NGAWI – Gelombang kemarahan warga Desa Tirak, Kecamatan Kwadungan, Kabupaten Ngawi, kian menggelegak. Proses seleksi perangkat desa yang seharusnya menjadi ajang integritas dan transparansi justru berubah menjadi panggung kecurangan yang memalukan.
Pemicunya bukan hal sepele — Rizky Sepahadin, putra Kepala Desa Tirak, Suprapto, dilaporkan berstatus bebas bersyarat dalam kasus narkoba hingga Desember 2026, namun tetap diloloskan sebagai calon perangkat desa dan bahkan mendapat nilai tertinggi, rata-rata 90, untuk posisi Sekretaris Desa (Sekdes).
Kasus ini kini membentang menjadi drama hukum dan moralitas di tingkat akar rumput, memperlihatkan bagaimana sistem seleksi perangkat desa di Ngawi bisa diretas oleh kepentingan keluarga dan pembiaran pejabat setempat.
Status Hukum Belum Kedaluwarsa: Masih Terpidana Aktif
Data yang dihimpun dari lembaga masyarakat menunjukkan bahwa Rizky Sepahadin belum menyelesaikan masa pidananya sepenuhnya. Ia memang sudah keluar dari lembaga pemasyarakatan, tetapi masih menjalani pembebasan bersyarat, sebuah status hukum yang jelas disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai masa pengawasan pidana.
Menurut Zainal, perwakilan Lembaga Perlindungan Konsumen Yayasan Amanat Perjuangan Rakyat (LPK–YAPERMA) Jawa Timur, fakta ini sudah cukup menjadi alasan mutlak untuk menggugurkan pencalonannya.
“Ini bukan soal moral pribadi, tapi soal status hukum yang belum selesai. Bebas bersyarat artinya masih terpidana yang menjalani sisa hukuman di luar penjara. Bagaimana mungkin seseorang yang secara hukum masih menjalani pidana bisa diloloskan menjadi Sekdes? Ini pelanggaran fatal,” tegas Zainal dalam keterangannya kepada media.
Nilai 90 yang Mencurigakan
Yang lebih mencengangkan, Rizky memperoleh nilai tertinggi dalam ujian tulis — rata-rata 90 poin. Nilai fantastis itu menimbulkan kecurigaan publik, apalagi diketahui bahwa ia adalah anak kandung Kepala Desa.
“Publik menduga kuat ada kolusi dan rekayasa nilai untuk memastikan kursi Sekdes tetap dalam genggaman keluarga Kades,” ungkap salah satu tokoh masyarakat setempat yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Panitia penjaringan pun disorot tajam. Mereka dianggap gagal menjalankan tugas verifikasi administratif dengan benar — atau lebih buruk, sengaja menutup mata terhadap status hukum Rizky demi menjaga “dinasti kekuasaan” di tingkat desa.
Camat Bungkam, Dugaan Pembiaran Menguat
Kecurigaan publik tak berhenti di level desa. Camat Kwadungan, Didik Hartanto, dinilai sebagai pihak yang membiarkan pelanggaran ini terjadi. Sikap bungkamnya terhadap berbagai permintaan klarifikasi dari masyarakat dan media justru memperkuat dugaan bahwa ada koordinasi diam-diam antara panitia, kepala desa, dan pihak kecamatan.
“Camat itu punya peran penting dalam mengawasi proses seleksi perangkat desa. Kalau sampai terpidana aktif bisa lolos, maka pembiaran itu pasti sistematis,” ujar Zainal.
Sikap “raja bungkam” Camat Didik disebut sebagai bentuk pembiaran struktural yang bisa menodai kredibilitas pemerintahan kecamatan.
Hukum Diinjak, Dinasti Dilegalkan
Skandal Desa Tirak kini menjadi cermin suram matinya pengawasan hukum di Ngawi. Pasal 5 huruf f Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 jo. Permendagri 67 Tahun 2017 dengan tegas menyebutkan bahwa calon perangkat desa tidak boleh berstatus sebagai terpidana atau pernah dipidana penjara dengan hukuman 5 tahun atau lebih, kecuali telah lewat lima tahun setelah selesai menjalani pidana dan diumumkan secara terbuka.
Dalam kasus Rizky Sepahadin, status hukum belum selesai, karena ia baru akan lepas sepenuhnya dari pembebasan bersyarat pada Desember 2026. Dengan demikian, seluruh tahapan seleksinya secara hukum cacat total.
“Panitia dan Kades seolah menukar hukum dengan kepentingan keluarga. Ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga pelanggaran hukum administratif yang serius,” tegas LPK–YAPERMA.
Desakan Masyarakat dan Tuntutan ke Bupati
Warga Desa Tirak kini bersatu menyuarakan penolakan. Mereka menuntut Bupati Ngawi untuk:
1.Membatalkan seluruh hasil seleksi calon perangkat desa yang melibatkan Rizky Sepahadin.
2.Menindak panitia penjaringan yang meloloskan terpidana aktif.
3.Menginvestigasi dugaan kolusi dan manipulasi nilai di tingkat desa dan kecamatan.
4.Mencopot Camat Kwadungan Didik atas dugaan pembiaran dan penyalahgunaan kewenangan.
Jika Bupati tidak mengambil langkah tegas, warga khawatir pesan berbahaya akan tertanam di masyarakat: bahwa di Ngawi, hukum bisa dibengkokkan asal punya koneksi dan darah pejabat desa.
Narko–Demokrasi dan Kematian Integritas
Kasus ini bukan sekadar soal jabatan Sekdes, tapi tentang kematian integritas pemerintahan desa. Ketika seorang mantan napi kasus narkoba yang masih berstatus terpidana bisa duduk di kursi Sekdes dengan nilai sempurna, maka demokrasi desa telah berubah menjadi “narko–demokrasi” — sistem yang mengorbankan hukum demi kekuasaan keluarga.
“Kalau Bupati diam, maka ia turut melegitimasi pembusukan ini. Ngawi akan tercatat sebagai daerah yang menyerah pada dinasti, kolusi, dan hukum rimba,” tutup Zainal.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pejabat “P” dan “R” di Tengah Polemik Proyek Whoosh: Aroma Korupsi Besar di Balik Pemilihan China

Miss Invoicing 1.000 Triliun di Era Jokowi: Negara Rugi Lebih 100 Triliun Pajak Tak Masuk Kas

Setelah Penantian Panjang, Timor-Leste Resmi Anggota Penuh ke-11 ASEAN

Selidiki Kasus Korupsi Ekspor POME, Kejagung Geledah Kantor Bea Cukai

Kejagung Periksa Nicke Widyawati dan Anak Buah Riza Chalid dalam Kasus Tata Kelola Minyak Mentah

Ridwan Hisyam: Soeharto Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Dr. Anton Permana: “Soliditas TNI Masih Terjaga, Konflik Internal Itu Wajar Tapi Tak Mengancam”

Lebih Mudah Masuk Surga Daripada Masuk ASEAN

Zohran Mamdani adalah Pahlawan Kita

Soeharto, Satu-satunya Jenderal TNI Yang 8 Kali Jadi Panglima





No Responses