Jerat Jalur Merah: Ketika Bea Cukai Jadi Diktator Ekonomi

Jerat Jalur Merah: Ketika Bea Cukai Jadi Diktator Ekonomi
Pelindo Regional 3

JAKARTA — Keresahan tengah bergejolak di kalangan pelaku usaha impor. Dalam dua tahun terakhir, suasana di pelabuhan dan gudang pemeriksaan barang berubah drastis. Bukan lagi sekadar soal birokrasi lambat, melainkan soal kekuasaan yang terasa absolut — “diktator ekonomi” yang diam-diam menekan denyut perdagangan nasional.

Kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, seorang pengusaha yang telah puluhan tahun menjalankan bisnis impor mengungkapkan unek-unek pedihnya. “Semuanya sekarang jadi sangat lama sejak keluar jalur merah,” keluhnya, tulis seorang importir senior melalui jalur “Pengaduan Langsung” kepada Menteri Keuangan, dan dibacakan didepan media, beberapa hari lalu.

Pengusaha itu mengakatan, pemeriksaan fisik bisa memakan waktu hingga 34 hari, sementara pemeriksaan dokumen berjalan tanpa kepastian waktu. Padahal, dulu proses seperti ini bisa selesai hanya dalam hitungan jam atau paling lama dua hari.

“Saya kena denda terus. Padahal tidak ada yang saya langgar,” ujar pengusaha itu dengan nada getir.

Ia mengaku sudah memenuhi seluruh persyaratan: faktur, kontrak, dan bukti negosiasi pembelian. Namun alasan penundaan tetap saja muncul — sering kali tidak masuk akal. “Diminta bukti negosiasi, padahal dokumen lengkap sudah ada. Setiap kali ada alasan baru,” ujarnya.

Dilema Pengusaha: Bayar Denda atau Mati Bisnis

Fenomena ini bukan kasus tunggal. Beberapa pelaku usaha lain yang ditemui tim investigasi menyampaikan cerita serupa. Barang mereka tertahan berhari-hari bahkan berminggu-minggu hanya karena “pemeriksaan lanjutan.” Selama proses itu, biaya demurrage (penumpukan kontainer) terus berjalan.
Akhirnya, sebagian besar pengusaha memilih membayar denda daripada memperjuangkan banding yang berujung pada penahanan barang.

“Kalau banding, barang ditahan. Kalau ditahan, pelanggan kabur. Kalau pelanggan kabur, kita rugi. Akhirnya ya, kita bayar saja,” kata seorang importir bahan kimia asal Surabaya.

Di sinilah muncul praktik tak kasat mata: tekanan administratif yang memaksa kepatuhan paksa. Pengusaha membayar bukan karena bersalah, tapi karena ingin selamat.

Purbaya Geram: “Ini Diktator!”

Menanggapi keluhan itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak menutupi kekesalannya.

“Ini namanya diktator. Kenapa bisa begini?” tegasnya di depan jajaran internal kementerian, sebagaimana dikutip dari sumber yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Purbaya disebut sedang mengumpulkan laporan terkait dugaan penyalahgunaan wewenang di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Ia juga berencana melakukan audit mendalam terhadap praktik pemeriksaan fisik dan dokumen yang dinilai “mengada-ada.”

Langkah ini disebut sebagai bagian dari reformasi internal pasca munculnya kasus penyelundupan emas 3,5 ton dan dugaan TPPU Rp189 triliun, yang menyeret nama-nama pejabat penting di Bea Cukai.

Sinyal Reformasi atau Perlawanan Birokrasi?

Bea Cukai kini berada di persimpangan. Di satu sisi, pemerintah tengah mendorong transparansi dan percepatan layanan impor-ekspor untuk memperkuat daya saing industri nasional. Namun di sisi lain, birokrasi lapangan kerap menjadi benteng yang sulit ditembus.

Beberapa sumber di lingkungan DJBC mengakui adanya “kultur takut dan tutup diri” pasca berbagai kasus korupsi mencuat. “Petugas jadi super hati-hati, kadang terlalu hati-hati. Tapi memang ada juga yang memanfaatkan situasi itu untuk mencari aman — atau mencari kesempatan,” ujar seorang pejabat madya yang enggan disebut namanya.

Jika pola ini dibiarkan, dampaknya bisa sistemik: biaya logistik melonjak, arus barang tersendat, dan kepercayaan dunia usaha hancur.

Data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) menunjukkan bahwa biaya logistik Indonesia kini mencapai 23% dari PDB, jauh di atas rata-rata negara ASEAN lainnya.

Ilustrasi tumpukan kontainer di pelabuhan

Aroma Reformasi Mulai Tercium

Sumber di Kementerian Keuangan menyebut, Purbaya telah menyiapkan rencana reformasi Bea Cukai gelombang kedua, dengan fokus pada:

Pemangkasan waktu pemeriksaan fisik dan dokumen.

Audit independen terhadap denda dan jalur merah.

Digitalisasi penuh proses impor untuk menghilangkan interaksi manual.

Langkah ini diyakini menjadi ujian serius pertama bagi kepemimpinan Purbaya di Kementerian Keuangan.
Jika gagal menertibkan Bea Cukai, maka kepercayaan investor terhadap reformasi fiskal Indonesia bisa runtuh sebelum sempat dimulai.

Epilog: Diktator di Pelabuhan

Di balik tumpukan kontainer dan layar komputer bea cukai, ada kekuasaan senyap yang menentukan nasib ribuan pengusaha setiap hari. Bagi sebagian orang, itu sekadar pemeriksaan rutin. Tapi bagi pelaku bisnis, itu penentu hidup dan mati.

“Kami hanya ingin adil. Jangan diperlakukan seperti penjahat, padahal kami bayar pajak, buka lapangan kerja,” kata sang pengusaha sebelum menutup percakapan.

Sementara publik menunggu langkah konkret Purbaya, satu hal kini jelas: reformasi bea cukai bukan lagi sekadar agenda administratif — tapi pertarungan melawan kediktatoran birokrasi.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K