Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Dalam artikel yang saya tulis berjudul: “Para Pejabat Negara Perlu Belajar Ilmu Komunikasi” pada tanggal 4 desember 2024 dimana saya mengusulkan agar para pemangku negara ini perlu belajar Ilmu Komunikasi mengingat banyak diantara mereka yang kurang pas dalam melakukan komunikasi publik. Kasus yang baru saja membuat ramai di media tentang kurang pas nya berkomunikasi itu adalah ketika seorang pejabat negara – utusan Presiden Gus Miftah meng-goblok-goblokkan seorang penjual teh dalam suatu acara ceramah agama.
Ternyata (secara subyektif) usulan saya benar bahwa memahami ilmu komunikasi itu memang sangat diperlukan oleh pejabat negara karena baru saja kasus Gus Miftah – yang beritanya sampai di telinga Perdana Menteri Malaysia Datuk Anwar Ibrahim – itu selesai, lalu muncul berita seorang pejabat negara lainnya salah menggunakan diksi atau pilihan kata ketika yang bersangkutan memberikan penjelasan mengenai insiden Gus Miftah tersebut. Pejabat ini adalah Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan Adita Irawati yang panen hujatan usai menggunakan kata “rakyat jelata” saat menjelaskan kasus Gus Miftah itu.
Ucapan Bu Adita itu lantas memicu kritik dari warganet karena kata yang digunakan itu tidak seharusnya diucapkan oleh seorang pejabat tinggi negara. Kritikan-kritikan itu muncul mensikapi video yang beredar dimana Bu Adita ini mengungkapkan permohonan maaf dan penyesalan pihak istana terkait insiden Gus Miftah yang mengolokkan seorang penjual teh. Penggunaan kata “rakyat jelata” itu muncul disaat Bu Adita mengatakan Presiden RI Prabowo dalam berbagai kesempatan sangat menghormati rakyat kecil, “Apalagi kalau kita lihat, Presidden kita Pak Prabowo Subianto, ini kalau dilihat dari berbagai baik itu pidato atau kunjungan beliau, terlihat sekali pemihakan beliau pada rakyat kecil, rakyat jelata” katanya.
Kritikan para warganet itu antara lain menyayangkan jabatan Bu Adita sebagai juru bicara bidang komunikasi tapi cara komunikasinya membuat dia dicibir. Ada juga yang memberi komentar bahwa Bu Adita ini menjadi seorang pejabat ya karena jasa rakyat jelata dimana rakyat yang dianggap jelata itu lah yang memberi gaji Bu Adita dari keringat mereka; lagian kalau Bu Adita tidak menjadi seorang pejabat – dia itu juga rakyat jelata.
Ada video viral yang menyebutkan data bahwa rata – rata IQ orang Indonesia itu 78, artinya sangat rendah. Namun perlu diperhatikan bahwa rakyat itu sekarang tidak “sebodoh” yang dikira orang, mereka yang melek berita dan informasi akibat majunya teknologi informasi sebenarnya sangat kritis dan cerdas ketika menanggapi pernyataan pejabat negara yang dianggap keliru, persisnya “menghina” rakyat. Variabel masyarakat yang faham teknologi informasi – itu harusnya menjadi pertimbangan pejabat negara dalam melakukan komunikasi publik.
Pada saat rakyat menghadapi berbagai kesulitan ekonomi, kesulitan membiayai sekolah anak-anak nya, kesulitan akibat di PHK perusahaan, kesulitan menghadapi berbagai kenaikan harga kebutuhan – maka perasaan rakyat itu sangat sensitif ketika mendengar ucapan pejabat yang kurang pas atau yang menyinggung perasaan mereka misalkan “kalau harga beras mahal maka makan pisang saja sudah cukup”, “kalau harga minyak goreng mahal ya dikukus saja”, “kalau beras mahal makan ubi-ubian saja – sehat kok” dsb.
Di Amerika Serikat ada pergeseran penggunaan kata dalam menyebut etnis terutama warganegara yang keturunan Afrika. Dulu orang kulit putih itu menyebut orang keturunan Afrika itu “colored people” – orang dengan kulit berwarna (selain warna putih), lalu setelah itu orang kulit putih menyebutnya “Negro”. Tahun 1988 di Chicago Hyatt Regency O’Hara hotel aktivis pendeta Jesse l. Jackson mengumumkan penggunaan sebutan “African American” bagi warganegara AS keturunan Afrika. Pemilihan kata ini diperlukan karena sebutan “orang kulit berwarna” dan Negro itu merupakan bentuk penghinaan dikarenakan keturunan Afrika itu dulunya adalan budak.
Para pejabat negara ada baiknya memahami sensitifitas rakyat dalam situasi sulit dan tidak menentu ini, karena itu diperlukan suatu wisdom ketika menggunakan suatu kata yang ditujukan kepada khalayak.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
No Responses