Oleh : Goenawan Mohamad
SEORANG anak muda 19 tahun, sebaya saya, tapi lebih kurus, lebih tinggi, dengan baju dan celana yang lusuh tapi bersih, dengan cara bicara yang lempang tapi tak agresif, dan dipanggil “Djin”, mengatakan ia sudah menerjemahkan satu bab dari L’Étrangère: sejak kami berkenalan buat pertama kalinya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, di tahun 1960, Arief Budiman —waktu itu memakai nama “Soe Hok Djin“— sudah tampak sebagai seorang yang luar biasa.
Ia menyukai sastra dan filsafat sejak SMA, ia melukis, ia bermain gitar klasik dengan ketrampilan awal yang lumayan, dan kemudian saya ketahui, ia pintar matematika.
Kami berdua dengan cepat jadi akrab.
Mungkin sekali kami sama-sama agak asing dari pergaulan dengan mahasiswa lain, yang di Fakultas Psikologi UI waktu itu barangkali tak lebih dari 150 orang. Sebagian besar mahasiswa tak dekat dengan hal-hal yang kami sukai, dan kami merasa tak pas untuk bersama mereka menikmati yang mereka sukai, di sebuah universitas yang waktu itu mencantumkan semboyan, “buku, pesta, dan cinta”.
Persahabatan kami diperkuat lingkungan yang terbentuk kemudian. Arief memperkenalkan saya dengan seniman dan cendekiawan yang terkenal: Trisno Sumardjo (penerjemah Shakespeare dan perupa), Nashar (perupa), Zaini (perupa), P.K. Ojong (wartawan dan kelak pendiri Kompas), Onghokham (sejarawan), dan, setelah 1967, memperkenalkan saya dengan orang yang ia kagumi dan dekat kepadanya, Mochtar Lubis. Itu pengalaman tersendiri. Arief anak Jakarta yang tanpa rikuh beredar bersama mereka, sedang saya baru datang dari sebuah kota kecil di pantai utara Jawa Tengah.
Segera saya jadi bagian (meskipun bukan bagian yang sentral) lingkungan ini — meskipun saya, yang dibesarkan dalam bahasa Jawa, lengkap dengan kromo inggil-nya, tak seberani Arief menyebut seniman atau penulis yang lebih tua “kau”.
Ya, Arief anak Jakarta tulen, dibesarkan di keluarga Tionghoa yang hanya berbahasa Indonesia (ayahnya dahulu seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa Melayu-Tionghoa), dan tentu punya adat bertutur yang berbeda.
Lagi pula, ia — tanpa keangkuhan — tak melihat dirinya inferior. Ia sudah sering menulis esei di majalah Star Weekly waktu itu. Saya sesekali dapat tempat untuk sajak-sajak saya di majalah Sastra. Selama kami berkuliah bersama (saya setahun lebih dahulu), kami akan ketemu dan bicara tentang yang kami masing-masing pikirkan, dan hampir ke mana-mana kami berjalan berdua, dengan mulut dan kepala penuh seni dan filsafat.
Arief memang sudah menerjemahkan satu bab dari L’Étrangère. Ia mengagumi Albert Camus; ia bahkan merasa punya persamaan dengan pengarang kelahiran Aljazair itu ketika ia, seperti Camus di umur 17, didiagnosa kena TBC dan harus dirawat. Ia membaca, dalam bahasa Inggris, hampir semua buku Camus yang bisa diperoleh di Jakarta entah bagaimana caranya. Ia melahap The Myth of Sisyphus, dari mana ia mengembangkan filsafatnya yang anti-utopisme. Buku itu, di mana tertera nama “Djin“ di halaman depan, masih saya simpan, sejak hampir setengah abad yang lalu.
Arief bukan fotokopi Camus, tentu. Ia tak pernah aktif dalam dunia pentas, dan tak seperti Camus, Arief tak punya hubungan dengan perempuan-perempuan yang memikat. Tapi pandangan anti-utopismenya memang dibentuk mithos Sisyphus yang dipakai Camus sebagai alegori bagi sejarah manusia yang tak pernah selesai dan lengkap — sejarah yang tak akan menghasilkan surga di bumi.
Ini terutama tampak ketika ia, dalam umur 22, ikut merumuskan Manifes Kebudayaan. Petisi tahun 1963 itu (ketika itu kata “petisi” sama sekali tak lazim, dan orang sampai kini tetap salah sangka melihat “Manikebu” sebagai sebuah organisasi) mengimbau dijaganya kemerdekaan ekpresi seni. “Manikebu” bertolak dari tesis bahwa tak semestinya kemerdekaan itu dikorbankan untuk kepentingan perjuangan politik yang hendak mencapai masyarakat yang sempurna — yang tak akan tercapai. Justru dengan merawat kemerdekaan, menurut Manifes Kebudayaan, kesenian akan mampu untuk tak henti-hentinya jadi bagian perjuangan pembebasan.
Dalam hal itulah petisi yang diejek sebagai “Manikebu” itu bertentangan dengan “realisme sosialis”. Doktrin yang digariskan Stalin ini, dan harus diikuti setiap seniman, tak memperkenankan kesenian menyimpang dari garis politik Partai. Kemerdekaan kesenian, bagi paham yang dirumuskan untuk mendukung Rencana Lima Tahun Stalin itu, adalah sebuah kemewahan. Kemerdekaan hanya pantas ada setelah masyarakat sosialis lahir. Sebelum itu, harus ditunda.
Kami berkeberatan. Dalam prakteknya: kemerdekaan dimasukkan ke dalam loker. Arief dan saya dan penandatangan Manifes Kebudayaan anggap bahwa penundaan itu akan mengorbankan banyak hal, seperti yang terjadi dalam kehidupan kesenian Uni Soviet. Dan korban itu sia-sia, karena seluruh usaha bertolak dari sebuah ilusi tentang masyarakat masa depan yang sempurna, masyarakat yang tak akan pernah lahir. Terbukti eksperimen Stalin dan Uni Soviet gagal membangun masyarakat itu, sementara doktrin “realisme sosialis” — yang telah menyebabkan banyak sastrawan dibungkam — ditinggalkan setelah Stalin mangkat.
Related Posts
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
best showsDecember 7, 2024 at 5:27 am
… [Trackback]
[…] There you can find 71615 more Information on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/gunawan-muhamad-arief-budiman-yang-akrab-dengan-yang-murni/ […]
visit homepageFebruary 2, 2025 at 6:39 pm
… [Trackback]
[…] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/gunawan-muhamad-arief-budiman-yang-akrab-dengan-yang-murni/ […]