Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
Penobatan mantan Presiden Jokowi sebagai tokoh paling korup nomor tiga di dunia oleh Organised Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) telah memantik dinamika politik baru di Indonesia. Tuduhan ini tak hanya memengaruhi reputasi Jokowi secara pribadi, tetapi juga menguji komitmen pemerintahan Prabowo Subianto terhadap pemberantasan korupsi. Situasi ini memaksa Prabowo untuk mengambil posisi yang jelas di tengah persimpangan antara menjaga relasi politik dengan Jokowi dan menjalankan janji-janji antikorupsinya.
Antara Retorika dan Realitas
Prabowo Subianto, dalam berbagai kesempatan, menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Salah satu pernyataan yang mencuri perhatian adalah ketika ia menyatakan kesiapan mengejar koruptor hingga ke Antartika. Pernyataan ini memberikan harapan besar kepada masyarakat bahwa di bawah kepemimpinannya, pemberantasan korupsi akan menjadi prioritas utama. Namun, janji tersebut kini diuji oleh kenyataan politik yang rumit.
Sebagai bagian dari koalisi besar yang melibatkan berbagai kepentingan politik, Prabowo menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan agenda antikorupsi dengan stabilitas politik. Apalagi, ia pernah menyatakan kesiapan memberikan pengampunan kepada koruptor asalkan mereka bersedia mengembalikan uang hasil kejahatan. Pernyataan ini menimbulkan kontroversi, memunculkan pertanyaan apakah kebijakan tersebut merupakan strategi politik untuk merangkul semua pihak, termasuk mantan pejabat yang diduga terlibat korupsi.
Sikap PDIP dan Relasi dengan Jokowi
Di sisi lain, PDIP melalui Ahmad Basarah telah menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan Prabowo. Dukungan ini menunjukkan bahwa Megawati dan PDIP berusaha memainkan peran strategis dalam menjaga hubungan baik dengan Prabowo sekaligus menjaga jarak dari kontroversi yang melibatkan Jokowi. Namun, pernyataan ini juga menyiratkan ketegangan internal, terutama jika Jokowi tetap dianggap sebagai beban politik bagi koalisi.
Ketegangan antara Jokowi dan PDIP tidak bisa diabaikan. Ketidakhadiran partai-partai koalisi, kecuali PSI, dalam membela Jokowi atas tuduhan OCCRP semakin memperjelas jarak politik tersebut. PSI yang habis-habisan membuat narasi pembelaan malah menjadi sorotan karena argumen yang lemah dan kurang kredibel. Sikap partai koalisi lainnya, yang memilih diam, mencerminkan dilema politik yang mereka hadapi di tengah eskalasi tuduhan ini.
Gibran dan Masa Depan Politiknya
Di tengah situasi ini, nasib Gibran Rakabuming Raka juga menjadi perhatian. Sebagai anak Jokowi, Gibran memiliki posisi politik yang unik sekaligus sulit. Di satu sisi, ia diharapkan menjadi simbol regenerasi politik, tetapi di sisi lain, tuduhan terhadap ayahnya bisa menjadi batu sandungan bagi karier politiknya. Prabowo harus berhitung dengan cermat jika ingin memberikan ruang kepada Gibran dalam pemerintahan, karena hal itu dapat memengaruhi persepsi publik terhadap komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.
Menepis Bayang-Bayang Jokowi
Prabowo juga harus berani menepis persepsi bahwa dirinya hanyalah bayang-bayang Jokowi. Publik mulai mempertanyakan sikap Prabowo yang seolah membiarkan Jokowi terus tampil dalam berbagai acara dengan fasilitas dan pengawalan negara, layaknya seorang presiden aktif. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah Prabowo hanya menjadi jelmaan Jokowi tiga periode, ataukah ia adalah pemimpin yang memiliki komitmen dan pendirian tegas?
Jika Prabowo tidak segera mengambil langkah untuk menunjukkan independensinya, maka hal ini berpotensi mengikis legitimasi kepemimpinannya. Ia harus memastikan bahwa pemerintahannya memiliki identitas dan arah yang jelas, bukan sekadar melanjutkan pola pemerintahan sebelumnya. Dengan menunjukkan sikap tegas terhadap penggunaan fasilitas negara oleh Jokowi, Prabowo dapat membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang berkomitmen pada reformasi dan pemberantasan korupsi, bukan sekadar pelanjut dinasti politik.
Menunggu Keberanian Prabowo
Kini, publik menunggu langkah konkret Prabowo dalam menghadapi situasi ini. Apakah ia akan berdiri tegak melawan korupsi tanpa pandang bulu, termasuk terhadap mantan pejabat seperti Jokowi? Ataukah ia akan mengambil jalan tengah demi menjaga stabilitas politik? Pilihan ini bukan hanya akan menentukan masa depan pemerintahannya, tetapi juga warisan politik yang akan ia tinggalkan.
Prabowo harus menyadari bahwa kepercayaan rakyat adalah fondasi utama keberhasilan sebuah pemerintahan. Jika ia gagal menunjukkan keberanian dan konsistensi dalam memberantas korupsi, janji-janji yang pernah ia ucapkan hanya akan menjadi retorika kosong. Sebaliknya, jika ia berani mengambil sikap tegas, termasuk dalam menghadapi tuduhan besar seperti yang dialamatkan kepada Jokowi, ia berpotensi menciptakan sejarah baru dalam politik Indonesia sebagai pemimpin yang berani melawan arus demi kebaikan bangsa.
Publik menunggu, dan sejarah akan mencatat langkah-langkah Prabowo dalam menghadapi tantangan ini. Jangan sampai publik sampai pada kesimpulan bahwa Prabowo hanyalah Macan gemoy yang tak lagi garang terhadap korupsi, bahkan justru menjadi mainan sirkus para koruptor.
Surabaya, 12 Januari 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts
Skandal Tirak: Dinasti Narkoba di Balik Kursi Perangkat Desa Ngawi
Studi iklim menunjukkan dunia yang terlalu panas akan menambah 57 hari superpanas dalam setahun
Pendulum Atau Bandul Oligarki Mulai Bergoyang
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
“Perang” terhadap mafia dan penunjukan strategis: Analisis Selamat Ginting
20 Oktober: Hari yang Mengubah Lintasan Sejarah Indonesia dan Dunia
Vatikan: Percepatan perlombaan persenjataan global membahayakan perdamaian
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Hashim Ungkap Prabowo Mau Disogok Orang US$ 1 Miliar (16,5 Triliun), Siapa Pelakunya??
Pembatasan ekspor Mineral Tanah Jarang Picu Ketegangan Baru China-AS
No Responses