Machiavelli Sang Guru Besar

Machiavelli Sang Guru Besar
Niccolo Machiavelli

Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)

 

Saya ingin tunjukkan satu pemikir besar yang ilmunya banyak disalahpahami dan disalagunakan terutama oleh para politisi dangkal penalaran politiknya dan politisi yang berambisi meraih kekuasaan karena mengandalkan suap politik dan jaringan nepotisme.

Nama lengkapnya mudah diingat, Nicollo Machiavelli, meski tidak semudah mengingat keutamaan moralitas politik yang dianutnya. Machiavelli bukanlah seorang filsuf jika menggunakan kriteria ketat seperti yang disematkan kepada pendahulunya, seperti Thales, Socrates, Plato dan Aristoteles. Pada kriteria yang cukup ketat, para filsuf adalah para penghuni wilayah tak bertuan di antara teologi dan sains. Namun sebagai akademisi ilmu politik, saya tetap memasukkannya ke dalam deretan filsuf politik besar dalam maknanya yang agak longgar.

Akan tetapi tak seorangpun yang bisa menyangkal kalau ia putra tunggal Renaisans yang mengantarkannya dinobatkan sebagai bapak ilmu politik sekaligus bapak militer modern.
Namanya mendunia lantaran nasehat-nasehat politik kontradiktifnya mengejutkan dunia religius dan membuat gempar dunia propan sejak bukunya The Prince ditulis pada empat puluh enam tahun setelah kelahirannya pada tahun 1467.

Dialah satu-satunya filsuf politik dan pemikir politik besar yang memilih metode tak lazim dalam mengajarkan moralitas politik kepada para penguasa. Dengan mengambil setting ekspressi zamannya, Machiavelli ingin mengajarkan kepada zaman berikutnya tentang deskripsi kekuasaan buruk yang harus dihindari. Bukan sebaliknya, mengikutinya dengan penuh rasa tak bersalah.

Dalam kesendiriannya empat tahun sebelum kematiannya, kemalangan hidupnya tidaklah disebabkan oleh moralitas politiknya. Melainkan watak kekuasaan yang tidak menerimanya untuk bekerja sama. Kematiannya pada tahun 1527, bertepatan kematian Renaisans dan saat Roma diserang oleh Charles V, telah meninggalkan warisan besar pada sejarah kebesaran teologi politik, filsafat politik, pemikiran politik, ideopogi politik, dan praktik politik. Nasehat-nasehat buruknya kepada penguasa bukanlah gambaran reputasi buruknya, sehingga nama besarnya tak harus dirusak dengan sematan guru besar kejahatan. Machiavelli harusnya diberi pujian dan penghormatan lantaran keberaniannya menulis kritik tajam secara ilmiah terhadap keburukan para penguasa dan para politisi melalui metode tak lazim.

Betul bahwa siapapun yang membaca karya mashurnya, Il Principe atau The Prince (Sang Penguasa) yang berisi “jalan para penguasa Iblis” pasti akan dibuatnya tersesat. Namun Machiavelli juga menulis buku penawarnya, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio dipublikasikan pada 1531 dengan judul “Discourses on the First Decade of Titus Livy” yang berisi “jejak para malaikat.”

Saya sependapat Bertrand Russell bahwa meski Renaisans tidak melahirkan filosof teoritis penting, tetapi ia telah melahirkan salah satu manusia besar dalam filsafat politik. Filsafat politiknya membuat tradisi, adat istiadat, dan agama terkejut, dan memang Machiavelli ingin membuat kejutan. Orisinalitas ilmiah dan obyektifnya adalah ciri khas filsafat politiknya, karena memang didasarkan pada pengalaman pribadinya yang melihat langsung bagaimana cara mencapai tujuan terlepas dari tujuannya.

Bahwa banyak fitnah konvensional yang disematkan pada nama besarnya, itu karena kemarahan orang-orang hipokrit yang benci untuk berkata jujur tentang perbuatan jahat yang dilakukannya. Hipokrik karena menolak jujur mengakui apa yang dilihat langsung Machiavelli bahwa ada dua cara politisi meraih dan mempertahankan kekuasaan, yakni cara manusia melalui hukum dan moralitas, dan cara binatang lewat kombinasi antara kekejaman-kekuatan dan kelicikan-penipuan. Pada cara kedua tampak suatu kombinasi sempurna antara kekuatan binatang pemangsa ganas: Harimau, dan binatang penyelinap yang licin: Rubah.

Namun lanjut Machiavelli, terhadap kedua cara itu, cara pertama cenderung ditinggalkan oleh para petualang kekuasaan yang anti moralitas. Sebab, kekalahan akan menjemputnya bila ia hanya memilih cara pertama. Agar kekuasaan tetap pasti di tangannnya, maka ia harus kombinasikan keduanya, yaitu hukum, kekuatan, dan kelicikan sambil membuang moralitas.

Salam,

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K