Oleh: Budi Puryanto, Jurnalis
Bukhara, Kota lautan ilmu
Dr Muhammad Najib dalam bukunya “Mengapa Umat Islam Tertinggal”, mengatakan banyak kota yag saat ini nyaris terlupakan, padahal dahulu menjadi kota yang menyumbangkan peradaban Islam. Diantaranya adalah Bukhara, yang pada saat ini masuk wilayah Uzbekistan.
“Di kota inilah Muhammad bin Ismail al-Bukhara (Imam Bukhari) ahli hadits yang yang lahir dan besar di Bkhara mengabdi dan menetap sampai akhir hayatnya. Makamnya dapat diziarahi sampai saat ini,” kata Dr Muhammad Najib.
Kota Bukhara, Uzbekistan, terpilih menjadi Ibu Kota Kebudayaan Islam 2020 bersama Kairo di Mesir dan Bamako di Mali. Keputusan ini diambil dalam konferensi kementerian di bidang kebudayaan kesembilan, yang pesertanya merupakan negara anggota Organization of Islamic Cooperation (OIC).
Bukhara merupakan kota yang terletak di sebelah tengah Republik Uzbekistan. Penduduknya berjumlah 247.000 jiwa (2005). Kota ini mengalami masa kejayaannya pada abad ke-9 M sampai abad ke-13 M sebagai pusat peradaban Islam dan perdagangan di Asia Tengah, di samping Samarkand.
Kota ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Pusat intelektual dunia Islam
Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang membawa dakwah. Pada akhir 672 M, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi’ bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukkan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu’awiyah, khalifah Bani Umayyah, memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukkan Bukhara.
Pasukan tentara Islam pertama menjejakkan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah pimpinan panglima perang Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.
Tepat pada 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.
Pedagang dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di Kota Bukhara pun berkembang bisnis pembuatan kain sutra, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.
Selain itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran bila kemudian nama Bukhara makin populer.
Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia Islam. Saat itu, di Kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya mendidik putra-putrinya dengan sistem home schooling atau sekolah di rumah.
BACA JUGA:
- Memahami Gagasan Dr Muhammad Najib: Renaissance of Islam (26)
- Memahami Gagasan Dr Muhammad Najib: Renaissance of Islam (27)
Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun. Setelah itu, anak-anak di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.
Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika, yurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Persia dan Uzbek.
Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.
Di masa keemasan Islam, kota ini, seperti layaknya Baghdad, adalah salah satu pusat intelektual di dunia Islam. Kota ini menghasilkan dua orang sosok terkemuka: Ibnu Sina, ahli kedokteran Muslim yang karyanya dijadikan sebagai rujukan di dunia medis dan Imam Bukhari, sosok yang dikenal sebagai pengumpul hadis Nabi Muhammad SAW.
Berbagai masjid dan sekolah agama berumur ratusan tahun di kota ini menjadi saksi bahwa pendidikan Islam pernah mencapai level yang tinggi di masa lalu. Kota ini sudah dihuni manusia sejak sebelum zaman Masehi.
Salah satu institusi awal yang didirikan penguasa Arab-Muslim di kota ini ialah masjid, yang kemudian berkembang menjadi sekolah-sekolah agama atau madrasah. Setelah sempat berada di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, kota ini diambil alih oleh dinasti beraliran Sunni asal Persia, Samaniyah, pada awal abad ke-9 M.
Bukhara dijadikan ibu kota Dinasti Samaniyah. Penduduknya beragam, mulai dari orang Arab, Persia, Turk hingga Yahudi. Perdagangan berkembang pesat dengan Bukhara mengekspor berbagai komoditas ke luar negeri, mulai dari lampu tembaga hingga kulit domba.
Secara fisik, arsitektur dan tata kota di Bukhara juga mengalami perkembangan. Kota Bukhara tergolong besar untuk zamannya.
Kanal air dibangun untuk menyuplai kebutuhan air warga kota dan penghuni istana. Keindahan arsitektur kota Bukhara di Abad Pertengahan membuatnya dijuluki sebagai “Kubah Islam di Timur”. Sebagian di antara bangunan ini masih eksis hingga kini—oleh UNESCO diakui sebagai Situs Warisan Dunia—dan dijadikan sebagai tujuan wisata serta obyek penelitian arkeologis.
Di tengah denyut perkembangan tersebut Bukhara mulai menunjukkan kontribusinya pada ilmu pengetahuan. Perpustakaan istana di kota ini menyimpan banyak koleksi buku berharga yang dimanfaatkan oleh para ilmuwan setempat.
Ada tiga sosok ilmuwan yang dilahirkan oleh dunia intelektual di kota ini. Pertama, ahli kedokteran Ibnu Sina (980-1037 M).
Ia menguasai berbagai macam cabang ilmu, mulai dari matematika, astronomi hingga teologi dan kedokteran. Di bidang yang disebut belakangan inilah ia paling dikenal.
Ia pernah mengobati penguasa Samaniyah saat para ahli medis lain tak mampu melakukannya. Sebagai hadiahnya, ia diberi penghargaan besar, termasuk akses terhadap perpustakaan istana yang menyimpan berbagai manuskrip langka.
Kedua, Imam Bukhari. Lahir pada tahun 810 M di Bukhara, Imam Bukhari kecil dikenal sebagai murid yang punya ingatan sangat kuat. Saat masih remaja ia naik haji ke Makkah, baik untuk menunaikan rukun Islam kelima maupun untuk menimba ilmu pada para ulama Hijaz.
Pencariannya akan ilmu hadis membawanya tidak hanya ke Makkah dan Madinah, tapi juga hingga ke Mesir dan Irak. Ia tak hanya mengumpulkan hadis, tapi membangun metode untuk menentukan terpercaya tidaknya suatu hadis. Ia membutuhkan waktu hingga 16 tahun untuk mengumpulkan 600 ribu hadis yang kemudian ia seleksi dan ia kompilasikan dalam karya monumentalnya, Sahih.
Ketiga, sejarawan asal Desa Narshak, Bukhara, yang bernama Abu Bakr Narshaki (899-959 M). Karyanya yang paling terkenal adalah Tarikh-i Bukhara (Sejarah Bukhara), sebuah buku yang ditulis sebagai hadiah bagi penguasa Samaniyah. Buku ini memperlakukan sejarah kota itu dengan berbeda.
Bila sejarah kota di masa itu umumnya hanya mengisahkan soal tokoh-tokoh agama terkemuka di kota itu, Narshaki memberi lebih banyak perhatian pada topografi kota itu, komposisi penduduknya, bagaimana kota itu tumbuh dan posisi Islam di sana.
Bukunya ini menjadi referensi pokok para sejarawan sesudahnya, bahkan hingga kini, dalam memahami bentang alam, masyarakat, institusi sosial-politik serta bangunan publik di Bukhara pada masa silam..
Pada 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota serta membakar madrasah, masjid, dan bangunan penting lainnya.
Jengiz Khan meluluhlantakkan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata ‘ka an lam tagna bi al-amsi’ (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuannya terpancar dari Bukhara pun meredup.
Bersambung ke halaman berikutnya
Related Posts
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
nude modelsNovember 20, 2024 at 2:39 am
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/memahami-gagasan-dr-muhammad-najib-renaissance-islam-28/ […]
rca77November 22, 2024 at 8:29 pm
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/memahami-gagasan-dr-muhammad-najib-renaissance-islam-28/ […]