Gunawan Muhamad : Arief Budiman, Yang Akrab dengan Yang Murni

Gunawan Muhamad : Arief Budiman, Yang Akrab dengan Yang Murni
Dr Arif Budiman

Bahkan ia melihat konflik sebagai komunikasi. Ia sabar. Ia tak bisa menista orang. Tak pernah tercetus kata “babi” “anjing”, “kontol”, “bangsat” dari mulutnya. Arief sangat sopan dalam umpatan dibandingkan dengan saya atau, misalnya, dengan Marsillam Simanjuntak, sahabat dan teman seperjuangan kami dari masa ke masa. Ia tak pernah tercetus untuk menghina pendapat lain, juga yang bertentangan dengan pendiriannya. Kata negatif yang paling kasar dari mulut Arief: “payah!”. Ia punya kapasitas untuk mendengarkan, juga mendengarkan kritik yang paling keras.

Dengan sangat wajar ia bergabung dalam “pergerakan” dan jadi aktivis.

Tapi ada satu faktor lain yang membuatnya “bergerak”: Soe Hok Gie, adik kandungnya, persisnya sejak Gie meninggal dalam kecelakaan di Gunung Semeru.

Kakak beradik ini jarang bicara satu sama lain jika bertemu di antara orang banyak. Mereka saling menjauh, tampak tak ingin ada keakraban. Dunia pergaulan mereka berbeda. Gie akrab dengan aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis dan kalangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibubarkan Bung Karno dan pemimpinnya, Sjahrir, dipenjarakan. Gie lebih akrab dengan aktivis politik — bahkan dengan bekas peserta Pemberontakan Permesta. Di luar itu, ia akrab dengan kawan-kawannya di Fakultas Sastra, khususnya mereka yang gemar mendaki gunung. Sementara Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi dan Trisno Sumardjo, dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain.

Tapi ketika ia menulis obituari pendek tentang adiknya, Arief terasa tergetar, dan tergerak, oleh perjuangan Gie yang selama ini mungkin tak ia pedulikan. Ia menjemput jenazah Hok Gie dari Gunung Semeru. Di sana ia diberitahu ada tukang peti mati yang menangis karena kematian “orang yang berani” itu. Ketika Arief berbicara dengan seorang pilot AURI yang mengemudikan pesawat pembawa jenazah, pilot itu mengatakan, Gie mungkin bisa berbuat banyak kalau dia hidup terus.

Ini memberi Arief sebuah insight baru. Pada suatu saat, menurut Arief, Gie pernah menyatakan kebimbangannya: dalam perjuangan untuk “menolong rakyat kecil yang tertindas”, ia merasa makin lama makin banyak musuhnya dan “makin sedikit” orang yang mengertinya. Kata Gie pula, “kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.”

Tapi di kaki Semeru itu Arief tahu, tak demikian halnya. Di sebelah peti mati adiknya ia berkata, “Gie, kamu tidak sendirian.”

Kemudian Arief membuktikan itu dengan bergerak sebagai aktivis, seakan-akan mengambil bendera keberanian yang terjatuh yang dibawa adiknya yang tewas. Ia tahu bahwa seorang “yang jujur dan berani” yang melawan ketidakadilan akan “mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang.”

Kepercayaan Arief kepada “banyak orang” itu bagi saya memperlihatkan sikapnya: dalam dirinya, tak ada arogansi, tak ada kekenesan seorang aktivis yang sedang berada di atas panggung perjuangan — malahan sebaliknya ada penghargaan kepada kemampuan seorang tukang peti mati yang jauh di udik sekali pun untuk jadi bagian dari demos, orang kebanyakan yang ikut membentuk nilai-nilai, yang ikut meneguhkan apa yang adil dan yang tidak, yang palsu dan yang tulus.

Berbeda dari Gie, Arief tak pernah mengatakan ia sendirian. Ia tahu ada yang heroik dalam posisi bersendiri (“Eagle flies alone”, atau “Lonely are the brave”). Tapi kesendirian dalam perspektif Arief sangat dekat dengan keikhlasan. Ketika ia memakai tokoh Shane dalam film western yang terkenal itu sebagai tauladan, ia menunjukkan nilai seorang yang menghadapi kesewenang-wenangan tanpa melibatkan orang lain ke dalam bahaya, seorang yang menghilang setelah melaksanakan keadilan tanpa meenunggu, tanpa perlu, aplaus dalam pengorbanannya.

Keikhlasan itulah yang membuat motif etis dalam aktivisme Arief Budiman. Ia bedakan gerakan yang ia prakarsai dari aktivisme “politik. Tapi sebenarnya secara paradoksal ia justru menunjukkan bahwa konstruksi biner yang memisahkan “gerakan moral” dan “gerakan politik” tidak selama-lamanya valid dan berlaku. Yang penting dari semua itu: Arief mengutamakan kemurnian.

Arief Budiman bersama isterinya, Leila, di rumah mereka.
Perjuangannya murni, sepi ing pamrih. Persahabatannya selamanya murni, tak pernah ada agenda lain. Percintaannya kepada Leila murni, sejak ia jatuh cinta, tak pernah ada orang lain. Ekpresinya murni, tak pernah ada dusta dan tipu muslihat.

Saya ingat apa yang dikatakan seorang sahabat yang mengagumi dan mencintainya: Ivan Kats, yang bekerja di Congres for Cultural Freedom di Paris di tahun 1960-an.

Sebelum Arief dan keluarga pindah ke Paris di tahun 1972 untuk bekerja bersama Ivan, di tahun 1964 Arief pernah tinggal di rumah keluarga Kats di Marly-le-Roi, sebuah kota kecil tua dengan hutan yang rindang di luar Paris. Kepada saya, yang mampir berlibur ke rumah itu waktu saya kuliah di Brugges, Belgia, mendiang Ivan dan isterinya, Evelina, seorang pelukis, bercerita: mereka beberapa kali mengajak Arief berjalan menyusuri hutan. Mereka tertegun anak muda Indonesia yang kurus itu akan berhenti di tepi sebuah kali kecil dengan air yang jernih, dan dalam cuaca musim gugur, langsung minum dari tempat itu.

“Ia sungguh akrab dengan apa yang murni”, kata Evelina.

Jakarta, 5 Januari 2018

Naskah ini terbit dalam antologi Arief Budiman (Soe Hok Djin) Melawan Tanpa Kebencian terbitan Galangpress (2018).

 

Last Day Views: 26,55 K

2 Responses

  1. best showsDecember 7, 2024 at 5:27 am

    … [Trackback]

    […] There you can find 71615 more Information on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/gunawan-muhamad-arief-budiman-yang-akrab-dengan-yang-murni/ […]

  2. visit homepageFebruary 2, 2025 at 6:39 pm

    … [Trackback]

    […] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/gunawan-muhamad-arief-budiman-yang-akrab-dengan-yang-murni/ […]

Leave a Reply