B. Analisis pertanyaan pertama:
“Jika Bung Karno sebagai pencetus Pancasila ialah juga perasan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, apakah Pancasila dimungkinkan mengandung komunisme?“
Hal ini harus dirunut lebih dahulu sejarah perumusan Pancasila. Penggagas Dasar Negara bukan hanya Ir. Soekarno meskipun juga diakui bahwa pencetus istilah Pancasila adalah Soekarno.
Revolusi Perancis akhirnya melahirkan yang oleh Ian Dallas disebut “technical state”. Dunia dibuat menjadi ‘technical state’. Seantero dunia memiliki teknik dan sistem yang sama. Uang yang sama: kertas. Hukum yang sama: rechtstaat. Dan hanya ada dua mahdzab: civil law dan common law. Politik yang sama: demokrasi.
Technical state inilah yang kemudian disebut sebagai modern state. Untuk mengokohkan modern state dilahirkan teori baru, yang disebut ‘ideologi.’ Diambil dari kalimat Plato, ‘idea’ dan ‘logika’.
Idea, inilah yang disebut Plato sebagai sesuatu yang wajib diteorikan lebih dulu, hingga dianggap benar. Jadi, untuk menggapai ‘wujud’ (being), wajib melewati rasio manusia untuk melahirkan ‘idea’.
Pada abad 18 inilah bangsa dunia ini dikenalkan lagi ideologi yang merupakan anak kandung filsafat.
Ideologi ini menjadi mahdzab dalam memahami filsafat. Kita mengenal adanya ideologi Marxis, yang blue print-nya adalah Kitab Karl Marx. Kita juga mengenal Ideologi kapitalis, ideologi Lenin dan lainnya.
Ideologi, menjadi cabang-cabang filsafat, yang membuat orang terkotak-kotak untuk taqlid pada suatu cara berpikir teori tertentu.
Di Indonesia kita mengenal Tan Malaka menulis “Madilog’ tentu memperlebar dari ideologi Marxis, yang menjadi rujukannya. Tapi Marxisme bukan ideologi yang sukses untuk dilaksanakan. Karena tetap tak pernah berhasil membangun peradaban.
Tetap luluh dibantai ideologi kapitalisme, yang berjaya diusung oleh para bankir, menjadi sebuah sistem.
Jadi, makna dari ideologi, tentu bisa dipahami sebagai cabang dari filsafat, yang merujuk pada salah satu teori tentang azas.
Berdasar kajian filsafat, Irawan Santosa dalam artikel berjudul “Ideologi dan Filsafat (2020) meragukan posisi Pancasila sebagai ideologi. Betulkah Pancasila itu sebagai sebuah ideologi? Jika Pancasila disebut sebagai ideologi, tetapi kita juga harus jujur bahwa kita belum tahu rujukannya kemana. Pancasila tidak memiliki KITAB INDUK, BLUE PRINT.
Hal ini berbeda dengan teori Descartes, Bacon, Hegel, yang menjelaskan duduk jelasnya tentang sebuah ‘logika ide’. Oleh karena itu, memaksakan Pancasila sebagai ideologi yang kemudian menjadi hukum, itu suatu bentuk “bid’ah” pada filsafat.
Hal ini penting mengingat bahwa filsafat sendiri harus dapat dirunut dengan jelas, penggambaran teoretiknya, penggambaran idea-nya, hingga bagaimana aplikasinya.
Inilah yang tak dimiliki dalam “Pancasila”, jika ingin didudukkan sebagai sebuah ideologi. Terkecuali jika dahulu Soekarno, atau Muhammad Yamin, Soepomo atau para penyusun sila itu memberikan rumusan dan teoretik tentang apa yang dimaksud Pancasila, dan bagaimana rujukannya, sehingga dapat dipakai sebagai panduan dalam kehidupan bernegara Indonesia.
Sementara, hal itu tak ada. Kita hanya diberikan rumusan lima sila, yang masing-masing manusia memiliki tafsir dan penjabaran masing-masing.
Tentu ini akan menimbulkan kerancuan dalam cara berpikir, terlebih jika ingin dudukkan sebagai ideologi yang berlaku mengikat –dengan undang-undang—pula, misalnya menjadi UU Haluan Ideologi Pancasila (UU HIP).
Sebagai homo homini socius, manusia tidak dapat hidup sendiri dan memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa berhubungan dengan manusia yang lain. Mereka berinteraksi, berkumpul membentuk keluarga, masyarakat, bangsa hingga terbentuklah suatu negara. Manusia menegara.
Manusia menegara memiliki tujuan nasionalnya, bahkan tujuan internasional. Menurut J.J. Rosseau, bila ditinjau dari teori kontrak sosial, maka terbentuknya suatu negara bangsa tentu membutuhkan kesepakatan yang dalam negara demokrasi ditempuh dengan cara menjajagi volonte de tous (kehendak setiap orang) untuk menemukan volonte generale (kehendak semua orang).
Di sinilah kita menemukan adanya HUKUM. Bila didasarkan pada pendapat Paul Bohanan, maka hukum yang disepakati oleh warga negara bangsa itu merupakan reinstitusionalisasi (pelembagaan kembali) atas nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang telah ada atau hidup di dalam masyarakat. Nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat itu dapat berupa nilai hukum agama maupun nilai hukum kebiasaan.
Oleh karena suatu negara juga berhubungan dengan negara lain, maka nilai hukum juga meluas pada nilai hukum yang mondial, misalnya nilai hukum modern. Oleh karena itulah bahan untuk membangun hukum suatu negara bangsa dapat berupa bahan nilai hukum kebiasaan, nilai hukum agama dan nilai hukum internasional.
Indonesia sebagai negara bangsa oriental, tidak lepas dari pengaruh baik maupun buruk atas perkembangan global. Namun, sangat disadari bahwa Indonesia memiliki dasar pengembangan negara bangsa untuk mencapai cita-cita atau tujuan nasionalnya. Dasar itu tidak lain adalah Pancasila.
Bila kita simak secara seksama, maka ketiga nilai hukum di muka sebenarnya telah terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai ketuhanan–dikatakan sebagai dasar dari segala sila, nilai hukum kebiasaan (persatuan, demokrasi, kesejahteraan) serta nilai hukum internasional (kemanusiaan, HAM).
Ketiga nilai hukum tersebut kemudian mengejawantah menjadi kesepakatan membentuk NEGARA BERDASAR HUKUM (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945). Macam apa negara hukum yang hendak kita bangun itu? Negara hukum yang hendak dibangun itu adalah negara hukum yang berdasarkan atas KETUHANAN YANG MAHA ESA. Lebih konkret lagi negara hukum itu adalah NEGARA HUKUM TRANSENDENTAL.
Sebagai negara hukum transendental, menurut Thomas Aquinas maka hukum yang direproduksi kembali melalui lembaga-lembaga supra dan infrastruktur negara (HUMAN LAW) seharusnya dijiwai nilai ketuhanan baik nilai hukum ketuhanan yang tertulis di KITAB SUCI (scripture), maupun nilai hukum ketuhanan yang melekat pada alam (HUKUM ALAM/NATURAL LAW).
Sampai di sinilah secara logika sederhanapun kita bisa memahami dan menerima secara nalar bahwa KITAB SUCI itu berada di atas konstitusi, yang berarti dapat menjadi sumber rujukan penyusunan KONSTITUSI sebagaimana telah disebutkan di muka.
Bila penalaran ini kemudian kita tarik garis lurus, maka logikanya seharusnya disadari bahwa KONSTITUSI tidak boleh bertentangan dengan KITAB SUCI.
Dengan penalaran ini, dan bagaimana sikap komunisme terhadap agama yang menempatkan agama sebagai racun—bahkan Ketua BPIP sempat menyatakan bahwa Agama adalah musuh terbesar Pancasila—, jelas tidak mungkin jika Pancasila diperbolehkan mengandung ideologi komunisme, kecuali Pancasila yang dimaksud dapat diperas menjadi Trisila bahkan Ekasila (Gotong Royong) versi Soekarno.
Ideologi Gotong-royong (Ekasila) yang menjadi landasan negara yang pernah diusulkan oleh Soekarno ternyata adalah turunan dari ideologi Gotong-royong yang berporoskan Nasakom di kemudian hari, persis sebagaimana pernyataan tokoh PKI D.N. Aidit :
“Gotong rojong jang mendjadi perasan Pantja Sila adalah terang Gotong rojong berporoskan Nasakom..” (Buku “Revolusi, Angkatan Bersenjata & Partai Komunis (PKI dan AURI) II.”, D.N. Aidit, Menko/Wakil Ketua MPRS/Ketua CC. PKI, Jajasan “Pembaruan” Djakarta 1964).
Gotong-royong dalam perspektif ideologi kenegaraan (Ekasila) sebagai kristalisasi dari Pancasila akan menjadi ancaman negara.
Memanipulasi Gotong-royong sebagai intisari ideologi Pancasila akan dapat mereduksi, bahkan mengeliminasi ke-Bhineka Tunggal Ika-an, dan rawan terhadap otoritarianisme.
Berpeluang mengundang ketegangan-ketegangan yang dapat menimbulkan permasalahan persatuan dan kesatuan bangsa serta ketahanan nasional, berpotensi membentuk kepribadian bangsa tanpa jati diri dan menggerus keyakinan dan kehidupan umat beragama yang berdasarkan iman dan takwa yang menjadi dasar segala sila Pancasila.
Jadi, memasukkan komunisme ke dalam Pancasila ibarat meneteskan nila setitik ke sebelanga susu. Nila setitik rusaklah susu sebelanga. Rusak dan tercemarlah Pancasila jika dimasuki ideologi komunisme.
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
รีวิวเกมของค่ายสล็อตชั้นนำ Play’n GONovember 9, 2024 at 2:32 pm
… [Trackback]
[…] Read More here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/menjawab-keraguan-arvindo-noviar-ketum-partai-rakyat-atas-komunisme-sebagai-bahaya-laten/ […]
แทงบอล ราคาพูล 1×2November 22, 2024 at 5:23 pm
… [Trackback]
[…] Read More Info here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/menjawab-keraguan-arvindo-noviar-ketum-partai-rakyat-atas-komunisme-sebagai-bahaya-laten/ […]
herbal supplementsDecember 4, 2024 at 3:30 am
… [Trackback]
[…] Info to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/menjawab-keraguan-arvindo-noviar-ketum-partai-rakyat-atas-komunisme-sebagai-bahaya-laten/ […]
click here to readJanuary 4, 2025 at 3:49 pm
… [Trackback]
[…] Here you can find 18108 additional Information on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/menjawab-keraguan-arvindo-noviar-ketum-partai-rakyat-atas-komunisme-sebagai-bahaya-laten/ […]
Engineering TechniciansJanuary 24, 2025 at 8:25 pm
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/menjawab-keraguan-arvindo-noviar-ketum-partai-rakyat-atas-komunisme-sebagai-bahaya-laten/ […]
โคมโรงงานJanuary 31, 2025 at 8:17 am
… [Trackback]
[…] Find More here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/menjawab-keraguan-arvindo-noviar-ketum-partai-rakyat-atas-komunisme-sebagai-bahaya-laten/ […]