Fenomena Negeri: Hoax, Anjloknya Rupiah, Bencana, Persekusi, Menjelang Pilpres

Jalan Tengah Krisis Bangsa: Intelektual Milenial konsep Alternatif

Hoax RS tidak boleh terus mendapatkan panggung. Apalagi terus mendominasi media massa. Penyakit kebangsaan, demokrasi, dan negara lebih banyak yang perlu mendapatkan perhatian serius media massa. Rakyat tidak mesti larut dalam bingkai ‘melodrama‘ agenda setting rezim. Bencana lombok, Palu perlu mendapatkan perhatian khusus pemerintah. Begitupun dengan soal anjloknya rupiah sampai angka 15.200 rupiah per dollar As. Disaat Indonesia berduka, 6,9 triliun dianggarkan dari APBN untuk pertemuan IMF dan penjamuan Bank Dunia di Bali.

Bandingkan dengan Anggaran untuk Bencana Lombok dan Palu? Nyaris, bangsa berwajah ganda. Wajah bencana: Persekusi, hoax, dan dan wajah gembira alokasi APBN untuk biaya IMF dan Bang Dunia. Ini bentuk kontrakdiksi yang membingungkan.

Antibody ekonomi lemah. Diserang virus kecil saja, bisa sakit (Rizal Ramli). Antibodi ekonomi lemah yang ditengarai kebijakan impor tanpa argumentasi ekonomi yang berpihak pada rakyat. Itu faktor internal yang disembunyikan negara, dalam merespon anjloknya rupiah. Jadinya, bangsa kita tidak mesti harus menyalahkan bangsa lain.

Manakala gagap dan gugup menarasikan format pembangunan nasional.
Politisi sibuk bicara pilpres dan pileg. Advokat sibuk urus soal hoax. Saling bermain pingpon. Para akun bayaran sibuk menarasikan agenda untuk memperkeruh suasana negeri. Dan presiden sibuk melempar janji-janji. Janji yang lebih sesdikit ditepati, dan lebih banyak berubah menjadi hoax. Lalu kepada siapa nalar publik diperjuangkan.
Intelektual milenial harus menjadi jawaban segudang problem negeri. Masa depan negeri, tidak bisa sepenuhnya kita percayakan pada politisi, dan pemerintah yang sibuk mempublis janji.

Fahri Hamzah dalam tulisanya ‘Merawat nalar hukum demokratis’ menyampaikan kegelisahannya terhadap situasi hoax RS dengan dinamika negeri. Dalam salah satu gagasannya, FH menyinggung kampus yang dihantui rasa takut dan cemas. Padahal kampus punya kewajiban merawat mimbar akademik. Tepatnya karena Nalar hukum demokratis tidak bisa diserahkan hanya kepada Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.

Mimbar akademik yang bermedium kampus inilah ‘rumah narasi progres’ intelektual milenial. Tidak lain iyalah mahasiswa. Kampus tidak boleh cemas apalagi takut, berdiri menentukan keberpihakan. Mahasiswa tidak boleh netral dalam menyikapi kondisi negeri yang sakit ini. Tidak juga sebagai penonton yang hanya bisa memantau dan menghadiahkan tepuk tangan.

Hari yang lalu (September) gelombang gerakan mahasiswa meluas berdiri menentang kebijakan negara. Kebijakan Pemerintah. Walau tidak mendapatkan respon yang proposioanal dari kepolisian dan media massa. Itu soal lain. Soal pentingnya gerakan mahasiswa tidak boleh mati suri. Entah karena apa? gerakan awalnya massif, walau dijawab dengan persekusi, kini mulai hilang. Apakah karena tuntutan stabilitas perekonomian nasional telah pulih, rupiah membaik, ketimpangan impor telah dibenahi, dan nawacita mulai dibenahi?. Ataukah karena Gempa Palu dan Tsunami Donggala. Ataukah hoax RS, menjadi mesin pengalihan isue, karena terlalu melek?. Atau memang sedang membangun konsilidasi bawah tanah, dalam menseriuskan agenda gerakan. Entahlah.

Hari ini kita menikmati paradoks dalam berbangsa dan bernegara. Gempa Lombok belum juga diperhatikan secara serius. Cek 50 Juta untuk rehabilitasi rumah semacam gak ada kabar lagi, belum lagi gempa dan tsunami palu, yang seharusnya jadi bencana nasional. Belum lagi soal penjarahan, soal triliunan untuk menjamu IMF dan Bank Dunia, terkombinasi anjloknya rupiah dan hoax. Persekusi mulai redup penangananya.

Mahasiswa milenial (Intelektual milenial) harus kembali berdialog dan bergulat pada kondisi bangsa ini. Menjawab melodrama dan wajah ganda negeri. Sumbangsih gerakan, gagasan, dan narasi dibutuhkan. Membantu rezim untuk berpikir, bahwa ada yang salah dalam narasi kepemimpinan nasional.

Saat payung nalar demokratis ambruk, media tersusupi agenda penetrasi, rakyat harus berharap kepada siapa?. Pada rezim?. Intelektual milenial sekali lagi gak boleh netral. Biarkanlah politisi yang sibuk tertawa terhadap keburukan negeri, kita harus melawan. Iya melawan. Dengan gagasan dan suara-suara pembaharuan.

Mimbar akademik harus mulai dihidupkan. Mimbar rakyat harus dibuka. Anjloknya rupiah bukan lelucon. Persekusi bukan melodrama. Hoax harus dilawan total. Bencana (penanganan) bukan hal yang lucu.

Hoax RS, tidak harus membunuh nalar progresif kita. Jalan tengah harus disediakan sebagai konsep alternatif. Jalan tengah bukanlah sikap netral ‘tapi memilih berpihak pada kepentingan gagasan dan masa depan negara’.

Saat mata kita disibukan melihat hal kecil, maka nalar kita akan berhenti melihat masalah besar.

Lawan Total Hoax!.
Lawan Total Persekusi!.
BencanaTsunami Sulsel: Bencana Nasional
Tunaikan Janji Untuk Lombok
Stabilkan Rupiah
Selamatkan Perekonomian Nasional

mataram, 07-10-2018

Related Posts