Loyalitas Ganda dan Manuver Politik di Kabinet

Loyalitas Ganda dan Manuver Politik di Kabinet
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi

Memasuki 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto, berbagai gangguan mulai bermunculan, menguji ketegasan dan kepemimpinan presiden baru Indonesia ini. Dari persoalan tata ruang dan tanah hingga kebijakan ekonomi yang kontroversial, semuanya mencerminkan dinamika kabinet yang belum sepenuhnya solid. Muncul pertanyaan besar: apakah ini bagian dari loyalitas ganda orang-orang Jokowi di kabinet Prabowo, ataukah hanya kelalaian birokrasi?

Kasus pemagaran laut di Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) dan beberapa daerah lain di Indonesia menjadi sorotan tajam. Pemagaran yang disebut-sebut telah berlangsung sejak 2014 ini kini kembali mencuat, seolah menjadi bom waktu di era Prabowo. Yang lebih mengejutkan, semua menteri yang membidangi persoalan tata ruang dan tanah justru mengaku tidak tahu-menahu dan saling melempar tanggung jawab. Reaksi ini bukan hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga kemarahan rakyat yang merasa haknya sebagai nelayan dan masyarakat pesisir dirampas. Apakah ini ketidaktahuan yang murni, atau ada agenda tersembunyi yang sedang dimainkan?

Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini sontak menimbulkan kegaduhan, mengingat kondisi ekonomi rakyat belum sepenuhnya pulih. Alih-alih meningkatkan penerimaan negara, langkah ini justru bisa memperlemah daya beli masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo di awal kepemimpinannya. Apakah ini langkah yang sengaja dilemparkan untuk menguji reaksi publik, ataukah ada kepentingan lain di baliknya?

Kasus kelangkaan LPG 3 kg juga menjadi salah satu insiden yang mengguncang kabinet. Bahkan, kejadian ini telah memakan korban jiwa di Tangerang Selatan, Banten. Prabowo dikabarkan murka terhadap Menteri ESDM dan memerintahkan agar kebijakan larangan penjualan di tingkat pengecer segera dicabut dan kembali ke aturan sebelumnya, yaitu boleh dijual di sub pangkalan.

Namun, yang menarik adalah pernyataan Sufmi Dasco, Ketua Harian DPP Gerindra dan Wakil Ketua DPR RI, yang menegaskan bahwa kebijakan awal bukanlah perintah Prabowo. Ini mengesankan bahwa kebijakan tersebut lebih merupakan inisiatif Bahlil Lahadalia sebagai Menteri ESDM. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa masih ada loyalitas ganda di dalam kabinet, di mana beberapa menteri masih lebih berpihak pada kepentingan Jokowi daripada mengikuti visi Prabowo.

Loyalitas Ganda dan Bayang-Bayang Jokowi: Ancaman Bagi Prabowo

Dinamika ini menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo masih dibayangi oleh pengaruh Jokowi, terutama melalui para menteri yang berasal dari pemerintahan sebelumnya. Bayang-bayang Jokowi bukan hanya sekadar warisan kebijakan, tetapi juga ancaman nyata bagi stabilitas pemerintahan Prabowo. Jika Prabowo tidak mampu dengan tegas menepis pengaruh tersebut, maka ia akan terus dibebani dengan manuver politik yang dapat menghambat agenda kepemimpinannya sendiri.

Sikap ragu-ragu Prabowo dalam menghadapi loyalitas ganda ini bisa menjadi beban besar dalam menjalankan pemerintahan ke depan. Tanpa tindakan tegas, Prabowo akan terus menghadapi tantangan dari internal kabinetnya sendiri. Manuver politik seperti ini bisa menjadi batu sandungan serius jika tidak segera ditangani.

Prabowo harus segera mengambil langkah tegas untuk memastikan loyalitas penuh dari para pembantunya di kabinet. Jika tidak, gangguan 100 hari ini bisa menjadi awal dari instabilitas yang lebih besar dalam pemerintahan ke depan. Akankah Prabowo tetap diam, atau akan ada reshuffle untuk membersihkan kabinet dari para pemain yang masih terjebak dalam kepentingan masa lalu? Jawabannya akan sangat menentukan bagaimana pemerintahan ini berjalan dalam lima tahun ke depan.

Akankah Prabowo Berdaya Menepis Bayang – Bayang Jokowi ?

Prabowo Subianto kini berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ia adalah presiden terpilih yang seharusnya memegang kendali penuh atas pemerintahan. Namun di sisi lain, bayang-bayang Jokowi masih membentang panjang, terutama melalui jejaring oligarki yang telah berakar kuat selama satu dekade terakhir.

Jokowi bukan sekadar mantan presiden yang akan pensiun dengan tenang. Ia membangun jaringan bisnis dan politik yang memungkinkan dirinya tetap berpengaruh, bahkan setelah lengser. Para “pengusaha hitam” yang selama ini menikmati berbagai kebijakan pro-oligarki—mulai dari konsesi tambang, proyek infrastruktur, hingga bisnis energi—masih setia berada di belakang Jokowi. Mereka menunggu dengan penuh kecemasan: akankah Prabowo tunduk pada sistem yang diwariskan Jokowi, ataukah ia akan membangun jalannya sendiri?

Namun, ada satu oligark yang kini berani terang-terangan menantang Jokowi: Sugianto Kusuma alias Agung Sedayu atau Aguan. Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan, kini Aguan merasa dikorbankan. Proyek reklamasi, lahan-lahan strategis, dan berbagai kepentingan bisnisnya terancam, sementara oligark lain tetap dilindungi. Aguan kini menyadari bahwa loyalitas kepada Jokowi tidak lagi menjamin perlindungan, dan ia memilih untuk melawan, meskipun sendirian.

Prabowo menghadapi dilema besar. Jika ia tetap membiarkan Jokowi dan oligarki berkuasa di belakang layar, pemerintahannya akan sekadar menjadi kelanjutan dari rezim sebelumnya, tanpa perubahan berarti. Namun, jika ia mencoba mengguncang sistem ini, ia harus siap menghadapi perlawanan dari jaringan ekonomi-politik yang sudah mapan, termasuk pengusaha hitam yang masih setia pada Jokowi.

Pertanyaannya kini: apakah Prabowo cukup berdaya untuk keluar dari bayang-bayang Jokowi? Ataukah ia akan menjadi presiden yang sekadar menjalankan titah oligarki lama? Keputusan ada di tangannya—dan sejarah akan mencatatnya.

Surabaya, 5 Pebruari 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K