Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Paling tidak ada 3 sikap di kalangan tokoh muslim dan ulama atas UUD 18/8/1945, yaitu :
1. Menyesalkan, dan kecewa pada perubahan Pembukaan yang menyebabkan 7 kata dalam dasar pertama negara Republik Indonesia, sehingga UUD ini dipandang tidak lagi memperjuangkan pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Menerimanya setelah diakomodasi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di mana Piagam Jakara digunakan dalam konsideran Dekrit tersebut. Sampai hari ini Dekrit tersebut tidak pernah dicabut.
3. Menerimanya, lalu berjuang untuk mewujudkannya dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui UU maupun amandemen dengan teknik addendum.
Sikap pertama telah menyebabkan sikap negatif sebagian ulama dan tokoh muslim atas peran ummat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu menyerahkan politik secara sadar atau tidak pada kelompok sekuler radikal, termasuk kelompok komunis gaya baru. Bahkan ada yang bersikap ekstrim dan radikal untuk memberontak dan makar pada pemerintah NKRI. Ini menjadi alasan yang efektif bagi pemerintah sekuler untuk terus menempatkan Islam, hampir seperti komunis, sebagai bahaya laten sehingga terjadi kriminalisasi atas tokoh-tokoh muslim. Ini terjadi pada 20 tahun pertama era Soeharto, dan diperkeras di era Jokowi yang menjalankan kebijakan pro-AS lalu pro-China, dengan memperalat POLRI sebagai alat kekuasaan.
Sikap pertama tokoh-tokoh muslim ini telah ditunggangi kelompok sekuler kiri dan liberal radikal untuk kemudian mengganti UUD 18/8/1945 menjadi UUD 10/8/2002 dengan kedok reformasi. Setelah 25 tahun eksperiman reformasi ini, mereka telah membesarkan ersatz capitalism era Soeharto menjadi full-fledged capitalism era Jokowi, korporatokrasi dan duitokrasi mbelgedhes. Prinsip-prinsip dasar yang disebut Pancasila telah dikubur di bawah kaki kelompok sekuler radikal ini, sambil menuding Islam sebagai musuh Pancasila, dan anti-NKRI.
Kita sebaiknya mengambil sikap ketiga, yaitu menerima UUD 18/8/1945 sebagai karya ulama lurus dan cendekiawan negarawan pendiri bangsa –pikiran-pikiran terbaik di zamannya — yang merumuskan UUD ini sebagai pernyataan perang melawan semua bentuk penjajahan, sekaligus sebagai strategi untuk memenangkan perang tersebut.
Perubahan atas UUD 18/8/1945 dapat dilakukan dengan teknik addendum untuk mendorong pelaksanaan syariat Islam dalam seluruh segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dorongan pelaksanaan syariat Islam itu juga dapat dilakukan melalui UU turunannya. UUD 18/8/1945 adalah syarat perlu, sedangkan syarat cukupnya adalah pelaksanaannya dalam politik bernegara.
Kita perlu membangun platform untuk meningkatkan selera, kesadaran, dan peran politik nyata ummat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berpolitik Islam adalah hak yang sah dan menjadi tanggungjawab ummat Islam untuk mengantarkan NKRI menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur بلدة طيبةورب غفور.
Kuala Lumpur, 25 Oktober 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Rocky Gerung: 3 Rim Karatan di Kabinet Prabowo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global

Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama

Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan

Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum

Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah



No Responses