Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
Setiap kali pemilu atau pilpres digelar, para calon pemimpin sering kali memaparkan serangkaian janji manis untuk memikat hati rakyat. Namun, ketika mereka terpilih dan menduduki jabatan, banyak dari janji-janji tersebut yang terlupakan atau bahkan diabaikan begitu saja. Salah satu contoh yang terlihat jelas adalah janji-janji yang dilontarkan oleh para politisi dalam kampanye mereka, yang hanya menjadi retorika belaka tanpa implementasi nyata.
Pada masa pemerintahan Prabowo, misalnya, kita mendengar berbagai janji tentang kesejahteraan rakyat, pengurangan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup. Namun, kebijakan-kebijakan yang diambil justru lebih banyak meneruskan kebijakan rezim sebelumnya, seperti kenaikan PPN dan penggusuran tanah rakyat untuk proyek-proyek besar. Alih-alih merealisasikan janji-janji tersebut, yang terjadi malah kelanjutan dari kebijakan yang sudah ada, yang kerap kali merugikan masyarakat kecil.
Selain itu, banyak janji tentang pemberdayaan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan, dan pembangunan infrastruktur yang seharusnya menyentuh langsung kehidupan masyarakat, namun lebih banyak berfokus pada proyek besar yang lebih menguntungkan para pemodal dan korporasi. Janji untuk mengurangi kesenjangan sosial atau memberikan akses pendidikan yang lebih baik pun sering kali hanya sebatas ucapan tanpa tindakan nyata di lapangan.
Inilah fenomena yang kerap terjadi dalam politik: janji-janji yang hanya menjadi alat untuk meraih suara, sementara implementasinya terlupakan begitu saja setelah kekuasaan tercapai. Rakyat yang awalnya penuh harapan sering kali merasa kecewa, karena janji-janji tersebut hanya menjadi kenangan yang tak kunjung terwujud dalam bentuk perubahan nyata. Kecewa terhadap janji-janji yang terlupakan ini adalah salah satu bentuk ketidakpuasan yang terus berkembang dalam dinamika politik kita.
Di tengah kebijakan-kebijakan populis yang diluncurkannya, seperti kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) dan gaji guru, program makan siang bergizi gratis, serta berbagai pencitraan sebagai pemimpin yang peduli terhadap kesejahteraan rakyat, Prabowo Subianto sebenarnya lebih terlihat sebagai peniru dari kebijakan rezim sebelumnya. Berbuat seolah – olah peduli, sebagaimana rezim Jokowi, namun sejatinya kebijakan itu akan diiukuti upaya bagaimana rakyat kan menjerit dengan kebijakan selanjutnya.
Kenaikan UMK dan gaji guru bisa dilihat sebagai upaya untuk meraih simpati rakyat, tetapi kebijakan tersebut hanya melanjutkan langkah yang sudah diambil oleh pemerintah sebelumnya, tanpa ada pembaruan atau solusi jangka panjang yang substantif. Hal yang sama juga pada makan bergizi gratis yang diperuntukkan bagi siswa sekolah, ternyata terjadi inkonsistensi janji, yang awalnya diberikan susu, namun karena beberapa persoalan implementasi, maka banyak narasi yang dilontarkan, misalkan diganti dengan susu ikan atau dengan daun kelor. Meski sejatinya program itu sangat bagus, tapi kini mulai terjadi inkonsistensi pernyataan.
Sayangnya kebijakan bagus ini terkadang dinodai dengan kebijakan yang kontroversi. Kebijakan seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, serta kelanjutan Proyek Infrastruktur Nasional (PIK) dan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang sejatinya merampas tanah rakyat untuk pembangunan proyek-proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan proyek Rempang, menunjukkan bahwa Prabowo tidak mengubah arah kebijakan yang sudah ada. Bahkan, dalam konteks Surabaya, proyek-proyek yang mengarah pada penggusuran dan peminggiran rakyat kecil semakin melanjutkan kebijakan yang merugikan mereka.
Tak hanya itu, Prabowo juga tidak terlepas dari kebijakan yang tidak toleran terhadap kritik. Pembredelan karya lukis Yos Suprapto oleh Mendikbud yang diduga dilakukan atas dorongan Wamendikbud Giring, semakin mempertegas sifat anti-kritik dalam kepemimpinan Prabowo. Tindakan ini mengingatkan kita pada era Orde Baru, ketika kebebasan berekspresi dibungkam dengan cara yang serupa. Di sini, Prabowo tampak lebih memilih menjadi pelaksana kebijakan yang mengedepankan kepentingan penguasa, daripada memimpin perubahan yang mengutamakan kesejahteraan dan kebebasan rakyat.
Kunjungan Prabowo ke Solo dan pertemuannya dengan Jokowi di Jakarta menjelang pilgub, memberi kesan bahwa Prabowo tak lebih sebagai penerus Jokowi, tiga periode, wajah boleh beda, namun kebijakan terlihat melanjutkan kebijakan Jokowi yang belum tuntas dia tunaikan. Penetapan Hasto sebagai tersangka kasus suap bersama Harun Masiku oleh KPK, serta pembiaran yang dilakukan oleh Prabowo untuk “menggangu PDIP dan Megawati”, ini memberi kesan, Prabowo menjadi kepanjangan kepentingan rezim Jokowi melampiaskan dendam politiknya, setelah pemecatan Jokowi sekeluarga dari PDIP.
Dengan kebijakan-kebijakan yang terkesan tidak substansial dan gaya kepemimpinan yang tidak berbeda dengan rezim sebelumnya, Prabowo lebih terlihat sebagai pelaksana dari sebuah agenda yang tidak membawa perubahan nyata bagi rakyat Indonesia. Apakah kita benar-benar memiliki pemimpin yang paham akan kebutuhan rakyat, atau hanya seorang pelaksana yang melanjutkan kebijakan yang merugikan sebagian besar warga negara?
Meski begitu, Prabowo juga telah berusaha menunjukkan dirinya sebagai seorang pemimpin, yang kebijakannya terlihat berbeda dengan kepentingan Jokowi. Misalkan pada kasus pilgub Jakarta, pada satu sisi sama kepentingannya, menggagalkan Anies maju pilgub, tapi disatu sisi ketika diduga ada intervensi untuk memenangkan jagonya, Ridwan Kamil – Suswono, Prabowo terkesan membiarkan, calon PDIP yang didukung oleh Anies , Pramono Anung – Rano Karno melenggang satu putaran, padahal Jokowi menghendaki dua putaran.
Sebagai Presiden yang belum genap 100 hari, kita menunggu akankah Prabowo tampil sebagai pemimpin atau tidak, dengan keberaniannya berbeda dengan kepentingan Jokowi, beberapa hal yang kini ditunggu masyarakat, beranikah Prabowo mengeluarkan Perpu untuk membatalkan kenaikan pajak 12 %, sebagai wujud keberpihakannya kepada masyarakat, terutama kelas menengah kebawah, menghentikan proyek – proyek nasional yang penuh kontroversi dan merugikan rakyat seperti yang akan terjadi di banten dengan PIK, Rempang dan Surabaya, membuka kembali kasus pelanggaran HAM KM 50, membongkar kembali peradilan Vina yangs sesat dan mengejar kembali siapa pembunuh sebenarnya serta menghentikan warisan kebijakan masa lalu yang merusak negeri yang ditinggalkan oleh Jokowi serta menangkap dan mengadili para bekcing judi online dan menghentikan para menterinya yang diduga terkena skandal korupsi. Kita tak ingin melihat macan asia itu menjadi kucing ompong yang disuapi oleh sang kancil cerdik nan licik.
Surabaya, 26 Desember 2024
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Skandal Tirak: Dinasti Narkoba di Balik Kursi Perangkat Desa Ngawi
Studi iklim menunjukkan dunia yang terlalu panas akan menambah 57 hari superpanas dalam setahun
Pendulum Atau Bandul Oligarki Mulai Bergoyang
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
“Perang” terhadap mafia dan penunjukan strategis: Analisis Selamat Ginting
20 Oktober: Hari yang Mengubah Lintasan Sejarah Indonesia dan Dunia
Vatikan: Percepatan perlombaan persenjataan global membahayakan perdamaian
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Hashim Ungkap Prabowo Mau Disogok Orang US$ 1 Miliar (16,5 Triliun), Siapa Pelakunya??
No Responses