Penulis: Muhammad Ishak dan Farhan Gymnastiar
Mahasiswa Pascasarjana Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Potensi sumberdaya laut dan pesisir di Indonesia sangat melimpah, untuk itu perlu adanya upaya pengelolaan yang terkoordinasi dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat dengan melibatkan peran serta masyarakat dan pihak swasta.
Dukungan dari pemerintah salah satunya dengan menyediakan payung hukum berupa peraturan perundangan diantaranya Undang-undang tentang pemerintahan yang memberikan kewenangan pengelolaan perairan pesisir kepada pemerintah
daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah.
Selain itu Undang-undang wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil yang diharapkan akan memaksimalkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau-pulau kecil dengan pembagian kewenangan yang sejalan dengan prinsip desentralisasi.
Namun dinamika ketatanegaraan menimbulkan perubahan terhadap Undang-undang pemerintahan daerah dan terbitnya Undang-undang Cipta Kerja yang berimplikasi terhadap perubahan kewenangan pemerintah daerah diwilayah perairan, dimana kabupaten/kota sudah tidak memiliki kewenangan sementara perizinan yang sebelumnya ditarik ke provinsi kemudian seluruhnya dilimpahkan ke pemerintah pusat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak dari adanya dinamika perubahan kewenangan pengelolaan di wilayah pesisir serta langkah penyelarasan yang dapat ditempuh, misalnya dengan menyusun aturan pendelegasian sebagian kewenangan kembali ke pemerintah daerah dan meningkatkan koordinasi serta sinkronisasi kebijakan demi kepentingan bersama dan kelestarian sumberdaya pesisir.
Sumberdaya Kelautan
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 108.000 km dan merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan luas perairan laut mencapai 6,4 juta kilometer persegi, yakni sekitar 77% dari keseluruhan wilayah. Indonesia adalah
negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 (Dermawan et al., n.d.), kondisi tersebut menjadikan Indonesia kaya akan pontensi sumber daya kelautan seperti perikanan, mineral, energi, terumbu karang, rumput laut dan hutan mangrove, pariwisata, perhubungan, jasa kelautan, dan potensi lainnya.
Sumberdaya kelautan tersebut tentu menjadi peluang yang dapat mendatangkan manfaat finasial kepada negara dan memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir. Diharapkan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang ada bisa tetap terkendali, berorientasi jangka panjang, dan manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya yang berada di wilayah pesisir. Disisi lain, kekayaan sumberdaya tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan ruang jika tidak diselenggarakan dengan baik mengingat banyaknya stakeholders yang kepentingan yang berbeda-beda. Untuk menjaga kelestarian potensi yang ada serta meminimalisir konflik, maka perlu adanya pengelolaan yang optimal, efisien, merata, berkelanjutan, serta terkoordinasi, sehingga peran pemerintah menjadi sangt penting, setidaknya pemerintah harus membuat payung hukum yang jelas dan tersosialisasi.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang juga kita kenal sebagai undang-undang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K) diharapkan mampu untuk memenuhi harapan terciptanya pengelolaan sumberdaya kelautan yang terkoordinasi dan berkelanjutan. Oleh karena itu UU 27/2007 harus dijadikan pedoman bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan baik sumberdaya maupun ruang yang ada diwilayah pesisir. Penyusunan peraturan perundangan oleh pemerintah daerah terkait pengelolaan wilayah kelautan dan pesisir juga harus berpedoman norma, strandart, prosedur, dan kriteria yang telah disusun oleh pemerintah pusat berdasarkan UU 27/2007 tersebut.
Terkait dengan pengelolaan SDA kelautan yang ideal, maka penting untuk dilakukan desentralisasi kewenangan sehingga lebih terfokus dan menyentuh stakeholder yang berinteraksi langsung dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sejatinya hal tersebut didukung dengan adanya Undang-undang tentang pemerintahan daerah yang menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola semberdaya semaksimal mungkin sesuai
dengan prinsip otonomi daerah.
Pada awalnya pengelolaan wilayah kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya yang ada didalamnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat, namun seiring dinamika ketatanegaraan dan disahkannya Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan tersebut dilimpahkan kepada pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota.
Dalam perjalanannya terdapat beberapa peraturan perundangan yang mengatur terkait pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dinamika yang terjadi diantaranya dihapusnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota pada wilayah perairan 0-4 mil laut, sebab perairan pesisir 0-12 mil laut ditarik ke pemerintah provinsi.
Jika memperhatikan sejarah perubahan undang-undang pemerintahan daerah tersebut, terlihat tren yang secara konsisten arah penyelenggaraan pemerintahan sentralisme dimana kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota ditansfer ke pemerintah provinsi. Khususnya kewenangan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara signifikan ditarik ke Provinsi tanpa menyisakan sedikit untuk dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Desentralisasi pengelolaan kelautan, pesisir, dan pulau-plau kecil dibatasi sampai tingkat provinsi.
Babak baru pembagian urusan kewenangan kemudian terjadi pada saat ditetapkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang salah satu aturan turunannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, disebutkan dalam pasal 98 ayat (3) “Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi, diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan” .
Dengan demikian maka kewenangan perizinan dasar untuk kegiatan diwilayah perairan (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut) seluruhnya ditarik ke pemerintah pusat, namun penyusunan peraturan perundangan terkait rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetap menjadi kewajiban pemeritah daerah, dalam hal ini provinsi.
Oleh karena itu menarik dilakukan kajian untuk melihat implikasi dari Undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku saat ini dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap penyelenggaraan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya terkait perizinan pemanfaatan ruang laut. Diharapkan dengan adanya analisa ini dapat menambah referensi tentang tantangan dan penyelarasan penyelenggaraan pengelolaan ruang laut dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundangan yang disebutkan sebelumnya.
Implikasi Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Terhadap Pemda
Salah satu tujuan dibentuknya Undang-undang 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah untuk membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan kelautan dan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama yang harmonis dan meminimalisir potensi konflik pemanfaatan maupun konflik kewenangan.
Tujuan tersebut masih sejalan dengan amanah Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana kabupaten/kota memiliki keweangan untuk mengelola sumberdaya pesisir,
Pembagian kewenangan urusan pemerintahan di wilayah perairanpesisir dan pulaupulau kecil antara pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dapat dilihat pada gambar dibawah:
Dapat digambarkan bahwa perubahan substansi Undang-undang pemerintahan daerah pada bidang kelautan yang semula kewenangan di bagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka saat ini hanya diberikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Propinsi. Adapun kewenangan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan kebijakan, penataan ruang laut, pengawasan dan penegakan hukum, koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan, dan perizinan (kecuali ijin usaha perikanan) sudah tidak diberikan lagi.
Pemerintah kabupaten/kota tidak lagi menjadikan pengelolaan sektor kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi program prioritas pembangunan, namun secara administratif masyarakat lokal/nelayan yang bermukim di wilayah pesisir berada dibawah kewenangannya.
Pemerintah provinsi harus menyesuaikan muatan produk peraturan perundangan terkait tata ruang laut (RZWP-3-K) menjadi 0-12 mil laut. termasuk dari sisi penganggaran, kebijakan tersebut tentu berpengaruh terhadap keuangan daerah yang cakupan kewenangannya bertambah.
Lingkup pengawasan terhadap sektor kelautan dan WPK3K oleh pemerintah provinsi menjadi lebih luas, sehingga dibutuhkan dukungan SDM beserta sarana dan prasarana yang lebih memadai.
Implikasi Terhadap Kelembagaan Daerah
Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-undang 23 Tahun 2014 dijelaskan bahwa perangkat daerah yang merupakan salah satu unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaran pemerintahan adalah adanya dinasdinas. Namun perubahan peraturan perundangan yang mengeliminir kewenangan pemerintah kabupaten/kota berdampak pada perubahan struktur organisasi perangkat daerah, hal tersebut tidak dapat dihindari. Dinas Kelautan dan Perikanan yang ada di kabupaten/kota dihilangkan atau setidaknya urusan pemerintahan sektor perikanan digabung dengan instansi lain seperti ke Dinas Pertanian. Kondisi tersebut tentu menjadikan sektor kelautan bukan lagi menjadi agenda penting pembangunan di kabupaten/kota, sebab masing-masing instansi yang dilebur memiliki tugas pokok dan fungusi yang berbeda dengan nomenklatur Dinas Kelautan dan Perikanan sebelumnya.
Demikian pula dengan Pemerintah Provinsi. Sekalipun tidak mengubah struktur organisasi perangkat daerah, namun setidaknya penambahan kewenangan untuk mengelola perairan pesisir dari 0-12 mil laut juga berdampak pada penambahan tugas dan fungsi Dinas Kelautan dan Perikanan. Secara aotumatis memerlukan mobilisasi sumber daya baik manusia, sarana dan prasarana. Pemerintah provinsi pada akhirnya membentuk Unit Pelaksana Tugas Daerah yang ditempatkan di kabupaten/kota yang memiliki perairan pesisir.
Aspek kepegawaian dan asset daerah juga terkena dampak, dimana ketika kewenangan beralih maka unsur-unsur dasar seperti pelaksana dan asetnya pun harus ikut dialihkan. Prosedur pengalihan dimaksud tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri badi masing-masing unsur pemerintahan.
Implikasi Terhadap Urusan Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Selain potensi SDA yang melimpah, wilayah laut. pesisir dan pulau-pupau kecil juga memiliki persoalan yang cukup beragam, bahkan beberapa diantaranya sudah berada di level yang menghkhawatirkan seperti marine debris, bencana
pesisir., konflik pemanfaatan ruang, dan pencemaran limbah lainnya. Persoalanpersoalan tersebut harus mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.
Sebagai bagian dari negara, pemerintah daerah kabupaten/kota adalah wakil pemerintahan yang paling dekat dan menjadi ujung tombak dalam menyelesaiakan isu-isu tersebut. Namun dengan ditariknya kewenangan seperti yang sudah dibahas sebelumnya, maka itu akan membatasi gerak pemerintah daerah kabupaten/kota dan mengambil kebijakan. Jika semua diserahkan ke provinsi ataupun pemerintah pusat maka tentu itu menjadi kurang maksimal dan yang akan merasakan dampaknya adalah masyarakat itu sendiri.
Implikasi UU No. 11 Tahun 2020
Pertama, Pemerintah pusat dengan kewajiban pengelolaan dan perizinan di seluruh wilayah perairan yang sangat luas, maka dikhawatirkan menjadi kurang efektif dan efisien. Terlebih lagi masih minimnya perangkat yang ada tentu memerlukan usaha yang lebih untuk dapat menutupi kekurangankekurangan tersebut.
Kedua, Pemerintah provinsi dengan kewajiban untuk menyiapkan peraturan perundangan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tentu harus mengalokasikan anggaran, namun disisi lain perizinan yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dari sektor kelautan tidak bisa dilakukan mengingat kewenangan tersebut dilimpahkan ke pemerintah pusat.
Ketiga, Peran pemerintah terhadap pemanfaatan ruang laut dan pesisir tidak terbatas hanya dengan pemberian izin saja, namum sampai kepada pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Untuk melaksanakan itu semua tentu dibutuhkan peran provinsi dan kabupaten/kota sehingga perlu ada solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Penyelarasan Peraturan Perundangan
Banyaknya dinamika yang disebabkan adanya Undang-undang pemerintahan daerah dan Undang-undang Cipta Kerja beserta turunannya terkait penyelenggaran penataan dan pemanfaatan ruang laut. pesisir, dan pulau- pulau kecil, maka perlu diformulasikan bentuk penyelarasan seluruh peraturan perundangan yang saling terkait tersebut untuk menghindarkan dari berbagai persoalan diantaranya benturan kepentingan antar Lembaga stakeholders di wilayah pesisir.
Selain itu dengan adanya harmonisasi peraturan perundangan tentu akan memaksimalkan pengelolaan potensi sumberdaya kelautan.
Ilustrasi penyelarasan penyusunan program pemerintah pusat dan daerah dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Dalam upaya mendukung keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan nasional, penyelarasan perencanaan pembangunan menjadi kunci bagi sinergi pembangunan antara pusat dan daerah serta antar wilayah digala sektor urusan pemerintahan.
Kesimpulan
1. Salah satu implikasi adanya perubahan Undang-undang tentang pemerintahan daerah dintaranya dihapusnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk mengatur, merencanakan, dan kewenangan menerbitkan perizinan pemanfaatan ruang laut, hal tersebut mempengaruhi struktur kelembagaan, personel, pelayanan publik masyarakat pesisir, penganggaran, serta monitoring dan evaluasi.
2. Terbitnya Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menarik kewenangan pemberian izin pemanfaatan ruang laut dari pemerintah provinsi ke pemerintah pusat.
3. Pemerintah provinsi tetap harus mengalokasikan anggaran untuk menyusun peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengaturan ruang perairan perisir dan pulau-pulau kecil.
4. Peran pemerintah kabupaten/kota sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir dsan pulau-pulau kecil selaku stakeholders yang merasakan dampak langsung
SARAN
1. Perlunya dilakukan evaluasi, sinkronisasi dan penyelarasan peraturan perundangan terhadap pengurangan kewenangan pemerintah daerah khusunya pemerintah kabupaten/kota berkaitan penyelenggaraan pemanfaatan ruang laut (penataan ruang, pemanfaatan ruang, dan perizinan pemanfaatan ruang).
2. Pemerintah dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil harus efektif, efesien, dan tepat sasaran sehingga dibutuhkan peran aktif dari pemerintah daerah utamanya kabupaten/kota selaku stkaeholders yang langsung berinteraksi dengan wilayah pesisir.
3. Perlunya menyediakan payung hukum yang mengatur pendelegasian kewenangan penyelenggaran ruang laut serta pemberian insentif kepada pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dari pemanfaatan ruang laut.
4. Formulasi kewenangan yang ideal untuk pengelolaan wilayah laut pesisir adalah kewenangan kabupaten/kota diadakan kembali dengan konsep dan kerjasama yang menguntungkan antara provinsi dan kabupaten/kota demi kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat lokal dan nelayan yang ada di kabupaten/kota.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
No Responses