Iuran BPJS Tetap Naik, Pemerintah Amputasi Legislatif dan Yudikatif

Iuran BPJS Tetap Naik, Pemerintah Amputasi Legislatif dan Yudikatif
Screenshots diskusi online MP BPJS

ZONASATUNEWS.COM, Jakarta-Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dinilai telah mengamputasi peran dan fungsi dua pilar dalam trias politika yakni DPR sebagai legislatif dan Mahkamah Agung (MA) sebagai yudikatif.

Demikian pembahasan dalam diskusi daring Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) dengan topik Naik Turun Naik Iuran BPJS Kesehatan pada Kamis malam 14/5/2020.

Hadir sebagai narasumber yakni : Saleh Partaonan Daulay (Anggota Komisi IX DPR FPAN), Boyamin Saiman (advokat), dan Hery Susanto Ketua KORNAS MP BPJS. Host acara tersebut M Deni Arwani (Deputi Kepesertaan BPJS KORNAS MP BPJS).

Mengawali diskusi tersebut Hery Susanto menyampaikan sikap menolak Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Penolakan didasarkan karena Perpres tersebut tidak mencerminkan asas kepatuhan hukum dari putusan MA sebagai lembaga yudikatif yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan asas suara publik yang diwakili oleh DPR RI sebagai lembaga legislatif.

“Pemerintah gunakan kekuasaannya bukan untuk membantu problem rakyat melainkan untuk problem kekuasaan pemerintah itu sendiri. Pemerintah tidak ada uang untuk menanggulangi iuran BPJS karena lebih perhatikan pembangunan infrastruktur dibanding pelayanan dan jaminan kesehatan nasional. Harusnya masyarakat tidak dibebani problem kenaikan iuran BPJS, karena problem yang dialami BPJS itu akibat kesalahan manajemen pemerintah melalui BPJS itu sendiri,” kata Hery Susanto.

Hery Susanto mengatakan pemerintah tetap ngotot menaikkan iuran BPJS dan tidak peduli terhadap problem masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi akibat daya beli yang merosot tajam baik sebelum maupun sesudah terjadinya pandemik Covid-19 dan PHK massal dimana-mana.

Hery Susanto mengatakan jika membaca iuran yang mahal itu, masyarakat harus cerdas mencari jalan alternatif. Untuk sementara ini disarankan lakukan gerakan turun kelas saja ke kelas 3 yang paling murah. Pihaknya mendesak agar pemerintah harus menambah kamar rawat inap kelas 3.

“Peserta bisa naik kelas pada saat klaim rawat inap di RS. Iuran BPJS kan ini uang hangus jadi lebih baik gunakan pada saat klaim rawat inap saja untuk top up ke kelas di atasnya. Itu lebih ekonomis daripada ikut kelas 1 atau 2 dananya habis begitu saja karena BPJS salah kelola atau fraud,” katanya.

Saleh Daulay mengatakan dalam praktik pelaksanaan putusan MA dengan lahirnya Perpres terkait iuran BPJS Kesehatan ini diawal menunjukkan asas ketidakpastian, karena membutuhkan tindakan dari pejabat lain, dalam hal ini pemerintah yakni Presiden RI dan BPJS Kesehatan. Selain itu pemerintah sangat potensial mencari dalil hukum lain yang berbeda dengan putusan MA.

“Pemerintah sedang berselancar atas putusan MA itu. Ketaatan pemerintah atas putusan MA hanya 3 bulan saja. Dengan menerapkan iuran BPJS Kesehatan tarif murah berlaku 3 bulan dari April hingga Juni 2020. Bulan Juli 2020 iurannya naik lagi. Ini jelas mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah,” katanya.

Kenaikan iuran BPJS itu kata Saleh sama sekali tidak berpengaruh atasi defisit BPJS. Saleh mengingatkan bahwa pernah dibuat simulasi oleh pihak pemerintah dengan kenaikan iuran akan menyelesaikan defisit BPJS di tahun kelima tapi setelah itu akan defisit lagi.

“Defisit BPJS Kesehatan di tahun 2019 32 triliun rupiah itu besar sekali. Totalnya lebih dari 80 triliun rupiah dana yang dikelola BPJS Kesehatan dari iuran APBN, APBD, dan pesertanya,” katanya.

Saleh mengatakan substansinya bukan di kenaikan iuran tapi harus ada perbaikan manajemen BPJS Kesehatan. Pendataan peserta bantuan iuran (PBI), perbaikan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.

“Data peserta PBI masih semrawut, tidak tepat sasaran. Kamar rawat inap selalu penuh, stok obat kosong, dan lainnya itu contoh pelayanan kesehatan yang sering dialami oleh peserta BPJS,” katanya.

Saleh menegaskan kedepannya UU BPJS harus direvisi terkait pasal-pasal yang menghambat pelayanan JKN. DPR harus terlibat dalam alokasi anggaran JKN dan PBI. Aspek pengawasan pembayaran klaim harus diperketat sebab sekarang masih lemah. Misalnya membayar klaim 20 milyar rupiah ke RS apakah sudah sesuai realitas, jangan fiktif.

Ia juga menegaskan bahwa BPJS sebagai badan hukum publik berprinsip nirlaba, jangan bicara untung rugi. Pemerintah harus berusaha keras dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat. “Jangan disamakan dengan urusan bisnis pembangunan infrastruktur. Pemerintah jangan berbisnis dengan rakyat terkait pelayanan kesehatan, itu sudah perintah konstitusi,” katanya.

Boyamin Saiman mengatakan pertimbangan hukum MA sudah berisi hakekat hukum yang substantif dimana membatalkan iuran BPJS Kesehatan versi pemerintah dengan pertimbangan yang hukum mendalam dari aspek teknis dan substantif.

Ia menjelaskan isi pertimbangan hakim MA dalam putusannya itu. Adanya ketidakseriusan kementerian-kementerian terkait dalam berkoordinasi antar satu dengan yang lainnya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial ini; Ketidakjelasan eksistensi dewan jaminan sosial nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan singkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional, karena hingga saat ini pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui institusi apa itu; Ada kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS; dan Mandulnya satuan pengawas internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan, sehingga menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi.

“Perpres tersebut berpotensi untuk digugat kembali ke MA oleh masyarakat. Tinggal copy paste dari gugatan awal saja, peluang menangnya besar kan ada yurisprudensi MA. Keputusan pemerintah terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini contoh buruk, jangan sampai mengarah pada pemakzulan politik,” pungkasnya.
[14:56, 5/15/2020] Herisusanto: Sebagai informasi tambahan :

Dalam Perpres No 64 Tahun 2020 tsb diatur :
Iuran BPJS Kesehatan Kelas I yaitu sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.

Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.

Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500, tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp 35 ribu.

Perpres menjelaskan ketentuan besaran iuran di atas mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

Untuk Januari, Februari, dan Maret 2020, iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu:

Kelas I sebesar Rp 160 ribu
Kelas II sebesar Rp 110 ribu
kelas III sebesar Rp 42 ribu

“Dalam hal Iuran yang telah dibayarkan oleh Peserta PBPU dan Peserta BP melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), BPJS Kesehatan memperhitungkan kelebihan pembayaran Iuran dengan pembayaran luran bulan berikutnya,” demikian bunyi pasal 34 ayat 9.

Sebelumnya, pada 2018, Jokowi menandatangani Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran iuran yaitu:

a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas III
b. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas II
c. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas I

Pada 2019, Jokowi menandatangani Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran iuran berubah menjadi:

Sebelumnya, pada 2018, Jokowi menandatangani Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran iuran yaitu:

a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas III
b. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas II
c. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas I

Pada 2019, Jokowi menandatangani Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran iuran berubah menjadi:

1. Rp 42.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III
2. Rp 110.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
3. Rp 160.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

Namun, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Perpres Nomor 75/2019. MA mengembalikan iuran menjadi:
1. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas III
2. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas II
3. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas I

EDITOR : SETYANEGARA

Last Day Views: 26,55 K
Tags: ,

2 Responses

  1. ทดลองเล่นสล็อต ฟรีDecember 23, 2024 at 11:08 am

    … [Trackback]

    […] Here you can find 16469 additional Information on that Topic: zonasatunews.com/nasional/iuran-bpjs-tetap-naik-pemerintah-amputasi-legislatif-dan-yudikatif/ […]

  2. my blogJanuary 16, 2025 at 9:11 am

    … [Trackback]

    […] Info on that Topic: zonasatunews.com/nasional/iuran-bpjs-tetap-naik-pemerintah-amputasi-legislatif-dan-yudikatif/ […]

Leave a Reply