Kematian Tukang Kritik di era Post-Truth

Kematian Tukang Kritik di era Post-Truth
Daniel Mohammad Rosyid

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts

Suatu ketika Bennedict Anderson berkisah tentang pengalamannya memberi kuliah umum di Universitas Chulalongkorn, Thailand. Pada audiensnya waktu itu -para dosen, guru besar dan mahasiswa pascasarjana- dia bertanya tentang seorang sutradara terkenal asal Thailand yang film-filmnya tentang masyarakat Thailand telah memperoleh berbagai penghargaan internasional, apakah mereka mengenal tokoh tersebut.

Hanya satu orang mahasiswa pasca yang mengacungkan tangannya. Yang lain hanya bertanya-tanya who the hell he is. Ben Anderson kemudian mengambil kesimpulan bahwa universitas-universitas Thailand seperti banyak universitas di negara berkembang lainnya mengalami sebuah proses yang dinamainya profesionalisasi, lalu kehilangan banyak intelektual publik. Para profesor sibuk menekuni bidang spesialisasinya yang makin sempit dengan bahasa yang hanya bisa dipahami diantara mereka sendiri tapi tidak dipahami oleh masyarakatnya.

Menurut kamus Webster, yang disebut intelektual publik adalah seorang intelektual -yang dikenal sebagai ahli di bidang spesialisasi tertentu- yang dikenal masyarakat luas karena sering menunjukkan kesediaan untuk memberi pendapat atau komentar atas peristiwa-peristiwa menarik mutakhir apa saja yang terjadi di masyarakat. Komentar itu muncul bisa melalui sebuah wawancara dengan wartawan atau melalui tulisan opini bebas di koran atau portal berita online.

Seorang intelektual publik biasanya menyodorkan pandangan yang berbeda dengan pandangan arus utama atau pandangan pemerintah. Pandangan intelektual publik ini sering kali juga kontroversial, tidak lazim, tapi mencerahkan karena mampu menunjukkan perspektif baru atas sebuah realita. Para intelektual publik sering juga disebut tukang kritik, dissenter, atau bahkan dissident (pemberontak politik).

Pada saat ini Prof. Noam Chomsky dari MIT adalah intelektual publik paling kesohor di AS dan sering tampil sebagai dissident paling tajam atas kebijakan luar negeri AS. Intelektual publik Indonesia yang kesohor hari ini adalah Rocky Gerung.

Sekitar 15 tahun silam, saat sesi presentasi sebagai calon guru besar di bidang Riset Operasi dan Optimasi Teknik Kelautan ITS, saya ditanya oleh seorang guru besar senior mengapa saya lebih banyak menulis tentang pendidikan daripada teknik kelautan. Saya jawab bahwa itu terjadi karena kecelakaan sejarah: saya diminta oleh pak Imam Utomo Gubernur Jatim waktu itu untuk mau menjadi Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur yang pertama sejak UU Sisdiknas berlaku. Sampai sekarang saya tidak tahu persis mengapa bukan ahli pendidikan yang beliau tunjuk.

Tempo hari melalui WA saya diminta pendapat oleh seorang pegiat Ormas Islam yang sedang mengajukan gugatan atas pembubarannya oleh Pemerintah. Saya jawab demikian: “Pencabutan BHP HTI oleh Pemerintah jelas mengada-ada dan sebuah upaya untuk menekan kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat, sambil mengaburkan ancaman yang sebenarnya sudah dan sedang terjadi atas NKRI, yaitu neokolonialisme. Jadi tindakan sewenang-wenang Pemerintah atas HTI itu adalah intentionally crafted hoax sambil menyembunyikan kebenaran dari kesadaran publik”.

Pendapat saya tersebut kemudian dikemas menjadi meme viral yang kemudian dibaca oleh publik bahwa saya adalah pendukung HTI. Beberapa hari kemudian, sebuah koran nasional memberitakan bahwa pejabat tertinggi di Kementrian Ristekdikti telah memecat tiga dosen ITS yang tersangkut kasus HTI ini. Rektor ITS segera menggelar pers release untuk meluruskan apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh ITS atas ketiga dosen tersebut. Ternyata ketiga dosen tersebut sedang diproses, mungkin menuju pemecatan mereka. Saya tidak dipecat, hanya dicopot dari jabatan Dekan FTK

Setelah Normalisasi Kehidupan Kampus hampir 40 tahun silam, kemudian UU Ormas, UU Antiterror, lalu release Daftar Da’i oleh Kementrian Agama yang mungkin akan muncul, saya membayangkan akan lahir regulasi Normalisasi Masjid. Saya berharap tidak banyak intelektual publik yang akan mati lagi. Saya pikir, di era post-truth ini, tanggung jawab intelektual itu mengalami tantangan baru yg dengan jitu digambarkan oleh Isaian Berlin. Intelektual tidak hanya menghadapi resiko pembungkaman oleh penguasa, tapi juga tuduhan menjadi antek2 oligarki oleh masyarakat.

The middle ground is a notoriously exposed, dangerous, and ungrateful position demikian dikatakan Isaiah Berlin. Posisi tengah itu sasaran hujatan, berbahaya, dan tidak dihargai. Banyak masyarakat berharap para intelektual tidak bersembunyi dalam kenyamanan menara gading, tapi turun membersamai masyarakat sebagai intelektual organik. Namun saat dia turun, dia hampir selalu dinilai dengan penuh kecurigaan patologis. Mungkin Rasulullah saw lebih baik tetap tinggal di Gua Hira agar tidak disangka majnun jika turun menemui tokoh2 Quraisy pemimpin masyarakat jahiliyyah di Mekah ?

Gunung Anyar, Surabaya. 16 Januari 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K