Membangun Kemandirian Pangan

Membangun Kemandirian Pangan
Daniel Muhammad Rosyid

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@RCAgroTren Wonosalam

Sasaran kemandirian pangan lebih ambisius dari ketahanan pangan karena mengandaikan kemampuan domestik untuk memproduksi pangan. Salah satu komponen sistem kemandirian pangan yg berkelanjutan adalah sumberdaya manusia yang cakap mengolah potensi-potensi agro-maritim menjadi besaran-besaran nilai tambah pangan. Sejak Orde Baru, kita mengalami devolusi sektor agro-maritim karena daya tariknya yang menurun terus bagi generasi muda karena NTN/NTP yang mengalami stagnasi jika bukan penurunan dari tahun ke tahun.

Devolusi sektor agro-maritim itu juga telah menyebabkan urbanisasi besar-besaran sejak 1970an, sehingga petani-petani dan nelayan-nelayan kita makin tua, sementara generasi muda kawasan pedesaan lebih memilih bekerja di pabrik-pabrik di kawasan-kawasan industri di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Perkembangan aglomerasi Jabodetabek membuktikan perkembangan ini, sementara kapasitas produksi pangan nasional kita justru semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Salah satu faktor penting yang mendorong brain-draining kawasan agro-maritim pedesaan ke kota-kota besar ini adalah persekolahan massal di seluruh Indonesia pada akhir 1960an segera setelah Orde Baru membuka keran investasi asing masuk ke Indonesia. Persekolahan massal ini dirancang sebagai instrumen teknokratik untuk menyiapkan buruh yg cukup trampil untuk bekerja di pabrik-pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi investor asing ini. Persekolahan massal tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sekalipun dengan kebijakan SD Inpres yg TSM ini tingkat buta huruf kita menurun, namun kinerja pendidikan kita tetap saja gagal menyediakan tenaga kerja yg cukup memiliki kompetensi-kompetensi yang lebih tinggi yang dibutuhkan oleh sektor kreatif dan hilirisasi. Pendekatan persekolahan terbukti mahal sekali. Kita bahkan terjebak penyakit Belanda menjadi negara berpenghasilan menengah yg sangat tergantung pada sektor ekstraktif bernilai tambah kecil, sekaligus merusak lingkungan. Mesin penghasil SDM yg disebut persekolahan massal paksa ini harus di- overhaul, apalagi dengan kehadiran internet.

Sisdiknas yang bertulangpunggung persekolahan ini akan segera outdated. Sekolah harus segera direposisi perannya dalam Sisdiknas agar tidak terlalu memonopoli pendidikan. Yang kita butuhkan saat ini adalah kesempatan belajar yang lebih luas, lebih peka terhadap kebutuhan personal, dan spasial yg berbeda beda di seluruh Indonesia. Dibutuhkan desentralisasi hingga tingkat lokal yaitu keluarga, masyarakat desa, dan sekolah atau pesantren. Birokrasi dan formalisme persekolahan tidak lagi sesuai dengan tuntutan belajar di era internet ini. Yang dibutuhkan di tingkat kecamatan adalah sebuah jejaring belajar yang lentur, luwes, dan lego yang lebih mengutamakan relevansi, bukan mutu.

Di sinilah kemandirian pangan harus mulai dibangun : menyiapkan generasi muda yang cakap, sehat dan produktif di usia 18 tahun yg siap menggarap potensi2 agro-maritim yang melimpah. Tidak semua anak Indonesia harus kuliah untuk meraih masa depan. Pendidikan tinggi bukan kelanjutan pendidikan menengah yg bersifat universal, untuk semua. Pendidikan tinggi lebih fokus pada knowledge creation and innovation yg kemudian diterapkan di sektor-sektor agro-maritim ini untuk menambah nilainya.

Wonosalam, Jombang. 600 mdpl. 02/01/2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K