JAKARTA – Pernyataan Sri Radjasa—yang menyebut adanya “celah serius” dalam pengawasan negara atas kawasan industri—seharusnya menjadi alarm yang tak bisa diabaikan. Bukan hanya soal satu fasilitas yang berjalan di pinggir aturan, melainkan sebuah pola yang bila dibiarkan dapat menggerus kedaulatan ekonomi Indonesia secara sistemik.
Kawasan industri besar seperti Morowali memang menjanjikan investasi, lapangan kerja, dan percepatan hilirisasi sumber daya. Namun, ketika fasilitas-fasilitas vital beroperasi tanpa kehadiran penuh aparat pengawas—imigrasi, bea cukai, karantina—maka yang terjadi bukan sekadar efisiensi administratif. Ini membuka ruang bagi aliran barang, modal, dan praktik bisnis yang sulit dilacak oleh negara. Ketika data perdagangan internasional menunjukkan ketidaksesuaian antara larangan ekspor bijih dan volume yang tercatat di pasar eksternal, muncul dua kemungkinan: kegagalan administrasi atau praktik perdagangan di luar kendali resmi. Keduanya sama-sama berbahaya bagi kedaulatan.
Dari sudut pandang kedaulatan, persoalan itu berlapis: ada dimensi ekonomi—kehilangan pendapatan dan nilai tambah; dimensi hukum—kewenangan negara tumpul di area privat; dan dimensi keamanan—ketika akses logistik dan fasilitas vital tak sepenuhnya berada di bawah mekanisme negara, risiko kebocoran data, penyelundupan, dan bahkan infiltrasi pengaruh asing meningkat. Ini bukan retorika: negara yang tak hadir di titik produksi strategisnya pada akhirnya kehilangan kemampuan menentukan aturan main bagi sumber dayanya sendiri.
Namun alih-alih menjerumuskan problem ini pada teori konspirasi, perlu pendekatan pragmatis dan berbasis bukti. Langkah awal yang konkret meliputi: audit logistik terpadu (tracking muatan dari asal hingga tujuan akhir), integrasi data pelabuhan dan kawasan industri dengan sistem bea cukai nasional secara real-time, serta penegasan kewenangan instansi pengawas untuk melakukan inspeksi rutin tanpa hambatan. Penegakan hukum harus diikuti oleh langkah tata kelola ekonomi: skema lisensi ekspor-impor yang transparan, mekanisme pelacakan nilai tambah, dan insentif bagi perusahaan yang mematuhi aturan kelestarian serta keterbukaan rantai pasok.
Perlu juga dicermati bahwa solusi teknis (seperti sistem pelacakan blockchain untuk muatan mineral) akan gagal bila tidak didukung oleh politik kebijakan yang konsisten. Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi—tidak cukup hanya menyusun aturan, tetapi juga menciptakan insentif bagi kepatuhan dan sanksi bagi pelanggar. Peran BUMN, kementerian teknis, serta aparat penegak hukum harus lebih terpadu; command line regulasi yang berbelit hanya memberi celah bagi aktor yang ingin mengeksploitasinya.
Akhirnya, publikasi yang lebih transparan mengenai aliran komoditas dan hasil audit independen dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Media dan lembaga riset—seperti yang dilakukan Sri Radjasa melalui sorotannya—berperan penting mengungkap anomali. Tetapi tanggung jawab akhir tetap pada negara: kedaulatan bukan sekadar slogan, melainkan kapasitas menghadirkan aturan, menegakkannya, dan memastikan bahwa sumber daya yang seharusnya menjadi milik rakyat dikelola untuk kepentingan publik, bukan menjadi komoditas yang mengalir tanpa jejak.
Jika benar ada ketidaksesuaian antara larangan ekspor dan data impor yang tercatat di pasar internasional, maka kita tidak sedang berbicara soal teknis semata. Kita sedang mempertanyakan siapa yang menentukan nasib sumber daya strategis bangsa. Dan pada titik itu, kehadiran negara—bukan sekadar sebagai regulator pada kertas, tetapi sebagai aktor pengendali di lapangan—adalah harga mutlak yang harus ditebus.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gawat, Dalam Sepekan, Dua Rig Pertamina Hulu Energi Alami Fatality

Empati Yang Surut, Bukan Banjirnya.

Prabowo Dan Kabinet Penyangkal Realitas

Komisi Informasi Jateng Akan Buka Sidang Sengketa Salinan Ijasah Joko Widodo Dari SD Hingga S1

Pejabat Cengeng, Mundur..!

Pertumbuhan : Menukar Pohon dengan Mobil

Reaksi keras meningkat setelah Israel lolos ke Eurovision 2026, mendorong beberapa negara untuk mengundurkan diri.

Memadukan Agama, Ilmu, Dan Seni Dalam Kehidupan

WMO memperkirakan 55% kemungkinan La Nina lemah dalam beberapa bulan mendatang

Faizal Assegaf Usulkan Jalur Mediasi dalam Polemik Ijazah Jokowi di Forum ILC



No Responses