M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim, Tinggal di Surabaya
Dalam sejarah Nusantara, Perang Bubat menjadi salah satu peristiwa tragis yang menyisakan luka mendalam antara dua kerajaan besar: Majapahit dan Sunda. Kisah ini tidak sekadar tentang ambisi politik, tetapi juga tentang harga diri, pengkhianatan, dan konflik moral yang membelah peradaban. Jika kita analisis lebih dalam, ada kemiripan mencolok antara Perang Bubat dengan dinamika politik di Indonesia saat ini, khususnya konflik antara Jokowi, Megawati, Hasto, dan Prabowo dalam lanskap demokrasi yang tengah diuji.
Perang Bubat: Sebuah Analogi
Gajah Mada, sang Mahapatih Majapahit, memiliki ambisi besar untuk menyatukan Nusantara. Dengan mengatasnamakan kejayaan Majapahit, ia berupaya menjadikan Kerajaan Sunda tunduk, meskipun dengan cara yang melukai harga diri dan kehormatan mereka. Hal ini menyeret Prabu Linggabuana, Dyah Pitaloka, dan para pengawalnya ke medan perang yang seharusnya menjadi pesta pernikahan penuh sukacita. Ambisi Gajah Mada, yang melewati batas moral dan kesetaraan, menjadi simbol kerakusan kekuasaan.
Hari ini, analogi itu tercermin dalam langkah-langkah politik Jokowi. Ambisi sentralisasi kekuasaan dengan mengabaikan semangat demokrasi daerah adalah bentuk “Sumpah Palapa” modern. Jokowi tidak hanya berupaya memperpanjang kekuasaannya melalui gagasan tiga periode, tetapi juga mengubah aturan main demokrasi lewat Mahkamah Konstitusi (MK), memungkinkan putranya, Gibran, menjadi calon wakil presiden.
Sentralisasi Kekuasaan dan Kerusakan Demokrasi
Seperti Gajah Mada yang memaksakan interpretasinya terhadap pernikahan Sunda-Majapahit, Jokowi memaksakan kehendaknya melalui kebijakan yang mempersempit ruang otonomi daerah dan mengabaikan suara rakyat. Program strategis nasional (PSN), kenaikan PPN 12%, dan ketimpangan hukum yang tumpul terhadap koruptor adalah bukti bagaimana ambisi politik ini menghancurkan kepercayaan publik.
Namun, peran Megawati dan Prabowo dalam narasi ini membawa dimensi moral yang lebih dalam. Megawati, seperti Prabu Linggabuana, berdiri pada prinsip kehormatan dan menjaga marwah demokrasi yang pernah diperjuangkan oleh PDIP. Ia menentang langkah-langkah Jokowi yang mengarah pada oligarki dan penghancuran demokrasi.
Prabowo, di sisi lain, berada dalam posisi dilematis. Sebagai presiden terpilih, ia adalah hasil dari kerja keras Jokowi. Namun, Prabowo memiliki hubungan moral dengan Megawati yang melampaui kepentingan politik semata. Hubungan ini adalah warisan dari perjuangan menjaga demokrasi Indonesia, yang kini dirusak oleh ambisi politik Jokowi.
Pelajaran dari Perang Bubat
Perang Bubat adalah tragedi karena ambisi yang tidak terkendali menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu pula dalam politik Indonesia hari ini. Demokrasi, yang seharusnya menjadi pesta rakyat, berubah menjadi medan konflik akibat ambisi kekuasaan.
Jika Prabowo memilih melayani Jokowi tanpa pertimbangan moral, ia akan menjadi “Gajah Mada” modern yang hanya mengikuti ambisi kekuasaan, sekaligus merusak marwah demokrasi. Namun, jika ia memilih menjaga hubungannya dengan Megawati dan mendengarkan suara rakyat, ia bisa menjadi figur pemersatu yang membawa Indonesia kembali pada prinsip demokrasi yang sejati.
Seperti halnya tragedi Bubat yang menjadi peringatan akan bahaya ambisi kekuasaan tanpa moral, situasi politik hari ini harus menjadi refleksi bagi para pemimpin. Demokrasi bukan sekadar alat mencapai kekuasaan, melainkan warisan yang harus dijaga dengan kehormatan. Jokowi harus memahami bahwa ambisi sentralisasi kekuasaan melalui langkah-langkah kontroversial hanya akan meninggalkan kerusakan yang mendalam, bukan kejayaan.
Prabowo, di persimpangan ini, memiliki pilihan untuk menjadi penjaga demokrasi atau sekadar pelayan oligarki. Jika ia memilih yang pertama, ia tidak hanya menjaga hubungannya dengan Megawati, tetapi juga menorehkan sejarah sebagai pemimpin yang menolak untuk menyeret Indonesia ke tragedi Bubat yang baru.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Studi iklim menunjukkan dunia yang terlalu panas akan menambah 57 hari superpanas dalam setahun
Pendulum Atau Bandul Oligarki Mulai Bergoyang
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
“Perang” terhadap mafia dan penunjukan strategis: Analisis Selamat Ginting
20 Oktober: Hari yang Mengubah Lintasan Sejarah Indonesia dan Dunia
Vatikan: Percepatan perlombaan persenjataan global membahayakan perdamaian
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Hashim Ungkap Prabowo Mau Disogok Orang US$ 1 Miliar (16,5 Triliun), Siapa Pelakunya??
Pembatasan ekspor Mineral Tanah Jarang Picu Ketegangan Baru China-AS
Penggunaan kembali (kemasan) dapat mengurangi emisi hingga 80%, kata pengusaha berkelanjutan Finlandia di Forum Zero Waste
No Responses