Mengenal Khalid bin Walid (592 – 642 M) Jenderal Yang Tidak Pernah Kalah Dalam 100 Perang

Mengenal Khalid bin Walid (592 – 642 M) Jenderal Yang Tidak Pernah Kalah Dalam 100 Perang
malangtimes.times.com lukisan Ilustrasi perang Uhud. Posisi kaum muslim di celah lembah yang menyempit di depan bukit.

JAKARTA – Khalid bin Walid dijuluki sebagai Saifullah al-Maslul — Pedang Allah yang Terhunus Asal: Suku Quraisy, Makkah Gelar: Panglima Perang Islam terhebat, tak pernah kalah dalam lebih dari 100 pertempuran.

Asal dan Masa Muda

Khalid lahir dari keluarga bangsawan Quraisy yang kaya dan berpengaruh. Ayahnya, al-Walid bin al-Mughirah, adalah pemimpin berwibawa di Makkah, sementara ibunya dari keluarga terpandang.

Sejak muda Khalid sudah terkenal kuat, tinggi, gagah, ahli menunggang kuda dan menggunakan senjata. Ia tumbuh di masa ketika Arab hidup dari perang dan kebanggaan kesukuan — dan ia menjadi salah satu ksatria terlatih terbaik di jazirah itu.

Musuh Islam Sebelum Jadi Pembela Islam

Pada awalnya, Khalid adalah musuh Islam. Dia memimpin pasukan Quraisy dalam Perang Uhud (625 M). Di sinilah kelihaian taktiknya muncul: ia menemukan celah di barisan belakang pasukan Muslim ketika para pemanah di Bukit Uhud meninggalkan pos mereka untuk mengumpulkan rampasan perang.

Serangan balik kilat Khalid mengubah kemenangan awal umat Islam menjadi kekalahan berat. Banyak sahabat gugur, bahkan Nabi Muhammad ﷺ sempat terluka.

Ironisnya, strategi yang dulu melukai umat Islam, kelak ia gunakan untuk melindungi mereka setelah masuk Islam.

Masuk Islam

Beberapa tahun setelah Perang Uhud, Khalid mulai menyadari bahwa Islam bukan sekadar gerakan suku, tapi kebenaran besar.
Ia menyaksikan Perjanjian Hudaibiyah, dan hatinya bergetar melihat keteguhan Nabi Muhammad ﷺ.

Suatu malam, ia berkata pada dirinya sendiri:

“Demi Allah, Muhammad pasti akan menjadi pemenang. Mengapa aku menentangnya?”

Lalu ia berangkat ke Madinah bersama Amr bin Ash dan Utsman bin Thalhah.
Ketika tiba, Rasulullah ﷺ menyambutnya dengan senyum lembut dan berkata:

“Aku tahu, wahai Khalid, bahwa Allah akan membimbingmu kepada kebaikan.”
Kemudian beliau menjulukinya Saifullah — Pedang Allah yang Terhunus.

Perang Mut’ah — Lahirnya “Pedang Allah”

Tahun 629 M, pasukan Muslim berjumlah hanya 3.000 orang berhadapan dengan lebih dari 200.000 pasukan Bizantium dan sekutunya di Mut’ah (wilayah Yordania).

Tiga panglima gugur berturut-turut: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.
Khalid segera mengambil alih komando.

Dengan kecerdikan luar biasa, ia mengatur ulang barisan pasukan, membuat musuh menyangka bala bantuan besar telah datang.

Ia melakukan manuver mundur teratur — tak dianggap kalah, tak dianggap menyerah.

Ketika kembali ke Madinah, Nabi ﷺ berkata:

“Khalid adalah Pedang Allah yang terhunus di tangan-Nya.”

Penaklukan Arab dan Persia

Di masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalid memimpin pasukan Islam menaklukkan suku-suku murtad dalam Perang Riddah, lalu melanjutkan ekspedisi ke luar Jazirah Arab:

Perang Yamamah (632 M)

Melawan pasukan Musailamah al-Kadzdzab (nabi palsu).
Pertempuran sangat sengit — lebih dari 70 penghafal Al-Qur’an gugur.
Namun Khalid memimpin serangan akhir yang menewaskan Musailamah, menegakkan kembali wibawa Islam.

Perang Persia (633 M)

Khalid memimpin pasukan ke Irak dan mengalahkan kekaisaran Persia dalam serangkaian pertempuran di al-Hirah, Ullais, dan Walaja.

Ia memperkenalkan taktik manuver ganda dan serangan cepat yang kemudian dipelajari akademi militer modern.

Kampanye Syam (634–636 M)

Dari Irak, Khalid diperintahkan menuju Syam (Suriah) membantu pasukan Muslim melawan Bizantium.

Perjalanan legendarisnya disebut “March of Death” — 1.000 km melintasi gurun gersang dalam 18 hari, tanpa kehilangan satu pun pasukan.

Dalam pertempuran Yarmuk (636 M), Khalid mengalahkan pasukan Bizantium yang jauh lebih besar — pertempuran yang mengubah sejarah Timur Tengah selamanya.

Dicopot, Tapi Tetap Patuh

Meski tak terkalahkan, Khalid akhirnya dicopot dari jabatan panglima oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Alasannya bukan karena kesalahan, tapi karena Umar khawatir umat terlalu mengagungkan sosok Khalid hingga melupakan bahwa kemenangan datang dari Allah.

Khalid menerimanya tanpa protes. Ia berkata:

“Aku berperang bukan demi Umar, tapi demi Allah.”

Akhir Kehidupan

Ia wafat bukan di medan perang, tapi di ranjangnya di Hims (Suriah).
Saat menjelang wafat, ia menangis dan berkata:

“Aku telah mengikuti seratus pertempuran. Tak satu pun luka di tubuhku ini yang bukan bekas pedang, tombak, atau panah.

Tapi lihatlah aku, mati di atas ranjangku seperti seekor unta tua. Semoga mata pengecut tak pernah tidur.”

Dikuburkan dengan baju zirah dan pedangnya, simbol hidupnya sebagai Saifullah — pedang Allah yang tak pernah patah.

Warisan dan Inspirasi

Tidak pernah kalah dalam peperangan.

Disiplin, jenius taktik, dan sangat setia pada amanah.

Bukti bahwa Islam bisa mengubah musuh paling keras menjadi pembela paling mulia.

Dianggap sebagai panglima terbesar sepanjang sejarah Islam, sejajar dengan Alexander, Hannibal, dan Napoleon dalam studi militer dunia.

Kalimat penutup dari sejarahnya sering dikutip:

“Jika Abu Bakar adalah iman yang menenangkan, Umar adalah keadilan yang tegas, maka Khalid adalah pedang yang menegakkan keduanya.”

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K