Kepemimpinan Prabowo = Jokowi Jilid 3

Kepemimpinan Prabowo = Jokowi Jilid 3

Oleh: Sri Radjasa

Pemerhati Intelijen

 

Apa yang berubah selama setahun kepemimpinan presiden Prabowo? Adalah pertanyaan besar dalam kehidupan bernegara yang sesungguhnya tidak sulit untuk dijawab. Apalagi selama 10 tahun Jokowi, telah meninggalkan legacy “indonesia gelap” yang mengisyaratkan runtuhnya orde reformasi.

Pergantian kepemimpinan nasional melalui “pesta demokrasi”, belum dapat dimaknai sebagai problem solving untuk mengurai benang kusut legacy Jokowi, tetapi bisa jadi menunjukan gejala sebagai bagian dari problem taking yang akan melanggengkan “kejahatan Jokowi”.

Kepemimpinan presiden Prabowo, memiliki karakteristik sentralistik dan reaktif serta mengutamakan citra di for a internasional. Program andalan “makan bergizi gratis”, sejauh ini berjalan semata-mata hanya untuk “menyenangkan bapak”. Pelaksanaan MBG ternyata menjadi lapak baru untuk menuai rente. Sikap presiden Prabowo terhadap penanganan kasus mega korupsi, dugaan kejahatan dinasti jokowi dan institusi hukum yang hanya menjadi centeng politik, belum menunjukan adanya political will, untuk mewujudkan janji politik Prabowo.

 Kerja nyata presiden Prabowo selama setahun pemerintahannya, baru sebatas mendirikan “negara satgas”. Hal ini mengisyaratkan, dalam penanganan problem negara, presiden gemar menggunakan pendekatan operasi, sebagai langkah konkrit dan cepat. Tetapi kelemahannya, tidak memberikan tanggung jawab kepada stake holder yang memiliki kewajiban menangani masalah yang muncul.

Penunjukan personel satgas tanpa mengedepankan prinsip meritokrasi, terbukti semakin memperpanjang rentang masalah yang dihadapi negara. Penanganan kasus-kasus besar yang  bersinggungan dengan kepentingan rakyat, kasus mega korupsi pertamina, proyek strategis nasional, bandara IMIP, ijazah palsu jokowi, kereta cepat whoosh, Reformasi Polri dan kasus yang melibatkan termul, masih digunakan pendekatan tebang pilih atau penegakan hukum dengan metode ABG (Asal Bukan Gibran dkk).

Alih-alih memperkokoh kekuatan dukungan di inner circle kekuasaan negara, presiden Prabowo justru terus membuka koridor bagi masuknya kroni Jokowi seperti Muhammad Qodari penggagas jokowi 3 periode, ditunjuk sebagai KSP.

Disisi lain presiden Prabowo, terlihat alergi untuk menggusur para menteri titipan Jokowi, kendatipun mereka adalah biang kerok terjadinya kisruh tata kelola pemerintahan. Jika membaca konstelasi politik nasional terkini, sesungguhnya dinasti Solo bukanlah kekuatan politik handal yang mampu meruntuhkan kekuasaan presiden Prabowo.

Tetapi yang terjadi adalah sikap presiden Prabowo yang enggan menyingkirkan krikil dalam sepatu kekuasaannya. Tetapi jika membiarkan krikil tersebut, berpotensi melukai kaki kekuasaan Prabowo dan dapat mengakibatkan infeksi kemudian diamputasi. Kekuatan politik jJokowi hanya bertumpu pada “partai coklat” yang memiliki legitimasi untuk meredam kekuatan oposisi melalui rekayasa hukum. Realitasnya presiden Prabowo masih mempercayai Listyo Sigit selaku komandan bela Jokowi di tampuk kekuasaan polri.

Fenomena kepemimpinan presiden Prabowo yang terkesan tidak menuntaskan kasus-kasus besar dan tuntutan publik soal penegakan hukum yang berkeadilan, telah menyebabkan merosotnya kepercayaan publik terhadap presiden Prabowo. Bahkan mulai dibangun narasi negative untuk Prabowo “yang penting sudah tercapai cita-cita jadi presiden”.

Menghadapi drama cawe-cawe Jokowi yang sesungguhnya adalah grand scenario dari operasi garis dalam, dengan sasaran “selesaikan Prabowo di jalan”, tampaknya tidak mengusik naluri Prabowo sebagai mantan perwira pasukan khusus, untuk menghadapi “character assassination” dengan pendekatan strategis diantaranya membangun komunikasi publik yang efektif dan transparan, penegakan hukum yang tegas, penguatan integritas dan kualitas kebijakan serta Pendidikan politik masyarakat.

Potret dukungan politik publik terhadap presiden Prabowo dan dihadapkan oleh syahwat politik Jokowi untuk kembali berkuasa di 2029, jika diamati dari sudut pandang filsafat etika, adalah sebuah fenomena politik yang menuntut publik untuk memilih antara buruk dan buruk.

Traumatis publik terhadap 10 tahun kekuasaan Jokowi, membentuk sikap perlawanan untuk menggagalkan ambisi politik Jokowi pada 2029. Maka tidak ada pilihan lain kecuali dukung pemerintahan Prabowo, untuk menetralisir kekuatan politik jokowi.

Tetapi publik mulai mencium, adanya gelagat kurang sehat dari kepemimpinan Prabowo yang semata-mata hanya memainkan peran melanjutkan “suksesi Jokowi”. Inilah ironi sebuah bangsa yang pernah menoreh kebesaran sejarah masa lalu, kini harus bertekuk lutut dikaki oligarki dan para pemimpin pengejar rente.

Sebagai upaya melawan lupa, bangsa ini bukan pecundang yang tunduk terhadap tindakan represif penguasa. Kepada Jokowi dan Prabowo, demi kepentingan mempertahankan marwah kedaulatan negara, rakyat hanya memiliki satu kalimat “people power”.

 

EDITOR: REYNA

 

 

Last Day Views: 26,55 K