Hajj: Membangun Persatuan dalam Keragaman

Hajj: Membangun Persatuan dalam Keragaman
Daniel Mohammad Rosyid

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid

@Rosyid College of Arts Gunung Anyar, Surabaya

Pendahuluan

Di tengah prosesi Haji di Mekah hari2 ini, dinamika global sedang menuju ke kesetimbangan baru. Pada saat kemunduran peran hegemonik negara adidaya AS serta kebangkitan raksasa ekonomi, teknologi dan militer China, dunia bergerak ke arah lansekap geopolitik dan ekonomi baru di mana kekuatan2 global lebih tersebar ke beberapa power houses seperti India, Rusia, Brazil, dan Indonesia.

Fenomena ini disebut multipolaritas sejak keruntuhan Tembok Berlin setelah selama 30 tahun terakhir didominasi oleh unipolar AS. Eropa boleh dikatakan hanya boneka AS. Krisis Ukraina-Rusia yang berlarut-larut sebagian besar disebabkan kesalahan strategik Eropa untuk mau terus menjadi boneka AS.

Sejak pembubaran Pakta Warsawa, NATO ternyata justru menguat dan meluas. Ukraina yang seharusnya menjadi kawasan buffer yang netral diprovokasi terus oleh NATO untuk menjadi anggotanya. Sebagai ancaman eksistensial, hal ini sama sekali tidak bisa diterima oleh Rusia.

Pada saat kemiskinan masih mencengkram banyak negara, krisis Ukraina vs Rusia membuktikan sekali lagi ketidakberdayaan PBB untuk menjaga perdamaian dunia menghadapi aksi2 ilegal AS.

Daftar kegagalan PBB untuk mencegah invasi AS dengan menjadi wasit bagi banyak konflik bersenjata di dunia, terutama sejak invasi AS ke Timur Tengah dan Afghanistan dengan pretext peristiwa 9/11 atas dua menara kembar WTC di New York semakin panjang.

AS terbukti menjadi satu2nya negara dengan rekam jejak invasi yang paling hitam. Military industrial complex yang terus membakar nafsu adigang adigung adiguna AS untuk terus menjadi satu2nya adidaya telah menyebabkan berbagai konflik kawasan di berbagai belahan dunia.

Bagi AS, war is not only business but a very good one. Seperti yang dikatakan Noam Chomsky, Partai Demokrat AS, setelah Partai Republik AS, adalah organisasi yang paling berbahaya di dunia, bukan ISIS atau Al Qaeda, apalagi FPI atau HTI.

Indonesia Bangsa Yang Terbelah

Salah satu konsekuensi hegemoni AS itu adalah gelombang islamophobia yang dipicu oleh operasi War on Terror yang disulut oleh George Bush Jr segera setelah peristiwa 9/11. Dalam praktek, perang melawan teror itu diartikan sebagai war on Islam. Ini terasa sekali di Indonesia.

Kelompok2 kiri dan nasionalis sekuler radikal di Indonesia memanfaatkan gelombang islamophobia ini untuk menunggangi Reformasi dengan menuduh hampir semua ekspresi Islam sebagai intoleran, anti-Pancasila, bahkan anti-NKRI.

Penguasa membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Densus 88 yang lebih mematikan daripada TNI. Kebijakan deradikalisasi dan moderasi diluncurkan.

Padahal, dengan penggantian UUD45 menjadi UUD 2002 itu kelompok kiri radikal dengan memanfaatkan kelompok nasionalis sekuler sebagai useful idiots, justru telah berhasil mengubur Pancasila di bawah kaki mereka sambil terus menuduh Islam sebagai ancaman atas Pancasila dan NKRI dan kini meraih kekuasaan.

Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila secara terbuka mengatakan bahwa musuh Pancasila terbesar adalah agama.

Sebelum peristiwa kemenangan Anies atas Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta, bangsa ini telah terbelah secara sosial, ekonomi dan politik. Keterbelahan politik itu memuncak sejak kekalahan Ahok tersebut.

Akibat lingkungan ekonomi dan politik yang makin liberal dan kapitalistik, jurang kesenjangan ekonomi makin memburuk. Kekayaan nasional memusat di tangan sekelompok taipan yang kekayaannya sebagian diperoleh oleh penguasaan lahan tak terkira untuk sawit, kebun, pertambangan, dan juga perumahan di kota2.

Akses para taipan ini ke sistem perbankan nasional dan juga pasar modal membuat ketimpangan itu makin buruk dengan rasio ginie nasional melampaui 0.4. Ini adalah bom waktu yang menunggu waktu untuk meledak.

Diperuncing oleh medsos keterbelahan masyarakat itu makin menjadi melahirkan kaum cebong di satu sisi dan kaum kadrun di sisi lain.

Pandemi covid 19 ikut mempertajam keterbelahan ini karena masyarakat tenggelam di dunia maya yang dipenuhi para buzzer bayaran yang tidak pernah berhenti menarasikan islamophobia.

Pada saat banyak kriminalisasi atas kelompok2 kritis termasuk ulama ditangkap dengan alasan yang tidak masuk akal, situasi politik saat ini menyerupai situasi menjelang G30S/PKI 1965.

Rezim Jokowi semakin keras terhadap kaum kadrun, namun sangat memanjakan kelompok cebong.

Keputusan terakhir Jokowi untuk mengakui peristiwa G30S/PKI sebagai pelanggaran HAM berat, bukan konflik politik sebagai konsekuensi atas kebijakaan Soekarno yang pro-PKI-PKC, serta menyiapkan kompensasi bagi para korban menunjukkan bahwa rezim saat ini sedang mengistimewakan eks-PKI yg mendaku sebagai korban.

Serangan terus-menerus atas Islam politik disemburkan untuk melancarkan balas dendam kaum sekuler kiri radikal ini pada ummat Islam.

Hajj : Prosesi Tawhid dan Geopolitik Global

Keterbelahan global dan nasional ini tidak mungkin dibiarkan terus berkembang karena telah terbukti merusak ketertiban dunia dan perdamaian, juga kemerdekaan di banyak kawasan di dunia.

Pada saat batas2 negara makin kabur akibat digitalisasi di semua bidang, kita kini menghadapi tantangan eksistensial sebagai spesies paling terorganisir yaitu perang nuklir dan keruntuhan lingkungan.

Politik pecah belah, ketidak adilan hukum dan ekonomi, lalu perseteruan kaum cebong vs kadrun yang tidak produktif harus segera diakhiri.

Keterbelahan ini hanya menguntungkan kekuatan2 nekolimik Barat maupun Timur yang sejak proklamasi terus menerus berusaha mengeruk sumberdaya alam dan memperbudak kita dengan riba justru di bawah pengawasan PBB.

Islam yang telah hadir di Nusantara sejak abad pertama kenabian telah menjadi perekat bangsa yang menghuni bentang alam kepulauan ini melampaui sukuisme sekaligus inspirasi bagi perlawanan terhadap penjajahan.

Ini yang menyebabkan bangsa ini terhindar dari genocida seperti yang terjadi atas bangsa Indian di Amerika, juga bangsa aborigin di Australia. Islam adalah rahmat bagi alam semesta, tidak hanya bagi spesies manusia dengan beragam suku dan agama.

Muhammad Rasulullah saw juga diutus bagi semua ummat manusia. Nilai utama Islam adalah keadilan bagi semua, tidak peduli agama apalagi suku dan bangsanya. Hanya dengan Islam, Garuda memiliki kesempatan lolos dari injakan kaki Gajah ataupun ditelan mulut Naga.

Tradisi haji sudah menjadi bagian penting dalam dinamika Islam di Nusantara sejak dulu. Haji adalah demonstrasi kesamaan derajat manusia itu di hadapan Sang Pencipta.

Pesan utama Hajj adalah tawhid. Hanya Allah swt Sang Ahad yang mampu mempersatukan ummat manusia yang berbeda-beda latar belakangnya.

Yang menentukan derajat manusia hanya ketaqwaannya belaka, yaitu kesanggupan untuk hidup Ibrahimiy sebagai hamba Allah, bukan hamba perut dan kelamin serta ego-iblisy nya sendiri.

Penyembelihan hewan qurban adalah simbol penyembelihan potensi2 hayawany sumber kesombongan iblisy ini yang menjadi penghalang bagi relasi2 antar-manusia yang lita’arafuu (saling menghormati dan memuliakan).

Tatanan hidup yang sesuai dengan fithrah manusia, menjunjung perikemanusiaan, keadilan, mengutamakan musyawarah bil hikmah sekaligus mempersatukan itu disebut ad diin al Islam yang melampaui tribalism, dan nationalism sempit sebagai a glorified tribalism yang menjadi lahan subur bagi konflik, ketidakadilan dan perpecahan antar-bangsa saat ini.

Khutbah Rasulullah saw di Arafah saat wukuf itu jelas pesan politiknya : perlindungan atas jiwa dan harta manusia, perlindungan atas perempuan, pembebasan manusia dari riba, serta agar ummat manusia berpegang teguh pada Al Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.

Penutup

Seperti yg dengan cemerlang dirumuskan oleh Agoes Salim dkk dalam Pembukaan UUD45, sesuai benar dengan maqashid syariah, Islam mengilhami perlindungan segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia.

Tidak mengherankan jika Dekrit Presiden Soekarno 1959 menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran utamanya. Sayang sekali kedekatannya dengan PKI menggiringnya melakukan blunder politik yang paling monumental yang mengantarkannya pada kejatuhan.

Tidak banyak yang menyadari bahwa ekosistem global khilafaty dan pelaksanaan syariat Islam telah lama terbukti menjadi lahan subur bagi tumbuhkembang Pancasila dalam masyarakat yang bhinneka tunggal ika di Nusantara, tidak sekedar pendakuan sepihak sambil mengintimidasi kelompok2 lainnya.

Proses pembelahan bangsa ini harus segera diakhiri. Para muttaquun harus mengambil tanggungjawab terdepan untuk mempersatukan sekaligus menyelamatkan bangsa ini sebagaimana para pendahulunya.

Bangsa Indonesia, baik kaum cebong ataupun kadrun harus bertobat kembali ke pusaka wasiyat para pendiri bangsa, yaitu UUD45 yang dijiwai olen Piagam Jakarta sebagai kesepakatan agung para putra bangsa terbaik pada zamannya.

Teladan Ibrahim AS dan keluarganya bisa menjadi model bagaimana kebanggaan dan kesombongan kelompok dan golongan dikorbankan demi pengabdian pada Allah swt Sang Pencipta.

Realitas dunia yang makin borderless, dan tantangan global yang dihadapi setiap bangsa dan ummat manusia saat ini memerlukan nilai2 universal yang dibawa oleh Islam sebagai rahmat bagi ummat manusia dari suku, bangsa, dan agama apapun.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K