Jembatan Penyebarangan Solo Balapan-Tirtonadi Yang Mahal Itu Sepi Dan Bikin Mrinding

Solo, Zonasatu News — Saya berniat mau lewat jembatan itu. Tapi entah mengapa niat itu saya urungkan begitu berada didepan pintu masuk. Ada rasa was -was khawatir. Takut sih nggak.

Hampir jam 5 sore kereta Argo Dwipangga yang saya naiki dari Jakarta sampai di Stasiun Solo Balapan. Begitu turun sempat teringat Didi Kempot, yang buat lagu campur sari “Stasiun Balapan”. Lagu itu meledak. Lagu berkisah tentang perpisahan sepasang kekasih itu dilansir sekitar 10 tahun lalu.Sejak itu Didi Kempot, mantan pengamen jalanan itu dikenal sebagai penyanyi campur sari papan atas. Meski sudah terkenal, tapi dia tidak mau tinggal di ibukota Jakarta. Dia memilih tetap tinggal di Kendal, Ngawi. Sekitar 20 kolimeter dari rumahku, Kedunggalar.

Kembali ke jembatan. Idenya bagus. Penumpang kereta yang turun di stasiun Balapan yang mau transit ke terminal bus Tirtonadi Solo bisa jalan kaki. Atau sebaliknya dari terminal menuju stasiun. Bisa jalan kaki lewat jembatan itu. Tidak perlu keluar uang lagi untuk bayar becak atau ojek. Karena tidak begitu jauh.

Tapi hampir tidak ada yang lewat. Jembatan sepanjang 1,5 kilometer itu tidak ada lampu penerangan.Bagitu menjelang maghrib suasananya sudah gelap. Remang-remang. Mrinding.Apalagi malam hari. Pasti sangat gelap. Kalau nekat juga mau lewat harus bawa lampu senter atau nyalakan lampu HP.

Apa yang salah dari bangunan ini? Kabar yang penulis terima jembatan ini dibangun dari anggaran APBN. Saat Jokowi sudah jadi Presiden. Idenya tidak salah. Hanya tidak cermat menghitungnya, khususnya menghitung faktor kenyamanan dan keamanan.

Berjalan diatas lorong jembatan sepanjang 1,5 kilometer, sendirian, jelas muncul perasaan tidak aman. Apalagi sepi. Siapa yang menjamin aman? Apalagi malam hari. Ampuun.

Perasaan tidak aman, was-was, ditambah ongkos becak yang tidak mahal, Rp 15.000 ke terminal bis, mempengaruhi keputusan saya. Tapi ada lagi, “intimidasi” bang becak ke saya.

“Jauh lho pak jalan 1,5 kilometer. Sepi..”katanya.

Dia menekan kata “sepi ” itu seolah memberikan pesan khusus ke saya. Setidaknya itu yang saya rasakan. Dan dia berhasil memaksa pikiran saya berubah. Saya naik becaknya. Dia kelihatan senang. Menang dia. Kalahkan pikiran saya.

“Tapi saya mau makan dulu, ngopi, dan ngrokok,” kata saya. Dia setuju tapi agak ragu.

Dari warung seberang jalan saya lihat dia nunggu diatas becak, didalam parkiran stasiun. Selesai makan, kudatangi dia. Kali ini saya yang dibuat mencarinya. Becaknya kosong.

Ada godaan melintas dipikiran.

“Sudah tinggal aja cari becak lain. Toh banyak yang nawari.Juga ojek”.

Tidak, saya cari dia. Rupanya ada kereta datang. Dia cari penumpang disana.Saya ditinggal. Tapi anehnya, saya tetap ingin naik becaknya. Mungkin memang sudah rejekinya. 

“Ah, mana yang lebih cepat aja,” mungkin begitu pikirnya. Tapi gak dapat penumpang juga dari kereta yang baru datang itu.

Mungkin memang sudah rejekinya. Saya harus numpang becaknya. Rejeki tidak kemana, kata orang.

Dari kejauhan saya lambaikan tangan tanda memanggil. Dia tahu. Berlari kecil dengan wajah sumringah mendekati saya. Melihat kegembiraannya, saya ikut bahagia. Senang. Benar, ternyata kegembiraan, kesenangan yang tulus itu bisa menular ke orang lain. Mempengaruhi orang lain.

Saya lihat dia turun bayar peron sebelum keluar. Seluruh kendaraan yang parkir di dalam stasiun harus bayar. Termasuk becak.

Giliran bayar ongkos becak saya tambahi. Sekedar untuk ganti ongkos peron. Lebih besar sedikit dari ongkos peron. Saya tambah 2.000 rupiah. Ongkos peron untuk becak 1.000 rupiah.

Solo, 12/9/2019.

Penulis laporan : Budi Puryanto 

Editor : Setyanegara 

Related Posts