INRIX Sebut Surabaya Kota Termacet, Machsus: Harus Dicermati Secara Objektif

INRIX Sebut Surabaya Kota Termacet, Machsus: Harus Dicermati Secara Objektif
Suasana lalu lintas di tengah kota di Jalan Basuki Rahmat Surabaya pada siang hari.

ZONASATUNEWS.COM, SURABAYA – Rilis yang bertajuk 2021 INRIX Global Traffic Scorecard tentang peringkat kota termacet di Indonesia memicu polemik. Pasalnya, perusahaan analisis data lalu lintas tersebut menobatkan Surabaya sebagai kota termacet di Indonesia, menggeser posisi Jakarta.

Dalam laporannya, INRIX hanya menyajikan 5 (lima) kota termacet di Indonesia secara berturut-turut dari peringkat ke-1 hingga ke-5, yakni Surabaya, Jakarta, Denpasar, Malang dan Bogor. Untuk peringkat global, Surabaya tercatat menempati posisi impact ranking ke-41, Jakarta ke-222, Denpasar ke-291, Malang ke-334, dan Bogor ke-821.

Laporan analisis transportasi dari perusahaan yang bermarkas di Washington, Amerika Serikat tersebut memancing respons yang beragam dari pelbagai kalangan. Walikota Surabaya Eri Cahyadi mempertanyakan macetnya kota dimana? Lalu, Kadishub Surabaya Tunjung Iswandaru juga membantah Surabaya kota termacet. Pakar transportasi pun mempertanyakan indikator survei yang digunakan.

Secara umum, mereka menolak hasil survei dari 2021 INRIX Global Traffic Scorecard yang menyatakan Surabaya sebagai kota termacet di Indonesia karena dinilai tak sesuai dengan kenyataan. Bahkan sampai digelar konferensi pers yang dihadiri oleh Kasatlantas Polrestabes Surabaya, Kadishub Kota Surabaya dan beberapa akademisi untuk menyikapi hasil rilis INRIX tersebut.

Lantas bagaimana seharusnya kita memahami dan menyikapi polemik peringkat kota termacet di Indonesia? DR Machsus Fawzy MT, peneliti dari Pusat Penelitian Manufaktur, Transportasi dan Logistik ITS Surabaya menyampaikan, yang pertama, jangan reaktif dalam menyikapi rilis INRIX tersebut.

“Sikap reaktif hanya akan merugikan, karena cenderung tidak dapat berpikir objektif dalam menanggapi perubahan kondisi lalu lintas. Rilis INRIX seharusnya dicermati secara objektif terlebih dahulu sebelum ditanggapi, agar tidak larut dalam polemik yang berkepanjangan,” katanya di Surabaya, kemarin.

Dr. Machsus Fauzi, ST MT, Kepala Departemen Teknik Infrastruktur Sipil Fakultas Vokasi ITS

Meskipun dalam laporan tahunan 2021 INRIX Global Traffic Scorecard tidak disajikan secara detail perhitungannya, namun hasil survei tersebut tentu tidak main-main. Karena, penelitiannya telah dilakukan di 7 benua, 50 negara dan 1.000 kota di dunia.

Penentuan level kemacetan versi INRIX merupakan sebuah studi yang menggunakan big data, dimana metode risetnya dilakukan dengan mengumpulkan miliaran data anonim GPS (Global Positioning System) setiap hari dari beragam sumber.

Data tersebut mencakup karakteristik lalu lintas, waktu tempuh, jarak tempuh, kecepatan, dan informasi dampak kecelakaan lalu lintas yang dilaporkan dalam interval setiap menit. Peringkat kemacetan tersebut dihitung berdasarkan waktu terbuang akibat kemacetan (hours lost in congestion). INRIX menyebutkan total jam terbuang sia-sia akibat kemacetan di Surabaya mencapai 62 jam dalam setahun.

Kedua, Machsus mengingatkan untuk mencermati dan memahami kebenaran konten laporan analisisnya. “Sejatinya, INRIX juga menggunakan beberapa parameter kinerja lalu lintas yang sama dengan yang biasa digunakan oleh kementerian dan/atau dinas perhubungan, serta kalangan akademisi di Indonesia. Hanya saja, pendekatan dan metode riset yang digunakan berbeda,” paparnya, seperti dikutip radarsurabaya.

“INRIX berbasis pada GPS big data, sementara secara umum di Indonesia berbasis pada data lalu lintas yang diperoleh dengan pendekatan konvensional,” imbuh Machsus yang juga dosen transportasi pada Departemen Teknik Infrastruktur Sipil di ITS Surabaya ini.

Sejak tahun 2007, INRIX mulai rutin merilis hasil riset yang berbasis pada GPS big data setiap tahun. Meski penggunaan GPS big data dalam analisis kinerja lalu lintas relatif baru, namun pendekatan tersebut sudah banyak digunakan dalam sistem transportasi, seperti aplikasi Map yang sering digunakan dalam setiap perjalanan.

Selain itu, studi yang dilakukan oleh Florida Department of Transportation (2012) melaporkan bahwa INRIX memiliki keunggulan akurasi dibandingkan NAVTEQ dan TrafficCast dalam analisis data travel time system pada studi kasus di Kota Tallahassee, Florida.

“Di sisi lain, kita masih menggunakan data hasil survei lalu intas yang dilakukan secara manual, dan/atau memanfaatkan rekaman data dari perangkat CCTV yang dijadikan inputan dalam perhitungan dan analisis kinerja lalu lintas pada setiap segmen jalan yang ditinjau,” katanya.

Untuk menggambarkan tingkat kemacetan di suatu kawasan perkotaan, maka hasil perhitungan V/C rasio atau derajat kejenuhan (Ds) pada tiap segmen jalan dan/atau persimpangan dikompilasi dan diambil rata-ratanya, lalu disimpulkan.

Beda Metode Beda Hasil

Lantas, jika hasil analisis kinerja lalu lintas yang dilakukan pemerintah daerah dan/atau kalangan akademisi di Indonesia berbeda dengan laporan INRIX, tentu wajar-wajar saja. Wajar karena hasil dan kesimpulan diantara keduanya diperoleh dari pendekatan dan metode riset yang berbeda.

“Dalam menyikapi perbedaan tersebut, seharusnya tak perlu saling menegasikan satu dengan lainnya, karena merasa pihaknya yang paling benar. Apalagi sampai terkesan ada para pihak yang kebakaran jenggot atas rilis laporan tahunan INRIX,” katanya.

Adanya perbedaan pada suatu hasil penelitian justru menjadi celah penelitian (research gap) yang menarik dan penting untuk dikembangkan penelitian lebih lanjut.

Ketiga, ia menyampaikan bahwa sikap terbaik terhadap label Surabaya sebagai kota termacet adalah dengan fokus pada sisi positif atas laporan INRIX. Laporan analisis lalu lintas tersebut penting untuk dijadikan bahan koreksi menyeruluh dan menyusun langkah-langkah solutif di masa mendatang.

“Sejatinya kita tak perlu menghabiskan pikiran dan energi untuk menepis stigma negatif kemacetan Surabaya versi INRIX. Jika tidak setuju, tentunya akan lebih baik bila pemerintah daerah setempat menyikapinya dengan meminta penjelasan secara resmi. Bila perlu mengundang pihak INRIX untuk menjelaskan detail perhitungan dan analisis penentuan peringkat kota termacet, dan menyusun rekomendasi solutif bersama-sama agar Surabaya terbebas dari peringkat kota termacet di Indonesia,” jelasnya.

Menurut dia, Surabaya mengalahkan Jakarta karena menurut rilis INRIX, Jakarta menempati posisi ranking global ke-222 (2021), dan ke-55 (2020), sedangkan posisi ranking global Surabaya berada di posisi ke-41 (2021), dan ke-361 (2020). Surabaya bisa mengalahkan Jakarta bukan berarti tidak ada upaya pembenahan sektor transportasi di kota pahlawan ini.

“Namun, kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa dalam beberapa tahun terakhir pembenahan di Jakarta lebih akseleratif dibanding Surabaya dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.” Terbukti Jakarta mampu meraih penghargaan sebagai juara pertama Sustainable Transport Award 2021, karena berhasil mengintegrasikan semua moda transportasi baik secara fisik maupun sistem ticketing-nya.

Pembenahan prasarana dan sarana transportasi di Kota Surabaya juga sudah dilakukan, setidaknya ditandai dengan dioperasikannya Suroboyo Bus sejak tahun 2018. Namun, jumlah koridor dan armada Suroboyo Bus memang masih terbatas, headway masih belum ideal, dan okupansi penumpang bus yang masih relatif rendah. Baru di awal tahun 2022 ini ada penambangan armada yang cukup signifikasi hingga 104 armada, yang direncanakan segera dioperasikan Bus Trans Semanggi Suroboyo dengan konsep Buy the Service (BTS).

Pengoperasian Suroboyo Bus dan Bus Trans Semanggi Suroboyo perlu senantiasa dievaluasi efektifitasnya. Konsep penyediaan sistem angkutan umum massal (SAUM) biasanya akan efektif bilamana konektivitas asal dan tujuan perjalanan terjalin dengan baik.

Pengembangan angkutan masal sebaiknya berbasis wilayah aglomerasi Gerbangkertasusila, dimana Surabaya sebagai sentral kawasan megapolitan tersebut. Selain untuk mengatasi kemacetan, hal ini penting dalam rangka mendukung Perpres No. 80/2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gerbangkertasusila, Kawasan Bromo-Tengger-Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan.

Oleh karena itu, sejak awal perencanaan koridor atau rute harus mempertimbangkan konektivitas dan integrasi moda transportasi di wilayah aglomaerasi Gerbangkertasusila, meski mungkin dalam realisasinya dilakukan secara bertahap.

“Selama mindset pimpinan daerah Surabaya dan daerah di sekitarnya hanya mementingkan daerahnya sendiri-sendiri, maka pengoperasian angkutan masal tidak akan efektif mengatasi kemacetan, karena volume lalu lintas terbesar justru terjadi pada ruas jalan akses masuk dan keluar Surabaya,” kata pakar transportasi ini.

EDITOR: SETYANEGARA

Last Day Views: 26,55 K

4 Responses

  1. tubulatura ventilatiiNovember 26, 2024 at 4:00 pm

    … [Trackback]

    […] Find More on that Topic: zonasatunews.com/nusantara/inrix-sebut-surabaya-kota-termacet-machsus-harus-dicermati-secara-objektif/ […]

  2. free chatNovember 30, 2024 at 10:53 pm

    … [Trackback]

    […] Info to that Topic: zonasatunews.com/nusantara/inrix-sebut-surabaya-kota-termacet-machsus-harus-dicermati-secara-objektif/ […]

  3. Sevink MolenDecember 4, 2024 at 10:06 pm

    … [Trackback]

    […] Find More Information here to that Topic: zonasatunews.com/nusantara/inrix-sebut-surabaya-kota-termacet-machsus-harus-dicermati-secara-objektif/ […]

  4. Engineering TechniciansJanuary 24, 2025 at 10:43 am

    … [Trackback]

    […] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/nusantara/inrix-sebut-surabaya-kota-termacet-machsus-harus-dicermati-secara-objektif/ […]

Leave a Reply