Oleh: M.Hatta Taliwang
(Anggota DPR RI/MPR RI 1999-2004, Mahsiswa S3 UNAS Jakarta)
Peran Partai/DPR terlalu dominan membuat aturan main Pemilu/ Pilpres. Meskipun ada DPD RI sebagai repsentasi Daerah, tetapi tak punya peran dalam menyusun aturan main Pemilu/Pilpres. Organisasi seperti Muhammadiyah/ NU belum tentu anggotanya menyalurkan aspirasinya ke partai dan Kelompok Profesi/ Intelektual, serta Raja/Sultan yang punya andil besar dalam kelahiran Indonesia, seharusnya mereka mendapat tempat sebagai UTUSAN GOLONGAN, apalagi kalau dikaitkan dengan spirit dan teks UUD 1945 18 AGUSTUS 1945, serta SILA KE-4 PANCASILA, seharusnya diatur dalam UU Pemilu/ Pilpres.
Karena peran partai dominan, tanpa penyeimbang, maka partai sesuka mereka berkompromi dan mengatur Capres tanpa pertimbangan matang dalam pengajuan capres, dan mereka bisa dikendalikan dengan kekuatan uang dari oligarki kapital, sehingga mengabaikan kualitas calon Presiden. Yang terpenting siapa yang didukung oligarki kapital itulah yang disetujui jadi capres. Kata Bambang Soesatyo, untuk menguasai sebuah Partai cukup bayar 1 triliun.
Dengan Sistem Pilpres Langsung, meskipun kita punya calon bagus, kalau oligarki kapital tidak sreg bisa saja dikerjain di proses pencalonan atau di berbagai titik proses pemilihan. Bisa dibully, dijegal, saat sebelum Pilpres atau saat Pilpres berlangsung. Bisa dijegal di saat penghitungan suara di KPU.
Dengan sistem one man one vote dalam Pilpres langsung, menyamakan suara 1 orang gila dengan suara 1 Guru Besar, waras atau tidak?
Biaya Pilpres langsung sampai puluhan/ratusan trilyun untuk KPU dan triliunan dari kantong capres atau kantong cukong menghasilkan orang yang belum tentu sesuai harapan rakyat. Belum tentu juga sesuai harapan cukong. Biaya tersebut belum termasuk keamanan, birokrasi, dan lain-lain.
Biaya sosial, psikologis juga mahal. Suasana kampanye merusak hubungan sosial psikologis masyarakat, karena banyak hoaks hingga fitnah, hubungan antar warga kurang harmonis dan saling prasangka, dll. Rakyat terbelah berkepanjangan, merusak kerukunan nasional dan sosial, serta menghancurkan Sila ketiga Pacasila.
Isu-isu sensitif soal suku, ras, antar golongan, agama sampai tetek bengek soal cara beribadah diumbar sebagai instrumen kampanye, hingga mengancam persatuan.
DAFTAR PEMILIH lama di mana sudah banyak pemilih yang lalu (2014) yang telah meninggal, masih dihitung dan digunakan untuk Pemilu/Pilres 2019, sementara pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2018 tidak dianggap. Maka, apa pun argumennya tetap cacat hukum, cacat akal sehat, dan cacat moral. Bahkan angka tersebut masih dipakai lagi sebagai basis menentukan Presidential Threshold. Ini sudah mendapat kecaman luas dari publik.
Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih adalah indikasi bahwa dengan cara apa pun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih misterius itu. Ini sesuatu yang sangat tidak logis.Pada pilpres 2019 diduga ada 17,5 suara pemilih misterius (Ahli IT Agus Maksum).
Sistem pilpres langsung ini sangat mudah diintervensi dengan berbagai instrumen yang potensial dikendalikan penguasa, apalagi jika berkonspirasi dengan oligarki kapital untuk menggolkan oknum yang mereka inginkan. Instrumen seperti lembaga survei, akademisi (mata duitan), intelijen resmi atau partikelir, aparat keamanan, birokrat, parpol, aparat hukum, LSM, Ormas, media massa mainstream, KPU, buzzer, dll dengan uang, janji jabatan, permainan pajak, permainan hukum, dan lain-lain, bisa
dilibatkan dalam konspirasi.
Aparat keamanan, hukum, dan birokrat yang mestinya netral tanpa sadar atau dengan sadar sering terbawa arus oleh godaan godaan di atas.
Belum terhitung bagaimana teknologi IT yang canggih yang bisa dipermainkan, ditambah produksi KTP misterius, formulir misterius, dan lain-lain, sangat tidak kondusif untuk membangun rasa saling percaya dalam sistem pilpres langsung ini.
Dengan sikap KPU yang penuh keanehan (misalnya mendadak mengubah cara debat (pada Pilpres 2019), dan berbagai indikasi lainnya yang menunjukkan dugaan mengakomodasi kepentingan salah satu peserta pilpres, maka bagaimana masyarakat percaya bahwa KPU bisa netral, dan sungguh-sungguh akan menghasilkan Pilpres yang bisa dipercaya? Situasi ini sungguh akan menimbulkan bencana politik di kemudian hari.
Negara sebesar ini dengan kaum menengahnya yang sudah kaya-raya, apa maksudnya membuat KOTAK PEMILU/PILPRES DARI KARDUS? LALU KARDUS DIGEMBOK? Ada apa di balik akal ini? ha ha
Argumen bahwa Pilpres langsung menghasilkan demokrasi yang bagus bisa dipertanyakan.
Kalau kita percaya angka ini. Hasil Pilpres: Pilpres 2019, Daftar Pemilih Tetap Pemilu/Pilpres 2019 adalah 192,83 juta jiwa.
Jumlah pemilih Jokowi Ma’ruf 85.607.362 suara, suara Prabowo-Sandi 68.650.239. Jumlah suara pemilih Jokowi/ Ma’ruf Amin dan Prabowo Sandi = 85.607.362 +68.650.239 = 154.257.601
Berdasarkan DPT di atas, maka ada selisih DPT dengan yang menggunakan hak pilihnya sebesar 192.830.000 – 154.257.601 = 38.572.399. Angka 38.572.399 ini bisa digolongkan ke dalam kelompok yang golput, suara rusak, dan lain-lain.
Kesimpulan:
Jumlah pemilih Jokowi Ma’ ruf Amin 85.607.362 : 192.830.000 = 44,40%
Jumlah Pemilih Prabowo Sandi 68.650.239 ; 192.830.000 = 35,60%
Jumlah suara golput, suara rusak dll = 38.572.399 : 192.830.000=20%.
Dengan menggunakan cara menghitung 2019 di atas maka Pilpres 2014: Jokowi JK 37,30%. Prabowo Hatta 32,88%. Golput dll 29,81%
Kalau memakai rumus menang secara demokratis harusnya 50+1.
Nyatanya, Jokowi menang 2 x masing-masing 37, 30% dan 44, 20%. Dua kali menang suaranya di bawah 50 % pemilih.
Artinya, mengacu ke rumus menang secara demokratis tidak tercapai, sehingga penulis menyebutnya ini hasil legal, tapi tidak legitimatif.
Apa bedanya dengan Pilpres sistem Perwakilan dan Musyawarah di MPR RI yang dianggap kurang demokratis, namun hasilnya bisa terpilih Presiden yang lebih berkualitas, karena ada faktor UTUSAN GOLONGAN yang bisa jadi “penyaring capres”?
Setelah Presiden terpilih, berdasarkan pengalaman adalah sebagai berikut.
Tahun pertama, sibuk konsolidasi kekuasaan. Partai partai yang dianggap bukan pendukung rezim, diobrak-abrik atau dijinakkan dengan segala cara. Mulai terjadi persekongkolan atau bangun oligarki. Ujungnya kepentingan rakyat diselewengkan.
Tahun kedua, mulai raba-raba program apa yang mau dikerjakan, yang bisa membuat rakyat segera melihat hasil nyata. Program abstrak, misalnya revolusi mental, nation and character building dan lain-lain disingkirkan, meskipun dipidatokan dalam kampanye. Seakan sinetron kejar tayang yang bisa membuat rakyat kagum. Dipilih program praktis, misalnya kartu sehat, dan yang paling mudah itu infrastruktur, sekalipun dengan seruduk gunakan pinjaman dengan bunga besar atau gunakan dana yang tidak semestinya untuk infrastruktur, seperti dana haji, dana pensiun dll. Itu sekadar contoh bagaimana bekerjanya sebuah sistem tanpa tuntunan GBHN.
Tahun ketiga, mulai bangun pencitraan, banyak selfie dan berbagai acara yang sifatnya konsolidasi untuk terpilih pada periode kedua.
Tahun keempat, mulai sibuk bertempur, karena lawan tanding sudah mulai muncul. Praktis setahun petahana sibuk kampanye tersembunyi atau terang-terangan. Beberapa program seperti raskin, bansos dll diolah menjadi modal politik petahana.
Dengan kata lain, sistem pilpres langsung ini menghasilkan Presiden yang praktis hanya bekerja untuk bisa dipilih kembali untuk periode berikutnya, tak mampu bekerja untuk program jangka jauh yang sifatnya membangun fondasi kuat, agar negara bisa kokoh. Membangun dengan gali lobang tutup lobang menjadikan banyak negara baru merdeka saja mampu melewati Indonesia yang terseok-seok oleh tumpukan utang. Membangun yang mudah dan tampak oleh rakyat, seperti infrastruktur, misalnya, dengan utang besar, hanya mewariskan beban yang berat untuk pemerintah berikutnya. Inilah proses menuju kebangkrutan kalau sistem ini dilanjutkan.
Penilaian atas prestasi Presiden lima tahun pertama, tadak lagi di depan MPR RI, artinya diserahkan langsung ke rakyat pemilih. Sementara rakyat pemilih banyak yang awam, dan seringkali terbawa arus tipuan timses dan lembaga survei dll, sehingga intinya evaluasi itu tak ada. Rakyat tak merasa menilai prestasi Presiden 5 tahun lalu. Tiba tiba yang bersangkutan bisa jadi Capres lagi tanpa evaluasi kritis rakyat. Sistem begini tidak atau kurang bertanggung jawab.
Sengketa pilpres dengan membawa bertruk-truk bukti penyimpangan, belum tentu diperiksa cermat oleh hakim MK, apalagi kalau hakimnya diketahui aparat hukum lainnya punya “catatan gelap” dalam karirnya, dan dijanjikan jabatan tinggi atau setara setelah pensiun oleh salah satu capres yang menang atau dimenangkan.Apalagi kalau ada hubungan kekerabatan dengan pejabat tinggi lain.
Negara sebesar ini penduduknya, dan seluas ini, dengan berbagai latar belakang suku, agama, dan lain-lain melakukan pilpres langsung merupakan eksperimen demokrasi luar biasa. Dalam sistem ini mudah terjadi kecurangan, dan hampir pasti hanya suku yang besar jumlahnya yang bisa jadi Presiden.
Betapapun tuduhan terhadap demokrasi ala UUD 1945 Asli dianggap tidak demokratis, namun faktanya hampir semua parpol, semua ormas dll, melakukan pemilihan dengan demokrasi perwakilan, musyawarah mufakat (voting hanya utk keperluan teknis setelah calon hasil musyawarah disepakati), dengan dijiwai hikmah kebijaksanaan. Tak ada parpol atau ormas yang mengundang semua pemegang kartu anggota parpol/ormasnya datang ke bilik suara untuk memilih Ketua Umumnya. Lho, kultur yang hidup dalam masyarakat kita perwakilan, musyawarah mufakat, dalam hikmah kebijaksanaan kok ujug-ujug pilpresnya sistem one man one vote, di mana suara 1 orang gila sama dengan suara 1 guru besar. Akal sehat itu di mana?
Sistem pilpres langsung ini karena mahal, maka praktis ke depannya hanya akan bisa diikuti oleh orang-orang kaya. Dan orang orang kaya atau yang dibacking orang kaya ke depan itu siapa? Bukankah hanya kelompok tertentu yang sangat kaya dan itu sering disebut konglomerat atau Taipan? Silakan pikirkan untuk jangka panjang ke depan ini siapa-siapa yang akan bisa jadi capres. Salah seorang yang sudah berani muncul adalah konglomerat Hary Tanoesoedibjo, dan menyusul ERICK TOHIR yang peluangnya sangat besar akan didukung oligarki kapital. Dan saya kira akan segera bermunculan yang lain. Lalu orang-orang hebat dari parpol lain, kecuali keluarga SBY yang kabarnya masih kaya, selebihnya mungkin akan lapuk pada saatnya.
Kalau mau jujur, sistem pilpres langsung yang diduga masuk intervensi pemodal alias oligarki kapital atau bandar, hanya dinikmati hasilnya oleh segelintir aktor yang terlibat dalam skenario. Para bandar sendiri mungkin merasa belum kembali modal hanya dengan 5 tahun. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa petahana sering terpaksa ngotot ingin jabatan kedua kali, bahkan sekarang belum apa-apa sudah pengin ketiga kali. Dan ini sangat mempengaruhi tensi pilpres. Suhu tinggi dan rawan keributan.
SARAN:
Kalau memang masih mau dipilih langsung oleh rakyat, seperti yang berlangsung sekarang sejak awal era SBY 2004 sesuai UUD2002, dan tidak mau menggunakan Pilpres Sistem UUD45 Asli (Sila Ke 4 Pancasila, Perwakilan Musyawarah), maka sebaiknya:
KPU-nya harus ditambah dengan unsur Parpol yang ikut Pemilu. KPU yang ada sekarang digaji negara. Anggota KPU dari Parpol diberi honor oleh Partainya. Susunan keanggotaannya seperti usulan Sdr Chris Komari. Baca lampiran.
Intelijen Negara tidak boleh beroperasi untuk memenangkan calon tertentu.
Lembaga Survei harus netral dan ada Lembaga Lain dibentuk untuk menilai objektivitas Lembaga Survei. Semacam LEMBAGA PENGAWAS SURVEI POLITIK.
Media massa khususnya Televisi yang dimiliki atau pro kepada salah satu Capres tidak boleh menggunakan ruang udara publik demi partainya/ capresnya secara berlebihan.
Opini intelektual/ akademisi harus objektif, kecuali intelektual/ akademisi yang secara formal tercatat sebagai Tim Sukses/Tim Kampanye.
Diharamkan menggunakan jasa buzzer dan mesin-mesin/ robot yang merusak kejernihan suara rakyat. Mesti ada tim pengawas khusus dari KPU atau aparat hukum terhadap perilaku buzzer atau penggunaan mesin robot.
Tidak diperbolehkan ada GABUNGAN PARTAI PENDUKUNG. Capres cukup diusung satu Partai. Presidential Threshold 0 persen.
KPU hrs benar-benar netral, tidak boleh ada tangan-tangan gelap ikut mengarahkan. Soal DPT jangan ngarang-ngarang dengan menghitung orang gila, KTP haram dari pendatang luar negeri atau KTP Fiktif, Desa Fiktif, TPS Fiktif, laporan fiktif dll. Ini juga aparat hukum dan keamanan harus serius mengontrol. Menurut sebuah sumber ada 17,5 juta KTP aspal di Pemilu/Pilpres yang lalu.
Bawaslu dan DKPP bekerjalah serius, jangan mau ditekan oleh institusi lain yang punya kepentingan memenangkan calon tertentu. Bawaslu harus diperkuat.
Semoga KPK jangan seperti Lembaga Politik. Pilih-pilih tersangka jelang Pilpres/Pemilu.
Kita mengenal frasa Kepolisian Negara, bukan Kepolisian Pemerintah/ Rezim. Jadi, tentu kita berharap Kepolisian netral dlm Pilpres/ Pemilu. Demi kebaikan bersama, konsentrasi pada keamanan Pilpres/Pemilu.
TNI terkenal dengan kemanunggalan dengan rakyat. Maka, dalam Pilpres/Pemilu sungguh-sungguh bersama rakyat. Bukan kemanunggalan dengan Pemerintah/Rezim dan rakyat dikorbankan.
Kejaksaan dan ASN sebagai bagian dari Pemerintah hendaknya jangan jadi alat ikut memenangkan partai atau capres tertentu. Kalau memang menjadi aparat yang baik, rezim apa pun yang berkuasa tuan tetap bisa mendapat jabatan dan peran.
Mahkamah Konstitusi
Katanya mereka Negarawan. Negarawan itu berpikir jauh ke depan. Berpikir ke depan untuk kemajuan dan kebaikan rakyat bangsa dan negara. Bukan semata untuk kemajuan Keluarga. Jadi, dalam mengambil keputusan dan proses pengadilan, sungguh-sungguhlah jujur dan adil, demi hari depan bangsa dan negara.
Hasil penghitungan suara di TPS yang ditandatangani anggota KPPS, yang juga ada anggota partai PESERTA Pemilu yang duduk sebagai anggota KPPS, juga harus dianggap final di TPS, maksimal diselesaikan di tingkat kecamatan. DARI KECAMATAN LANGSUNG DIKIRIM KE KPU PUSAT. Tembusan dikirim ke DPP Partai masing masing, juga ke KPUD Kabupaten/ Propinsi. Dengan teknologi sekarang semua bisa dibuat cepat dan transpsran.
Kalau soal penanganan money politics, serangan fajar dll tak perlu lagi dibahas di sini, karena sudah menjadi pengetahuan umum, dan solusinya juga mestinya sudah hafal caranya.
Demikian, sebagai harapan kami, untuk keselamatan rakyat, bangsa, dan negara. Demi kebaikan dan kemajuan Indonesia.
BACA JUGA:
EDITOR: REYNA
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
PGSLOT เล่นเกมไหนก็ได้เงินDecember 19, 2024 at 2:49 pm
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/kelemahan-keburukan-sistem-pilpres-langsung-dan-saran-saran-perbaikan/ […]
DiyalaaJanuary 3, 2025 at 12:22 pm
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/kelemahan-keburukan-sistem-pilpres-langsung-dan-saran-saran-perbaikan/ […]