang memerlukan lebensraum  baru di luar batas-batas resmi teritorial RRC. OBOR adalah jurus baru naga yang membutuhkan ruang gerak baru agar tetap sehat dengan sumber-sumber makanan dan energi baru.

Kebangkitan China ini sekaligus sebagai respons atas pelemahan AS yang makin inward-looking dan unilateralis, stagnasi Masyarakat Eropa, sementara dunia makin terancam environmental collapse dan perang nuklir. Sementara itu ASEAN (yang dulu lahir sebagai respons regional menghadapi perang dingin) boleh dikatakan makin surut peranannya secara geopolitik dan geoekonomi, hanya menjadi pemasok bahan-bahan mentah, buruh kasar tanpa ketrampilan profesional, dan pasar bagi banyak produk China, Jepang, AS dan Eropa.

Perlu dicermati bahwa secara substansi ambisi China ini juga bersifat nekolimik seperti yang dikhawatirkan Bung Karno 50 tahun silam. Ini tidak bisa dibiarkan saja karena bertentangan langsung dengan misi yang diemban NKRI yang dinyatakan secara jelas dalam Pembukaan UUD45.

Pelumpuhan konstitusi adalah keruntuhan negeri ini.

Harus segera diingat bahwa pelumpuhan konstitusi sudah dimulai sejak masa Reformasi melalui serangkaian amandemen atas UUD45. NKRI mengalami deformasi luas melalui noeliberalisasi politik, ekonomi dan budaya yang makin menjauhkan bangsa ini dari cita-cita proklamasi. Kembali pada UUD45 versi Dekrit Presiden 1959 adalah bagian tak terpisahkan dari upaya NKRI menghadapi kebangkitan China ini.

Indonesia perlu segera merumuskan respons segera yang tepat dan efektif agar Garuda tidak ditelan Naga seperti Sri Langka, beberapa negara di Afrika, Filipina, dan Malaysia, terutama melalui jebakan hutang proyek-proyek infrastruktur raksasa. Respons itu harus dipijakkan pada jati diri bangsa ini sebagai bangsa maritim yang muslim. Indonesia dan Islam tidak bisa dipisahkan sejak perjalanan melawan penjajahan, persiapan menjelang Proklamasi, Proklamasi dan sesudahnya hingga kini.

Islamophobia yang digelorakan sejak kampanye global war on muslim oleh GW Bush kini juga telah diam-diam digemakan oleh Xi Jin Ping. Gelombang islamophobia ini adalah upaya menghancurkan jati diri bangsa ini.

Target utama islamophobia ini adalah menjauhkan muslim Indonesia dari kehidupan berIslam secara ekonomi dan politik, terutama melalui sistem ekonomi ribawi yang menjarah kekayaan NKRI secara sistemik dan legal.

Sebutan tanah air Indonesia membuktikan bahwa sejak awal menjadi negara maritim adalah sebuah geostrategic default. Sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia, Islam rahmatan lil’aalamiin  adalah sebuah geocultural default sebagaimana dinyatakan secara tersirat dalam Pembukaan UUD45.

Islam adalah arsitektur institusional yang dibutuhkan oleh berbagai suku dan bangsa yang makin terjebak dalam nasionalisme sempit atau bahkan glorified tribalism yang berbahaya. Indonesia Islam akan menjadi perekat bagi ASEAN sebagai satuan ekonomi-politik regional yang secara budaya terikat oleh nilai-nilai Melayu.

Dengan strategi ini kiranya Garuda tidak akan pernah ditelan Naga.

Amsterdam 30/4/2019

Related Posts