Eko Sulistyo: COP 27 Ditengah Krisis Energi

Eko Sulistyo: COP 27 Ditengah Krisis Energi
Eko Sulistyo, Komisaris PLN

Oleh: Eko Sulistyo
Komisaris PT PLN (Persero),

 

Pertemuan Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Ke-27 atau COP 27, akan diselenggarakan awal November 2022 di kota Sharm el-Sheikh, Mesir.

Berbeda situasinya dengan COP 26 di Glasgow tahun lalu, yang diwarnai optimisme terkait komitmen global untuk menekan laju percepatan krisis iklim. COP 27 tahun ini diselimuti kabut resesi dan terjadinya krisis energi global.

Perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung delapan bulan dan belum ada tanda-tanda berakhir, menjadi pemicu utama krisis energi yang membayangi pelaksanaan COP 27. Perang memicu saling embargo antara negara-negara Barat dan Rusia. Rusia menghentikan pengiriman pasokan gas dan bahan bakar ke sejumlah negara Eropa yang selama ini bergantung padanya.

Upaya negara-negara Barat untuk mengisolasi Moskow dengan sanksi ekonomi, telah mendorong kenaikkan harga energi dengan tajam. Eskalasi krisis energi masih akan meningkat, ketika anggota OPEC+ dalam pertemuannya di Wina, awal Oktober 2022 sepakat memangkas produksi hingga 2 juta barel per hari mulai November 2022.

Tentu saja disrupsi pasokan energi akan kembali terjadi, harga minyak mentah Brent akan naik lagi, setelah sebelumnya sempat turun di kisaran US $ 93 per barel.

Pemotongan produksi OPEC+ makin memperparah krisis energi, mengingat mereka menghasilkan sekitar 40 persen dari semua minyak mentah dunia. OPEC+ adalah organisasi berisi 23 negara pengekspor minyak, termasuk Rusia, yang bertemu setiap bulan di Wina, Austria, untuk memutuskan berapa banyak minyak mentah akan dimasukkan ke pasar dunia. Anggota intinya 13 negara OPEC, yang sebagian besar merupakan negara Timur Tengah dan Afrika.

Tekanan Geopolitik

COP 27 akan diadakan dalam situasi geopolitik yang berat, ketika dunia menghadapi krisis energi dan ancaman krisis lainnya. Semua ini dapat berdampak pada tingkat ambisi yang dapat menyebabkan gangguan terhadap prioritas mitigasi perubahan iklim. Percepatan transisi energi untuk memitigasi perubahan iklim yang disepakati pada pertemuan COP 26 di Glasgow tahun lalu, diperkirakan akan memakan waktu lebih lama dari target semula.

Banyak negara maju di kawasan Eropa (EU), kembali mengaktifasi pembangkit batu baranya untuk mencegah krisis energi dan krisis listrik lebih dalam. Kekeringan hebat di sebagian wilayah China beberapa bulan lalu, akibat perubahan iklim, menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA, 2022).telah meningkatkan konsumsi batu bara China pada tingkat tertinggi tahun ini

Sementara bagi negara-negara berkembang, khususnya negara-negara Afrika, menerapkan transisi energi tidak bisa mengabaikan pertumbuhan ekonomi. Mereka berpendapat, tidak boleh kehilangan kesempatan untuk mengeksploitasi cadangan minyak dan gas mereka. Menjadi kewajiban negara maju untuk mendengarkan aspirasi Afrika dalam adaptasi dan ketahanan energi.

Eropa dianggap terlalu cepat membeli gas alam Afrika, sementara Afrika sendiri tertinggal dalam pendanaan infrastruktur hijau, jaringan pipa gas dan pembangkit listrik. Sehingga menjadikan negara-negara seperti Angola, Nigeria atau Senegal kembali melirik bahan bakar fosil yang lebih kotor, dan menunda akses listrik bagi ratusan juta orang.

Merujuk laporan Badan Meteorologi Dunia (WMO, 2022), Afrika adalah salah satu benua yang menderita paling parah dan tidak proposional terkena dampak perubahan iklim, meski hanya menyumbang kurang dari empat persen emisi global. COP 27 akan menjadi kesempatan untuk “mengintegrasikan konsep keadilan iklim” bagi negara berkembang yang menderita akibat perubahan lingkungan yang sebagian besar diciptakan negara maju. Ketidakadilan iklim ini terbukti dan dapat dilihat semua orang.

Negara-negara di Afrika juga memiliki keterbatasan dalam ketahanan energi, yang bersifat sistemik dan laten. Berlainan situasinya dengan anggota UE saat ini, sebagai representasi negara maju, yang baru menghadapi krisis energi saat terjadi konflik geopolitik. Mesir dan negara Afrika lainnya, masih bergulat soal ketahanan energi dengan harga yang terjangkau bagi warganya.

Sebagai tuan rumah COP 27, seperti dikutip Reuters, 19 Juli 2022, Mesir ingin memastikan tidak ada kemunduran pada komitmen memperlambat laju perubahan iklim, bahkan ketika para pemimpin global tengah bergulat mengatasi krisis energi dan pangan, serta inflasi yang tinggi. Fokus utama COP 27 adalah untuk “meningkatkan ambisi” dan menegaskan “tidak ada kemunduran” pada komitmen dan janji yang telah dibuat di pertemuan puncak sebelumnya.

KTT G 20 dan COP 27

Sejak adanya kesepakatan iklim Paris 2015, dalam berbagai forum global, isu perubahan iklim dan krisis energi selalu jadi topik bahasan. Momentum ini dapat menjadi kontribusi Indonesia, dalam posisinya sebagai Presidensi G 20, memediatori kelompok negara maju dan negara berkembang dalam mitigasi krisis iklim, baik secara konseptual maupun praktik di lapangan.

Dalam hal aksi di lapangan, Indonesia telah meningkatkan target pengurangan emisi karbon, sebagaimana tercantum dalam dokumen Enhanced National Determined Contribution (ENDC).

Salah satu yang dimutakhirkan adalah target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia pada 2030. Sebelumnya, pada Upadated NDC, target penurunan emisi sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri, kini menjadi 31,89 persen. Sementara target penurunan dengan dukungan internasional, meningkat dari 41 persen menjadi 43,20 persen.

Keterlibatan organisasi internasional dan solidaritas nasional dibutuhkan saat ini, sebagaimana pernah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam berbagai forum, seperti G-7, G 20 dan Global Crisis Response Group (GCRG), untuk mengatasi krisis pangan dan energi global. Bahkan pada kawasan yang selama ini dikenal makmur, yakni Eropa, juga terlihat rentan ketika didera krisis energi.

Selaras dengan hasil pertemuan para menteri lingkungan hidup dan iklim negara-negara G 20 di Bali, awal September lalu, yang menyepakati sejumlah isu lingkungan yang akan dibawa dalam pertemuan puncak G 20 pada November di Bali. Dari aspek pengendalian perubahan iklim, setiap negara sepakat untuk terus menguatkan aksi iklim. Bahwa krisis energi yang terjadi akibat konflik Rusia-Ukraina, menjadikan negara-negara G 20 perlu menyesuaikan kembali komitmennya terkait target transisi energi.

COP 27 akan berlangsung dalam tekanan ketat krisis global. Namun kita harus menggunakan COP 27 sebagai momentum untuk menguatkan komitmen, terlepas dari semua krisis itu, bahwa darurat perubahan iklim tetap menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia. COP adalah forum para pemimpin global untuk pencapaian target mencegah kenaikan pemanasan suhu Bumi 1,5 derajat Celsius pada 2050.

Dalam pergolakan krisis energi dan kenaikan harga energi yang menyertainya, negara-negara di seluruh dunia seperti mengalami kesulitan untuk menempatkan perubahan iklim sebagai agenda utama aksi mereka. Namun ini adalah kesalahan, karena dunia menghitung mundur ke COP ke-27 di Mesir, November mendatang, dimana langkah konkret komunitas global tidak dapat ditunda guna mencegah krisis iklim.

Sumber: Kompas, 07/11/2022.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K

2 Responses

  1. herbal teaJanuary 15, 2025 at 6:45 pm

    … [Trackback]

    […] Find More here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/eko-sulistyo-cop-27-ditengah-krisis-energi/ […]

  2. slot99January 26, 2025 at 1:00 am

    … [Trackback]

    […] Read More Information here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/eko-sulistyo-cop-27-ditengah-krisis-energi/ […]

Leave a Reply