Miss Invoicing 1.000 Triliun di Era Jokowi: Negara Rugi Lebih 100 Triliun Pajak Tak Masuk Kas

Miss Invoicing 1.000 Triliun di Era Jokowi: Negara Rugi Lebih 100 Triliun Pajak Tak Masuk Kas
Gede Sandra peneliti Lingkar Studi Perjuangan, ungkapkan terjadi miss invoicing 1000 Triliyun lebih selama 10 tahun

JAKARTA — Isu mengejutkan datang dari kalangan peneliti ekonomi nasional. Gede Sandra, peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP), melalui akun TikTok Spardaxz5, mengungkap temuan serius terkait dugaan praktik miss invoicing (kesalahan atau manipulasi nilai transaksi ekspor-impor) yang terjadi selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Menurut data yang dipaparkan Gede, nilai miss invoicing mencapai sekitar Rp 1.000 triliun selama satu dekade terakhir. Praktik ini disebut telah menyebabkan kebocoran pajak negara hingga Rp 100 triliun yang seharusnya masuk ke kas publik.

Apa Itu Miss Invoicing?

Miss invoicing atau mispricing adalah praktik manipulasi harga dalam dokumen invoice ekspor-impor. Modus ini digunakan untuk menghindari pajak, memindahkan keuntungan ke luar negeri, atau menyamarkan transaksi ilegal.

Gede menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk utama miss invoicing:

Under Invoicing – Nilai invoice dibuat lebih rendah dari harga sebenarnya. Tujuannya untuk mengurangi kewajiban pajak dan bea masuk.

Over Invoicing – Nilai invoice dibuat lebih tinggi dari harga sebenarnya. Tujuannya untuk memindahkan uang secara ilegal ke luar negeri dengan kedok pembayaran barang impor.

“Selama 10 tahun penelitian kami, ditemukan pola yang konsisten dan berulang, di mana perusahaan-perusahaan besar melakukan praktik under atau over invoicing dalam transaksi internasional,” ungkap Gede Sandra.

Kerugian Negara Sangat Besar

LSP menyebut bahwa dampak langsung dari praktik ini adalah hilangnya potensi penerimaan pajak minimal Rp 100 triliun per tahun.
Kerugian itu mencakup pajak ekspor-impor, PPh badan, dan potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang ikut bocor.

“Kalau dihitung kumulatif, potensi kebocoran pajak bisa mencapai Rp 100 triliun dalam 10 tahun, dan itu baru hitungan konservatif,” kata Gede.

Ia menambahkan bahwa miss invoicing menjadi salah satu bentuk illegal capital flight — arus modal keluar secara tidak sah — yang melemahkan posisi neraca pembayaran dan menggerus cadangan devisa Indonesia.

Kelemahan Sistem Pengawasan

Menurut pengamatan LSP, lemahnya sistem pengawasan lintas kementerian dan lembaga menjadi celah utama.
Koordinasi antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Perdagangan, dan Ditjen Pajak dinilai belum optimal dalam mendeteksi selisih harga antara invoice dan nilai pasar internasional (market price reference).

“Sistem kita tidak otomatis membaca disparitas harga. Jadi kalau barang A di pasar dunia harganya 10 dolar, tapi invoice masuk hanya 6 dolar, sistem tidak otomatis flag (memberi tanda). Ini yang dimanfaatkan,” jelas Gede.

Selain itu, minimnya integrasi data ekspor-impor antarnegara membuat praktik ini sulit dilacak. Beberapa negara mitra dagang bahkan memiliki nilai ekspor ke Indonesia yang jauh lebih besar dibandingkan nilai impor yang tercatat di Indonesia — indikasi klasik under invoicing.

Indikasi Kejahatan Terstruktur

Peneliti LSP menilai praktik miss invoicing tidak mungkin dilakukan tanpa dukungan jejaring lintas pelaku — baik dari korporasi, importir, hingga oknum birokrasi.
“Ini bukan lagi kesalahan administratif. Ini sistemik dan terorganisir. Ada pembiaran yang berlangsung lama,” ujar Gede.

Kasus ini mengingatkan publik pada temuan lembaga internasional seperti Global Financial Integrity (GFI), yang pernah melaporkan bahwa Indonesia kehilangan lebih dari USD 100 miliar per dekade akibat praktik manipulasi nilai perdagangan lintas batas.

Desakan Reformasi dan Audit Nasional

LSP mendesak pemerintah untuk melakukan audit nasional terhadap transaksi ekspor-impor 10 tahun terakhir, khususnya pada sektor komoditas mentah, migas, dan barang konsumsi impor besar.
Selain itu, Gede menilai penting dilakukan sinkronisasi data antara Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai serta akses publik terhadap data transaksi perdagangan internasional.

“Transparansi adalah kunci. Selama data ekspor-impor tertutup, selama itu pula kejahatan miss invoicing akan terus hidup,” tutupnya.

Catatan Akhir

Isu miss invoicing ini bukan hanya tentang angka-angka ekonomi, tetapi tentang kedaulatan fiskal negara. Bila benar terjadi kebocoran Rp 100 triliun pajak setiap tahun, maka dalam satu dekade Indonesia telah kehilangan dana setara pembangunan 100 ribu sekolah dasar atau 50 rumah sakit regional.

Publik kini menunggu respons pemerintah: apakah akan membentuk tim investigasi independen, atau membiarkan praktik ini menjadi rahasia terbuka yang terus menggerogoti fondasi ekonomi nasional.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K