Oleh : Evi Sufiani
Bayangkan jika dalam sebuah kabut yang sangat pekat, Anda belum pernah datang dan melintas di daerah tersebut, Anda tak memiliki peta apapun di daerah tersebut lalu tetiba Anda memutuskan untuk tetap melanjutkan penerbangan dengan alasan, senja nanti waktunya ngopi bersama sahabat.
Konyol bukan?
Berikut beberapa catatan saya tentang pandemi. Pertama, berdamai dengan virus covid , buat saya ini adalah pernyataan kebingungan dan ketidaktahuan akan melangkah kemana, berasa sudah mentok karena merasa semua jalan sudah dilakukan.
Kedua, ketiadaan big data sebagai dasar penyusunan kurva epidemiologi standar yang disarankan oleh para ahli epidemiologi dan ahli virologi.
Ketiadaan ini menyiratkan, bahwa sedari awal, pemerintah abai terhadap penyebaran virus ini. Tanpa Data, bagaimana bisa melakukan mapping di sebuah wilayah untuk melakukan pencegahan? Bagaimana bisa tahu kapan akan melonggarkan PSBB? Bagaimana cara melakukan preventif dan mengajak seluruh elemen masyarakat berdisiplin?
Bagaimana cara menyusun contingency plan dan exit strategy nya jika data tak ada?
Ketiga, dengan alasan ketiadaan uang, maka arus pergerakan manusia dan barang antar daerah di siang hari sangat dilonggarkan (dan di sisi yang lain, uang 5,6T di hamburkan untuk sesuatu yang unfaedah banget).
Edukasi pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak tidak efektif sama sekali karena masker-masker sempat menghilang beberapa saat di pasaran. Jaga jarak juga tidak efektif karena pasar, supermarket, mall dan bandara serta terminal bus pergerakan manusia tidak dibatasi sama sekali.
Dengan demikian seruan #stayAtHome dan pemberlakuan PSBB hanya menambah masalah yang lebih besar dengan laju pertambahan pasien positif covid yang juga semakin meningkat.
Hal terbaru yang dilakukan pemerintah adalah memberlakukan orang-orang yang berusia dibawah 45 tahun boleh melakukan aktivitas ekonomi tanpa batas.
Keempat, pemerintah tidak memiliki contingency plan dan exit strategy sebagai upaya pengendalian laju penyebaran virus ini dengan :
– Testing, Tracing, Isolation
(Lagi-lagi alasannya karena ketiadaan dana, maka testing pada orang-orang berisiko tinggi dengan mobilitas tinggi, siapapun itu, tidak dapat dilakukan secara akurat).
– Pembatasan Mobilitas manusia dan barang.
(Jika langkah pertama diatas tentang Testing dan Tracing dilakukan dengan disiplin, pemerintah akan memiliki data sebaran yang akurat, sehingga mobilitas manusia antar wilayah hanya bisa dilakukan jika hijau ke hijau)
– Edukasi yang terus menerus untuk PHBS (pola hidup bersih dan sehat)
Kelima, membangun kesadaran kemanusiaan dan persaudaraan sebagai satu bangsa adalah upaya bersama untuk melakukan perlawanan terhadap pandemi ini.
Hal ini hanya bisa dilakukan jika pemimpin nya satu kata dan perbuatan. Pemimpin yang sedari awal mewakafkan dirinya untuk melayani negeri ini, berdiri di garda depan, berjuang melawan sebaran virus ini.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, Apakah kondisi kekinian pertanda pemerintah akan memberlakukan herd immunity? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.
Toh, BPJS sudah dinaikkan sesuai dengan Perpres no 64 tahun 2020 yang ditandatangani Presiden tgl 5 Mei yang lalu.
Artinya, dengan kondisi ekonomi yang serba sulit saat ini, beban rakyat dibuat semakin bertambah dengan kenaikan ini. Apatah lagi ada tambahan beban berupa denda sebesar 5% jika terlambat bayar. Nyesek gak tuh?
Hal lainnya, adalah PSBB diberlakukan di banyak wilayah tapi di sisi yang lain, mobilitas manusia dan barang via moda transportasi udara, laut dan bus di buka selebar²nya. Pulang kampung diperbolehkan dengan alasan agar terjadi pemerataan ekonomi.
Bukankah ekonomi akan berharga jika ada hidup dan kehidupan? Sesulit itukah negara menanggung hidup warganya? Mengapa kaum borjuis negara ini enggan mengalah memberi makan dan penghidupan pada rakyat kebanyakan? Apakah memang rakyat kebanyakan hanya diberi pilihan: hidup dengan risiko terpapar covid atau hidup dengan ketiadaan pangan dan harapan?
Jika pemerintah “berani” melakukan tindakan perbuatan melawan hasil keputusan MA dan menerapkan kebijakan-kebijakan lainnya yang saling bertentangan satu dengan yg lainnya dengan mengorbankan hak hidup dan hak sehat rakyat kebanyakan, wajar saja jika kemudian wacana herd immunity mengemuka menjadi trending.
Negara Tidak Hadir
Negara “tidak hadir” di masa pandemi ini dan Covid 19 “disamakan” dengan penyakit diabetes, jantung, kanker, auto imun dsb. Mau di tes atau tidak, terserah saja, tanggung jawab kesehatan ada di kantong masing² orang. Mau berobat atau tidak, terserah orang nya, mau isolasi atau tidak, terserah juga. Mau mati cepat atau perlahan, pilihan “mandiri” masing² orang.
Inilah yang kemudian memunculkan wacana herd immunity atau genosida dalam tanda kutip.
Wallahu alam bish shawab
Surabaya, 22 Ramadhan 1441H
Editor : Setyanegara
Tags:Related Posts
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Kelemahan Jokowi
Telegram中文版下载December 25, 2024 at 11:41 am
… [Trackback]
[…] Read More on to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/evi-sufiani-apakah-pertanda-herd-immunity-segera-diberlakukan/ […]
cam tokensJanuary 6, 2025 at 12:41 am
… [Trackback]
[…] Find More Information here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/evi-sufiani-apakah-pertanda-herd-immunity-segera-diberlakukan/ […]