Ketua DPD: Undang-Undang Koruptif

Ketua DPD: Undang-Undang Koruptif
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Kita semua tahu, ada beberapa Undang-Undang yang lahir atas pesanan sponsor. Apakah sponsor pemberi pinjaman dari luar negeri. Atau sponsor oligarki yang menguasai kekayaan sumber daya alam.

Kita sering mendengar kritik keras tersebut dari para akademisi dan pengamat.
Tetapi tetap saja Undang-Undang tersebut lahir. Meskipun ada yang berujung dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi tidak sedikit yang terus berlaku.

Bahkan ada juga yang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai open legal policy. Artinya tetap sah, karena merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang.
Singkatnya, hal ini menunjukkan kepada kita, adanya kepentingan kelompok tertentu yang diakomodasi oleh pembentuk Undang-Undang.

Jika kelompok tertentu –yang jumlahnya sedikit– diuntungkan. Maka jelas ada kelompok lebih besar yang dirugikan. Siapa? Kitalah. Rakyat kebanyakan.
***
Belakangan ini marak diskusi publik tentang Presidential Threshold. Atau ambang batas pencalonan presiden. Yang ditetapkan melalui Undang-Undang Pemilu –yang terbaru: UU Nomor 7 tahun 2017.

Apakah Undang-Undang tersebut juga termasuk Undang-Undang yang koruptif? Mari kita uji dengan tiga pisau analisis. Dengan tiga pertanyaan mendasar.

Yang pertama, apakah Presidential Threshold sesuai dengan Konstitusi. Jawabnya adalah Tidak. Karena memang TIDAK ADA perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. Yang ada adalah ambang batas KETERPILIHAN presiden. Apalagi dalam hal pencalonan kepala daerah. Sama sekali tidak ada di dalam Konstitusi.

Tentang itu kita dapat membaca di Undang-Undang Dasar hasil Amandemen, di dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4). Di situ disebutkan perlu ada Ambang Batas Keterpilihan sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar.

Sebaliknya, tentang Ambang Batas Pencalonan sama sekali tidak ada. Justru disebutkan di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis; “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Yang normanya, dari frasa kalimat itu adalah; setiap partai politik peserta pemilu DAPAT mengajukan pasangan capres dan cawapres. Dan pencalonan itu diajukan SEBELUM Pilpres dilaksanakan.

Tetapi kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.

Dalam Undang-Undang tersebut, di Pasal 222 disebutkan; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di Pasal tersebut juga terdapat kalimat; “pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Yang kemudian menjadikan komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR tersebut diambil dari komposisi yang lama. Atau periode 5 tahun sebelumnya.

Sungguh Pasal yang aneh, dan menyalahi Konstitusi. Apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah “basi”. Karena basis suara hasil pemilu 5 tahun yang lalu.

Bersambung ke halaman berikutnya

Last Day Views: 26,55 K