Hidup di Zaman Hoax

Hoax Antara Devinisi dan Pesanan Politik

Penulis dengan pengetahuan awam, melihat hoax diera kekinian, sebutan dan proses penanganan hoax, belum proposional. Begitupun ‘keberterimaan publik’ terhadap hoax. Hoax didevinisikan berdasarkan ‘selera rezim’. Logika hoax disesuaikan dengan kepentingan rezim. Begitupun soal penyelesaian hukum dari pelaku dan akun sosmed penyebar hoax. Dan yang penulis sesalkan, nalar publik lebih doyan mengutuk ‘hoax’ yang digaduhkan daripada hoax kuasa yang cenderung disembunyikan. Bukankah, Hoax subtansinya iyalah berita bohong, ada kesengajaan, ada elektabilitas, dan untuk tujuan tertentu. Entah dari siapapun dari lembaga manapun itu.

Hoax bukan hanya sekedar berita bohong. Unsur kesengajaan, manipulasi fakta dan data, disebarluaskan dimedia massa, dan bertujuan mempengaruhi opini publik. Berita bohong saja, kalau tidak ada unsur kesengajaan dan tidak mempengaruhi opini publik belum bisa dikatakan hoax. Berita bohong yang tidak menciptakan kegaduhan, dan ujaran kebencian menurut penulis bukanlah hoax. Menurut penulis, berita dan atau informasi yang dipanggungkan diruang publik, yang seolah menjajanjikan, oleh siapapun itu, dengan tujuan tertentu, dan membentuk opini publik, tapi tidak direalisasikan iyalah: hoax.

Hoax Ratna Sarumpaet masih menjadi trending topik. Poin pertama dan kelima petuah Ibnu Khaldun sangat relevan menurut penulis untuk dijadikan ‘pisau analitis’ dan otokritik. Pertama karena aliran idiologi dan keberpihakan opini seorang, atau kelompok masyarakat, terkonfirmasi ketidakpedulian kita terhadap kesesuai kejadian, dengan distorsi realitas. Informan hanya melaporkan informasi yang dilihat, terkait benar atau tidaknya terkadang tidak dipikirkan secara dalam.

Bangsa indonesia menjelang pilres, terpecah jadi dua keberpihakan opini, dan mahzab. Opini koalisi vs opini oposisi, mahzab Prabowo-Sandi dan Jokowi-Amin. Begitupun dengan informan masing-masing penyuplai opini. Itulah kenapa ‘Hoax RS’ masih menjadi garapan, dan trending topik. Karena disana ada elektabilitas, playing victim, dan kalkulasi politik. Siapakah korban dari hoax RS, siapa yang diuntungkan?. Itu soal ‘demokrasi’ dan soal politisi. Soal kita, rakyat dibuat gaduh. Dan belakangan ini, hoax RS yang menggaduhkan publik, lewat pengakuannya (Jumpa pers) telah menjadi isue goreng menggoreng untuk elektabilitas, dan desain wacana untuk menguntungkan dan merugikan pihak tertentu. Iya dari awal RS, iyalah representasi politik, (Tim Prabowo) tapi idealnya ketika itu masuk proses hukum, gak perlu lagi digoreng terusan. Ijinkan kepolisian ‘menggoreng’ dengan melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum. Politik seharusnya kehilangan hak, dan mulai fokus pada agenda-agenda penting bangsa, menyelesaikan masalah bangsa. Gak boleh terlena pada isue hoax RS saja. Karena bukan hanya RS tokoh hoax direpublik ini. Ada Deny Siregar dan sejenisnya.

Logikanya sama dengan janji pemerintahan (Jokowi) terkait peningkatan ekonomi 7 persen per-tahun. Sekarang hanya 5 persen. Begitupun janji pemerintah terkait pembangunan rumah warga korban gempa lombok (cek kosong 50 juta). Janji tidak berhutang pada IMF dan Word Bank, janji tidak impor pangan, janji menstabilkan rupiah: Masih belum dipenuhi. Menurut saya itu hoax.

Melodrama Hoax: Ikut Arus ataukah Melawan.

Seperti melodrama. Ada nampak banyak skenario, pemain, penyuplai, dan sutradara. Sinetron bernama ‘Hoax’ dari RS, dan siapapun itu, tidak boleh lama ‘jam tayangnya’. Ide kreatif harus dihadirkan. Bukan karena hoax RS tidak penting. Pertama Kepolisian atau lembaga berwenang, pasti menjalankan tugasnya dengan baik. Yang kedua, isue hoax ini lebih banyak membuka panggung pembodohan publik daripada pencerahan dan pencerdasan publik. Yang ketiga, tokoh bangsa, tokoh politik, tokoh ekonomi, tokoh agama, pemuda dan mahasiswa harus mulai melek isu vital negeri ini. Isue ekonomi, isue kebangsaan, kesejahteraan, isue hutang yang kian menumpuk, dan rupiah semakin anjlok. Karena ini menjelang pilpres, semua pihak harus mulai menarasikan format ‘politik dan demokrasi’ yang sehat, yang sejuk, dan mencerdaskan publik.

Media massa sebagai pilar demokrasi, harus membaca orientasi publik. Bukan orientasi calon presiden tertentu. Publik ingin tahu bagaimana wajah asli, perekonomian nasional, wajah asli penanganan bencana Lombok dan Palu. Dan wajah asli republik ini. Mengutip Fahri Hamzah dalam tulisannya ‘Merawat nalar Hukum Demokrasi’ bahwa perlu ada kekuatan diluar sistem (Media Massa) Kampus, dan sosial society sebagai pengontrol hukum demokrasi.

Related Posts