INKLUSIVISME AGAMA, JALAN APA ?

Oleh : Agus Mualif Rohadi, penulis buku Himda(Muhammad) Dalam Konflik Agama Dan Bangsa

Di Ciputat, beberapa waktu yang lalu ada diskusi buku tentang inkulisivisme agama yang dikaitkan dengan warisan (pemikiran) Cak Nur. Inklusivisme dari asal katanya sudah menunjukkan bahwa paham itu pasti bukan berasal dari pemikir agama Yahudi maupun Islam. Jadi berasal dari pemikir Kristen yang terus berusaha mencari solusi teologis terkait hubungan Kristen dengan agama lainnya. Sangat bisa dimengerti mengapa hal itu muncul dari kaum Kristen, jika kita mempelajari sejarah awal kemunculan Kristen, kitab dan kofliknya dengan Yahudi dan Nasara menyangkut klaim kebenaran risalah agama, doktrin penyaliban maupun sejarah konsili.

Bagi Yahudi, seluruh ayat – ayat dalam kitabnya jelas menunjukkan bahwa klaim kebenaran agama yahudi, wujud fana atau kauniyahnya tidak bisa dilepaskan dari eksistentsi bangsanya (klaim sebagai bangsa terpilih). Yahudi tidak mungkin lepas dari itu, karena jika mau lepas maka agama yahudi harus mengganti total kitabnya. Suatu hal yang tidak mungkin. Apakah dengan demikian dalam konteks kekinian agama yahudi dapat dianggap sebagai ajaran primitif ? Apa makna bangsa terpilih pada masa kini ? Jika ada pemikiran seperti itu berarti bahwa suatu saat agama yahudi akan musnah. Selanjutnya, jika ada anggapan seperti itu, maka semua agama suatu saat akan musnah. Bukankah satu saja kata kata dalam kitab suci dianggap tidak berlaku lagi, maka secara keseluruhan kitab suci itu dapat dinyatakan tidak berlaku ?

Bagi Islam, tentang keragaman dalam beragama termasuk tentang klaim kebenaran agama masing masing, telah diterima dan diakui secara final apa adanya sebagai suatu bentuk keharusan kauniyah atau sunatullah. “ Doktrin Islam adalah agama mu adalah agama mu dan agamaku adalah agamaku. Tidak ada paksaan dalam agama “. Ini bisa bermakna prinsip dasar toleransi Islam terhadap agama, keyakinan atau paham lain yang dianut manusia. Agama Islam memandang klaim kebenaran masing masing agama adalah keniscayaan yang harus diterima dan dihormati, karena jika semua agama dipaksa untuk menerima kebenaran agama Islam maka sama dengan menghilangkan eksistensi agama lain.

Sejarah Islam di banyak belahan bumi telah membuktikan hal itu. Solusi Islam terkait hubungan dengan sesama manusia dan pemeluk agama maupun penganut ideologi kekinian, konstitusi, hukum pengaturan kebangsaan dan kenegaraan serta hubungan antar negara bangsa, Islam memberikan jalan praktis melalui fiqh yang dapat berkembang atau ijma’. Solusi praktis itu bahkan dapat digunakan hanya untuk hubungan Islam dengan satu etnik tertentu atau negara bangsa tertentu saja.

Bagi Islam, tidak perlu ada jalan teologis atau jalan lainnya (misal dalam bentuk paham tertentu) untuk mencari kebenaran yang sama tentang Keyakinan Ke Tuhan an dan kebenaram agama.

Tidak ada yang namanya jalan tengah (inklusivisme) atau jalan ekstrim (pluralisme), karena apabila jalan ini dipaksakan, dapat juga menimbulkan bahaya. Sejarah juga telah membuktikan hal ini.

Keyakinan Umat Islam sebagai umat tengah (umattun wasathan) bukanlah dalam pengertian inklusivisme atau pluralisme, karena Qs 2 : 143 menjelaskan tentang umat tengah adalah menyangkut 1) perpindahan kiblat
shalat, 2) umat Islam ditaqdirkan sebagai saksi bagi umat manusia, dan 3) kewajiban bertindak adil.

Kedepan, kita semua mungkin masih akan menyaksikan perkembangan pemikiran teologi Kristen, yang kemudian berpengaruh pada konsep konsep lainnya.
Entah sampai kapan ketemu finalnya.

Wallahu alam bishawaf.

Related Posts