Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Setelah terkuaknya dugaan praktik blending ilegal BBM jenis Pertalite di Terminal Pertamina Patra Niaga (PPN), Merak, kini publik bertanya: siapa aktor utama di balik skema curang ini? Siapa yang mendapatkan keuntungan, dan bagaimana jaringan ini bisa berjalan begitu rapi tanpa tersentuh hukum selama bertahun-tahun?
Menurut analisis para pengamat energi dan investigasi terbatas yang dilakukan lembaga seperti CERI (Center of Energy and Resources Indonesia), skema blending ilegal tidak mungkin berjalan tanpa keterlibatan sejumlah pihak kunci. Setidaknya ada tiga elemen penting dalam struktur mafia BBM ini: elite korporasi, pengendali logistik terminal, dan oknum pengawas/regulator.
1. Elite Korporasi dan Pemilik Modal
Nama Riza Chalid, sosok yang dikenal luas sebagai “Raja Minyak” di belakang layar, kembali disebut dalam sejumlah dugaan keterlibatan. Riza diduga memiliki pengaruh besar dalam penentuan kontrak penyimpanan BBM dan kontrol rantai distribusi, termasuk di Terminal Merak, yakni PT Orbit Terminal Merak (OTM).
PT Orbit Terminal Merak (OTM) terkait langsung dengan Riza Chalid. Berdasarkan penetapan dari Kejaksaan Agung pada bulan Juli 2025, Riza Chalid diidentifikasi sebagai beneficial owner atau pemilik manfaat dari PT Orbit Terminal Merak. Artinya, meskipun perusahaan dijalankan sehari-hari oleh anaknya (Muhammad Kerry Andrianto Riza), Riza Chalid tetap dianggap sebagai pihak yang memiliki kendali dan menikmati manfaat dari perusahaan ini. Riza Chalid dan anaknya kini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi tata niaga minyak di Pertamina yang merugikan negara ratusan triliyun rupiah.

Depo minyak PT Orbit Terminal Merak (OTM) milik Muhammad Kerry Andrianto Riza ( anak Riza Khalid) disita Kejaksaan Agung
Selain itu, Mahkamah Agung telah menyita aset-aset berupa kilang dan terminal milik PT Orbit Terminal Merak atas nama anaknya pada bulan Juni 2025, dalam rangka penyidikan kasus korupsi yang melibatkan tata kelola Pertamina periode 2018–2023.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa PT Orbit Terminal Merak memang berada di bawah kendali atau manfaat akhir dari Riza Chalid sebagai pemilik manfaat, meskipun pengelolaannya dilakukan oleh anaknya.
Meski sudah lama tak muncul di hadapan publik sejak skandal “Papa Minta Saham”, jejaring bisnisnya diyakini masih aktif mengatur permainan BBM bersubsidi melalui perusahaan-perusahaan proxy dan kolaborator lama di internal Pertamina.
Selain Riza, beberapa nama pengusaha energi lain yang memiliki hubungan bisnis dengan anak usaha Pertamina juga disebut-sebut menikmati keuntungan dari selisih harga blending. Mereka membeli komponen BBM murah, mencampurkannya di luar prosedur kilang, lalu menjualnya sebagai Pertalite bersubsidi dengan harga kompensasi penuh dari negara.
2. Oknum di Internal Pertamina dan Patra Niaga
Praktik blending tidak bisa terjadi tanpa persetujuan atau minimal pembiaran dari manajemen di lapangan. Terminal BBM Patra Niaga di Merak adalah area terbatas dengan sistem pengawasan internal. Namun, menurut sumber internal yang tidak ingin disebutkan namanya, praktik ini sudah berlangsung lama dan melibatkan manipulasi dokumen teknis serta pemalsuan laporan spesifikasi produk.
Petugas laboratorium diduga diminta meloloskan sampel BBM yang sebenarnya tidak sesuai standar RON 90 (standar untuk Pertalite)
Lebih dari itu, diduga ada kesengajaan mengatur jadwal blending dan distribusi untuk menghindari inspeksi mendadak dari BPH Migas maupun auditor independen. Dalam praktiknya, blending dilakukan secara diam-diam saat volume BBM tiba di terminal dari pelabuhan atau kapal pengangkut.
3. Lemahnya Pengawasan Regulator dan Aparat
Skandal ini juga menyoroti kebisuan regulator. Baik Kementerian ESDM, BPH Migas, maupun pihak BPK sebagai auditor negara belum mengungkap penyimpangan ini secara terbuka. Padahal, dana kompensasi BBM jenis Pertalite sudah mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Jika separuh dari produk yang disubsidi ternyata hasil blending ilegal, maka potensi kerugian negara bisa mencapai lebih dari Rp 100 triliun dalam lima tahun terakhir.
Kuat dugaan, ada pembiaran sistemik karena sebagian pejabat pengawas mendapatkan “jatah” atau aliran keuntungan dari operasi ini. Bahkan, menurut Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI (Center of Energy and Resources Indonesia), pengawas BBM dari luar seperti Badan Usaha Penyalur dan Komite Pengawas Independen pun cenderung tidak diberi akses penuh untuk mengecek kualitas BBM yang didistribusikan ke SPBU.
Blending ilegal Pertalite bukan hanya kejahatan ekonomi, tapi pengkhianatan terhadap rakyat. Saat negara mengalokasikan triliunan rupiah untuk meringankan beban masyarakat, justru ada segelintir elite yang memperkaya diri lewat praktik manipulatif dan melanggar hukum. Kini, rakyat menunggu: apakah Presiden, Menteri BUMN, dan aparat penegak hukum berani membongkar jaringan ini hingga tuntas?
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga artikel terkait:
Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (2): Blending Ilegal Pertalite di Terminal Merak
Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (1): Riza Chalid Akali Kontrak Terminal Merak
Related Posts
Kepala Desa Tirak, Suprapto, Membisu Soal Status Anaknya Yang Diduga Pembebasan Bersyarat (PB) Kasus Narkoba, Lolos Seleksi Calon Perangkat Desa
Jerat Jalur Merah: Ketika Bea Cukai Jadi Diktator Ekonomi
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Mahfud MD Guncang Kemenkeu: Bongkar Skandal 3,5 Ton Emas dan TPPU Rp189 Triliun di Bea Cukai!
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Skandal Tirak: Dinasti Narkoba di Balik Kursi Perangkat Desa Ngawi
Studi iklim menunjukkan dunia yang terlalu panas akan menambah 57 hari superpanas dalam setahun
Pendulum Atau Bandul Oligarki Mulai Bergoyang
“Perang” terhadap mafia dan penunjukan strategis: Analisis Selamat Ginting
20 Oktober: Hari yang Mengubah Lintasan Sejarah Indonesia dan Dunia
No Responses