Meraih Pertumbuhan Berkualitas Tanpa Kemaritiman ?

Meraih Pertumbuhan Berkualitas Tanpa Kemaritiman ?
Ilustrasi: Relief perahu di Candi Borobudhur, menggambarkan nusantara adalah bangsa pelaut besar

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Teknik Kelautan ITS

Menarik mencermati pandangan Menkeu Purbaya Sadewa yang menjanjikan pertumbuhan 6-7% per tahun. Tulisan pendek ini berusaha melengkapi argumen janji petumbuhan tersebut, sekaligus memastikan kualitasnya untuk sebuah negera kepulauan bercirikan Nusantara seluas Eropa ini. Paradigma keuangan pembangunan Menkeu Purbaya bisa dianggap sebagai perwujudan model Prabowonomics, sebagai kombinasi antara Soemitronomics dan Habibienomics.

Setiap bangsa yang maju memerlukan 1) perluasan kesempatan belajar yang memerdekakan jiwa warganya, 2) pasar yang terbuka dan berkeadilan, 3) investasi yang memandirikan dan menciptakan lapangan kerja, 4) birokrasi yang kompeten dan amanah, 5) pasokan energi yang cukup -paling tidak sekitar 3-5 kL setara minyak perkapita pertahun, dan untuk negara kepulauan seluas Eropa ini, 6) pemerintahan maritim yang hadir di laut secara efektif.

Sementara itu misi utama negara adalah 1) melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, 2) mencerdaskan kehidupan bangsa, 3) memajukan kesejahteraan umum, dan 4) ikut serta dalam membangun ketertiban dunia yang berdasar perdamaian abadi dan keadilan sosial. Misi negara ini harus dilaksanakan oleh pemerintahan yg tidak hanya hadir di darat, tapi juga di laut. Saat ini, Kabinet Merah Putih belum punya peta jalan untuk hadir di laut secara efektif. Rencana pembentukan satu pemerintahan maritim melalui a truly genuine full -fledged National Sea and Coast Guard sampai hari ini mandeg karena konflik kepentingan antar-kementrian/lembaga.

Setiap negara, kepulauan atau bukan, memiliki kepentingan maritim, yaitu kepentingan trade and commerce. Di sini penting mencamkan Muhammad Rasulullah saw : 9 dari 10 rezeki datangnya dari perdagangan. Untuk menjadi bangsa yang kaya, bangsa ini harus menjadi bangsa pedagang. Sementara itu 70% perdagangan dunia dilakukan melalui jalur laut. Kemakmuran setiap bangsa ditentukan oleh kemampuannya menyediakan berbagai barang dan jasa bagi semua warganya dalam jumlah dan mutu yang cukup untuk hidup sehat dan produktif di manapin mereka berada.

Perlu dicermati, bahwa jalur laut yang dibangun VoC dan Hindia Belanda masih lebih luas dan efektif daripada yang disediakan oleh Republik ini sejak kemerdekaannya. Program Tol laut Jokowi hanya sebuah lelucon jika dibandingkan dengan karya VoC itu. Tidak saja Belanda bisa menjajah Nusantara cukup lama, VoC bahkan menjadi kongsi dagang terkaya di dunia pada masanya saat Belanda menjadi adidaya menggusur Spanyol, sebelum kemudian digantikan oleh Inggris.

Bagi negara kepulauan bercirikan Nusantara ini, menjadi negara maritim adalah strategi geopolitik-ekonomi yang tak terelakkan. Sebuah default geostrategy. Ini sisi yang belum digarap sungguh-sungguh oleh Kabinet Merah Putih saat ini. Langkah pertama penting dalam strategi ini adalah membangun armada kapal nasional sebagai infrastruktur perhubungan. Armada kapal nasional dalam berbagai ukuran dan jenis serta kecepatan tidak hanya penting dalam memastikan persatuan, tapi juga menyediakan pemerataan kesejahteraan umum. Infrastruktur perhubungan bukan hanya jalan dan jembatan, serta pelabuhan, tapi juga armada kapal nasional.

Salah satu ukuran negara maritim adalah produktifitas armada nasionalnya. Ini diukur dari ton.km pertahun yang diwujudkan oleh armada nasional. Hingga hari ini, produktifitas armada nasional kita masih tertinggal. Per Januari 2024, produktifitas nasional kita hanya sekitar 70 juta DWT pertahun yang didominasi kapal-kapal kecil dengan muatan bernilai rendah. Sementara itu negara kecil Singapura mencatat produktifitas tinggi sekitar 100 juta DWT pertahun, sementara Belanda hanya sekitar 20 Juta DWT pertahun namun dengan kapal-kapal besar berteknologi tinggi untuk mengangkut muatan bernilai tinggi. Jika dikaitkan dengan perannya dalam perdagangan internasional, maka Singapura adalah negara maritim, disusul Belanda, baru Indonesia. Ini menjelaskan mengapa Indonesia sulit keluar dari middle-income trap karena perannya dalam perdagangan global sangat terbatas sekalipun Indonesia jauh lebih kaya sumberdaya alamnya dibanding Singapura dan Belanda. Bahkan Cina yang bukan negera kepulauan tidak mau sekedar menjadi manufacturer of the world, kini berusaha menjadi transporter of the world melalui program the new maritime silk route.

Armada kapal dengan berbagai route perjalanan adalah ibarat jaringan jalan yang memastikan kelancaran aliran darah sebagai media nutrisi ke seluruh tubuh Republik seluas Eropa ini. Tanpa itu, banyak bagian tubuh daerah yang mengalami development stunting, tertinggal, dan miskin. Penting dicermati bahwa pembangunan adalah sebuah proses perluasan kemerdekaan, bukan sekedar pertumbuhan yang tinggi tapi terpusat di beberapa kawasan tertentu saja seperti yang terjadi selama 50 tahun terakhir.

Program debottlenecking yang belum teratasi yang membutan ongkos logistik di Republik ini tidak kompetitif adalah bauran moda transportasi yang masih didominasi oleh jaringan jalan privat seperti jalan tol. Indonesia membutuhkan sistem logistik nasional bertulangpunggung armada angkutan laut yang terhubung dengan angkutan sungai dan penyeberangan serta jaringan rel kereta api. Bukan jaringan tol privat. Dominasi angkutan mobil dan motor saat ini tidak saja mencekik aliran darah ekonomi, tapi juga sumber ketidakadilan energi nasional. Akibatnya pasokan energi untuk angkutan laut, sungai dan rel sebagai jalur-jalur perdagangan yang penting justru tidak memadai. Kesenjangan spasial antara Kawasan Timur dan Barat juga tidak kunjung teratasi akibat ketimpangan energi nasional ini.

Sebagai catatan akhir, kunci pertumbuhan berkualitas nasional kita akan tergantung pada sektor riil yang menciptakan lapangan kerja, bukan sektor keuangan. Sektor keuangan justru perlu membantu menggairahkan sektor riil ini, terutama sektor perdagangan dan jasa. Untuk negara kepulauan ini, armada angkutan laut akan menjadi instrumen kuncinya. Pasar yang adil diciptakan oleh kebijakan fiskal dan moneter yang berpihak pada kedua sektor tersebut, terutama yg memperkuat kemandirian pangan dan energi.

Surabaya, 11 September 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K