ZONASATUNEWS.COM, JAKARTA – Penyidikan kasus transaksi mencurigakan Rp189 triliun mengenai impor emas, serta kasus korupsi kerja sama pengolahan anoda logam berjalan bersamaan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Seperti diketahui, penyidik pada Ditjen Bea Cukai telah menaikkan kasus impor emas itu ke tahap penyidikan lantaran diduga melanggar Undang-Undang (UU) Kepabeanan.
Penyidik juga menduga ada pelanggaran pasal pada UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), namun belum ada pihak yang diumumkan sebagai tersangka kendati disebut ada dugaan keterlibatan oleh sejumlah perusahaan milik grup SB.
PP Nomor 54/2023: Produk Hukum Yang Bahaya
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2023 tentang Penghentian penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai Untuk Kepentingan Penerimaan Negara, yang ditetapkan minggu lalu, 22 November 2023, merupakan sebuah produk hukum yang bahaya, bersifat tirani, yang terindikasi jelas melanggar UU dan Konstitusi.
“PP Nomor 54/2023 tersebut dapat dilihat sebagai intervensi eksekutif terhadap hukum,” kata Anthony.
Karena, meskipun Kejaksaan Agung merupakan bagian dari eksekutif atau pemerintah, tetapi Kejaksaan Agung merupakan lembaga yang mandiri dan merdeka, tidak bisa diintervensi oleh Presiden. Kejaksaan Agung bahkan bisa menyidik dan menangkap Presiden kalau melanggar hukum.
Di dalam penjelasan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Bab I: Ketentuan Umum, butir 1, dijelaskan: “Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.”
Artinya, kata Anthony, pemerintah atau Presiden tidak bisa intervensi Kejaksaan Agung dalam melaksanakan penegakan hukum dan memenuhi tugas dan kewajibannya sesuai ketentuan UU lainnya, seperti dimaksud butir 3.
Penjelasan Bab I, butir 3 berbunyi, “Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
“Dengan demikian, PP No 54/2023 yang mengatur penghentian penyidikan jelas melanggar kewenangan Kejaksaan Agung yang diberikan oleh berbagai macam UU tersebut di atas. Oleh karena itu, PP tersebut wajib batal demi hukum, karena hierarki PP di bawah UU,” ungkap Anthony.
Selain itu, kata ANthony, PP No 54/2023 tersebut melanggar konstitusi Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Ditambahkan, PP No. 54/2023 juga dapat dimaknai sebagai upaya Presiden menghalangi penyidikan tindak pidana secara terang-terangan, melalui regulasi dengan menetapkan Peraturan Pemerintah, dengan dalih untuk kepentingan penerimaan negara.
Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi. Hukuman pidana tidak boleh dihapus dan dijadikan perdata, atau hukuman pidana dibarter dengan denda.
“PP No 54/2023 ini wajib diduga untuk menghalangi penyidikan kasus impor ilegal emas batangan di Ditjen Bea dan Cukai yang sudah masuk proses penyidikan,” jelasnya.
Ada dugaan kasus impor ilegal emas batangan tersebut melibatkan orang dekat istana. Apakah karena itu, PP tersebut diterbitkan untuk menghentikan kasus pidananya?
“Tidak heran Ganjar Pranowo sempat memberi angka 5 untuk penegakan hukum pemerintahan Jokowi. Angka 5 ini menurut saya sudah terlalu tinggi. Saya sendiri menilai, tidak lebih dari 3. Karena penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Bahkan kasus hukum sering sengaja diambangkan untuk dijadikan alat sandera politik. Lebih parah dari itu, bisa juga terjadi pengkondisian hukum, atau intervensi hukum, termasuk melalui PP No 54/2023 ini,” pungkasnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Berjihad Melawan Korupsi, Menyelamatkan Hak Anak Indonesia Menuju Indonesia Emas
Habib Umar Alhamid: Prabowo Pantas Ajak TNI dan Rakyat untuk Bersih-bersih Indonesia
HIPKA Tegas Tolak Politisasi Hukum Demi Stabilitas Pembangunan Ekonomi Kalbar
Skandal Tirak, Ketua BPD Nilai Rizky Putra “Mbah Lurah” Belum Layak Sebagai Calon Karena Belum Bebas Murni
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Reformasi Polisi dan Kebangkitan Pemuda: Seruan Keras Dr. Anton Permana di Hari Sumpah Pemuda
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
PT Soechi Lines Tbk, PT Multi Ocean Shipyard dan PT Sukses Inkor Maritim Bantah Terkait Pemesanan Tanker Pertamina
ISPA Jadi Alarm Nasional: Yahya Zaini Peringatkan Ancaman Krisis Kesehatan Urban
Kerusakan besar ekosistem Gaza, runtuhnya sistem air, pangan, dan pertanian akibat serangan Israel
No Responses