Islam Politik dan Konsolidasi Demokrasi

Oleh : Daniel Mohammad Rosyid

Kekalahan Prabowo dalam Pilpres 2019 yang lalu boleh jadi merupakan pertanda kekalahan Islam politik di Indonesia. Kekalahan ini menyakitkan dan sulit diterima oleh para pendukung Prabowo walaupun seharusnya mudah dipahami jika melihat dinamika politik nasional selama 20 tahun terakhir.

Sejak pemberlakuan UUD 2002 yang sangat liberal, Islam politik di Parlemen boleh dikatakan semakin memudar dan digantikan oleh suara-suara di luar parlemen yang sebagian diwakili oleh Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia. Sejak pernyataan global war on terror yang dikumandangkan GW Bush pasca serangan WTC 9/11, maka gelombang islamophobia melanda dunia, termasuk Indonesia. Hingga minggu kemarin narasi semacam ini masih disemburkan oleh Wiranto yang menempatkan Islam politik sebagai ancaman bagi NKRI dan Pancasila.

Dinamika mutakhir ini merupakan pukulan terakhir sekulerisasi Barat terhadap Indonesia yang dipandang sebagai pusat Islam Politik tersisa di dunia yang harus ditumpas. Ini semacam pembuktian terakhir tesis Huntington tentang the Clash of Civilization serta tesis Francis Fukuyama tentang the End of History. Skenario men-Turki-kan Indonesia menjadi negara sekuler nyaris berhasil diwujudkan.

Tapi Nusantara, kemudian Indonesia, memiliki kapasitas adaptasi yang menakjubkan ketika berhadapan dengan kolonisasi. Masyarakat Nusantara telah berhasil secara kreatif mengolah hampir semua sampah peradaban (Hindu, Budha, Islam, san Kristen) menjadi sebuah rancangan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila dalam sebuah negara bangsa yang disebut Indonesia.

Instrumen penjajahan Barat yang paling canggih adalah sistem persekolahan paksa massal yang diperkenalkan pada dekade akhir abad 19 melalui Politik Etis Belanda. Propaganda sekuler melalui persekolahan ini mencapai puncaknya sejak Orde Baru di mana sistem persekolahan massal ini dipakai sebagai instrumen teknokratik untuk membangun sebuah masyarakat industri yang sekuler. Korbannya yang paling serius adalah keluarga dan masjid serta pesantren sebagai satuan-satuan pendidikan Islam yang penting sejak Majapahit hingga masa P. Diponegoro. Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Diponegoro adalah simbul perlawanan Islam yang paling ikonik melawan penjajahan Belanda.

Bersamaan dengan keruntuhan khilafah Islam di Istanbul pada 1924, proses sekulerisasi melalui persekolahan itu telah terjadi secara terstruktur, sistemik dan masiv yang secara perlahan semakin menjauhkan masyarakat muslim dari Al Qur’an dan kemudian dari pemikiran, kesadaran dan praktek Islam. Pada saat peran masjid sebagai simpul pemersatu ummat melemah, ukhuwah Islamiyah pun mengalami degradasi seiring dengan fragmentasi ummat ke dalam berbagai organisasi massa dan partai politik. Pengenalan aksara latin dalam kurikulum nasional sejak SD secara perlahan mengasingkan masyarakat dari kitab suci mereka sendiri.

Baru kira-kira 20 tahun terakhir sejak masa reformasi, kesadaran Islam politik mulai tumbuh kembali, tapi justru di luar parlemen yang sudah dideideologisasi selama masa reformasi. Desakan kuat massa sekuler agar Parpol Islam bergerak ke tengah meninggalkan agenda Islam bahkan telah melempar Partai Bulan Bintang keluar dari DPR RI mulai 2019 ini. Kesadaran Islam Politik itu justru dibangkitkan oleh kekuatan kekuatan di luar parlemen seperti HTI dan FPI, dan menemukan momen ajaibnya saat pelecehen Al Qur’an oleh Basuki Tjahaja Purnama. Kesadaran hidup tanpa riba, kemunculan banyak dai selebriti, serta gelombang minat menghafal Al Qur’an telah mewarnai kehidupan masyarakat selama paling tidak 10 tahun terakhir ini.

Untuk memenangkan Islam Politik di masa depan yang dekat ini, ummat Islam yang baru menyadari kembali dan belajar mengelola kepentingan politik dan ekonominya perlu melakukan semacam konsolidasi agar kepentingan Islam dapat disuarakan dengan lebih kuat di dalam Parlemen, tidak di jalan-jalan. Demi konsolidasi demokrasi, semua faksi politik nasional perlu memberi kesempatan agar Islam Politik memperoleh tempatnya yang sah di dalam Parlemen. Jika hal ini dihalang-halangi, maka kekuatan Islam Politik akan tetap menemukan jalannya di luar saluran yang sah.

Kelompok-kelompok Islam yang kini memperjuangkan Islam Politik masih setia dengan kesepakatan para pendiri bangsa yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD45 yang dipertegas oleh Bung Karno sendiri dalam Dekrit Presiden 5/7/1959. Jangan sampai kesetiaan ummat Islam ini diabaikan begitu saja, apalagi dengan menempatkan mereka sebagai musuh NKRI dan Pancasila.

Gunung Anyar 23/7/2019

Related Posts