Ketua DPD: Undang-Undang Koruptif

Ketua DPD: Undang-Undang Koruptif
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Oleh : AA Lanyalla Mahmud Mattalitti

Penulis adalah Ketua DPD RI

 

Desember lalu (Desember 2021), saya diundang PB HMI MPO. Untuk memberikan orasi dalam Training Politik Nasional. Temanya saat itu; “Dilema Otonomi Daerah: Antara Aspirasi Lokal dan Desentralisasi Praktik Korupsi”.

Saat itu saya sengaja tidak banyak berbicara tentang praktik korupsi di daerah. Karena sudah terlalu banyak yang membahas hal itu. Mulai dari para pakar sampai pegiat anti korupsi. Karena memang faktanya, ada puluhan gubernur dan ratusan bupati dan walikota yang ditahan KPK dan Kejaksaan.

Saya menawarkan pemikiran baru. Masih tentang korupsi. Tapi dari perspektif yang lebih luas. Dengan memahami secara utuh apa itu korupsi. Dari terminologi dan makna.
Secara umum, korupsi adalah tindakan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain atau kelompok, dengan merugikan banyak pihak, baik masyarakat luas maupun negara.

Dari sini bisa kita tarik ke perspektif yang lebih luas, tentang makna merugikan masyarakat luas dan negara. Dengan pemikiran yang lebih luas, atau out of the box. Terutama menyangkut kerugian yang dialami masyarakat luas.
***
Terbentuknya negara ini, tentu memiliki tujuan. Dan tujuan itu dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. Dimana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya. Hingga pada ujungnya adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah undang-undang sebagai petunjuk bagi aparatur negara. Sekaligus sebagai pengikat semua elemen bangsa. Undang-undang dibuat oleh pembentuk: DPR dan Pemerintah.

Nah, persoalannya, kita sebut apakah apabila ada Undang-Undang yang dibentuk, dan nyata-nyata menguntungkan kelompok dan merugikan masyarakat banyak, serta melenceng dari tujuan lahirnya negara ini?

Saya sebut Undang-Undang Koruptif. Karena dilahirkan dan dibentuk dalam perspektif korupsi dalam arti yang luas.

Jadi, ketika lahir sebuah Undang-Undang yang menguntungkan segelintir orang atau kelompok dan menyengsarakan rakyat kebanyakan, maka sejatinya Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang yang Koruptif!

Apakah itu Undang-Undang, Peraturan Daerah, atau regulasi apapun. Selama merugikan negara dan menguntungkan kelompok tertentu, sejatinya hal itu adalah praktik korupsi.
Dan tentu melanggar Konstitusi. Apalagi Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti termaktub di dalam Undang-Undang Dasar Pasal 29 Ayat (1).

Karena negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya. Para pembuat undang-undang, harus berpegang pada kosmologi dan spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama.

Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar Konstitusi.

Dan pelanggaran terhadap konstitusi adalah pelanggaran terhadap sumpah jabatan yang diucapkan dengan menyebut nama Tuhan mereka.

Bersambung ke halaman berikutnya

Last Day Views: 26,55 K