Catatan Muhammad Chirzin
Bersyukur dan bahagia sekali mendapat undangan dari Ketua Forum 2045 Dr. Untoro Hariyadi sebagai penanggap dalam Focus Group Discussion bertajuk Common Project Rekonsiliasi dan Reintegrasi Nasional yang diselenggarakan pada Selasa 15 November 2022 di University Club Universitas Gajahmada Yogyakarta.
Forum 2045 adalah Lembaga independen, imparsial, dan melibatkan berbagai pihak mempertautkan ide dan inovasi untuk menggemakan perubahan. Forum 2045 mengundang semua komponen bangsa untuk bekerja sama menyongsong Indonesia emas, Satu Abad Indonesia 2045.
Panitia mencatat bahwa dalam dua tahun ke depan, bangsa Indonesia akan menyelenggarakan perhelatan pemilu serentak, dengan jumlah partai politik dan calon legislatif yang sedemikian banyak. Kontestasi politik ini demikian kompleks. Sistem pemilu yang proporsional terbuka membelah masyarakat berkeping-keping dan polarisasi ekstrem tidak terkendali. Sampai kini masih tersisa residu Pilpres 2019 berupa pertentangan dua kubu “kampret” dan “cebong”.
Polarisasi politik terjadi menjelang maupun pasca pemilu. Pengkutuban mendorong para pemilih menunjukkan posisi mereka di ruang publik dan media sosial.
Masyarakat memiliki persepsi kepemilikan isu didasarkan pada informasi eksternal dan cenderung mengatribusikannya kepada pihak-pihak yang memberi perhatian lebih dari pada pihak lain. Situasi ini sangat menguntungkan bagi aktor politik, karena mudah dalam memetakan dan mendulang suara pemilih.
Polarisasi muncul karena faktor identitas dan persepsi atas pengelolaan kekuasaan. Kedua kutub atau berapa pun polar yang terbentuk akan mengerucut pada pencarian legitimasi untuk mengkonversinya menjadi kekuatan yang terkonsolidasi.
Aktor politik yang secara intens melakukan komunikasi politik memengaruhi keberpihakan politik dan sensitivitas komunikasi politik membuat fanatisme politik menjadi lebih kokoh. Populisme muncul sebagai sub tipe dari politik identitas, karena populisme selalu berhubungan dengan polarisasi, dramatisasi, dan moralisasi politik.
Populisme dengan politik identitas menjadi berbahaya manakala mengabaikan heterogenitas masyarakat di mana pemilu dilaksanakan dan membuat “jurang pemisah” antar masyarakat, hingga menimbulkan kebencian yang secara serius mengancam bangunan negara bangsa.
Sebagai sebuah bangsa mempunyai kesadaran untuk menggagas proyek pemulihan dan perbaikan bersama pasca konflik politik semacam itu.
Dari pengalaman yang berlaku, proses rekonsiliasi di tingkat elit saja tidak cukup untuk mengembalikan bangunan kebangsaan seperti semula.
FGD ini bertujuan (1) mengetahui dampak polarisasi politik dalam dua kali pemilu nasional dan pemilu daerah yang pernah dilaksanakan di Indonesia; (2) membuat perkiraan atas situasi dan kondisi yang terjadi pasca Pemilu 2024; dan (3) membuat program bersama sebagai kerja bangsa dalam proses reintegrasi dan rehabilitasi dampak dari polarisasi yang terjadi pasca Pemilu 2014, 2019, dan 2024; (4) menggagas dan mengkreasi kembali kebaikan bersama (common good) sebagai sebuah bangsa; (5) melakukan rekonsiliasi dan reintegrasi bangsa.
FGD menghadirkan narasumber (1) Prof. dr. Roslan Yusni Hasan, Sp. BS, Pakar Neuro Sains; (2) Dr. Robertus Robet, M.A, Pakar Sosiologi Politik, Dosen UNJ; (3) Airlangga Pribadi Kusman, S.IP., M.Si., Ph.D, Pakar Ilmu Politik, Dosen Unair; dan (4) Dr. Wahyu Riawanti, MP, Pakar Komunikasi Massa, Dosen UGM).
Melacak asal muasal pembelahan bangsa menuju rekonsilitasi, Dr. Roslan Yusni mencatat bahwa manusia itu setiap hari bohong, pura-pura. Mengapa kita sulit bekerja sama, karena otak manusia tidak dirancang untuk bekerja sama dan/atau bekerja bersama dalam jumlah besar. Otak bekerja untuk menghindari ancaman daripada iming-iming. Manusia bersatu dan berantem karena ancaman dan iming-iming. Dengan kesadaran baru manusia yang dahulu berkompetisi kini berkolaborasi.
Menurut Dr. Robertus, manusia diintegrasikan dengan kebohongan besar dan dihadapkan pada sesuatu yang mencengangkan. Persatuan tidak bisa dicapai secara ideologis saja, tetapi hanya bisa diwujudkan dalam praksis dengan kebebasan dan kemerdekaan.
Dr. Manggalani menegaskan bahwa salah satu media operasional polarisasi adalah internet. Algoritma membantu keterbelahan masyarakat. Pihak-pihak yang mengambil manfaat adalah para investor dan aktor politik, serta influenser dan buzzer.
Dr. Airlangga Pribadi mengimbangi narasi dr. Roslan Yusni, bahwa manusia cenderung pada kebaikan juga. Rekonsiliasi dan kolaborasi adalah niscaya, karena manusia cenderung pada kebaikan dan perbaikan. Reformasi yang tahun depan genap 25 tahun itu tanpa harapan dan kepastian. Reformasi membawa pada persimpangan jalan; transisi dari atmosfir otoritarian menuju kebebasan dan kemerdekaan dari dominasi. Mengutip Cicero, bahwa dengan kekuasaan yang besar muncul tanggung jawab yang besar.
Dr. Wahyu Riawanti mencatat bahwa hoax dan substansi kampanye dari sumber yang tidak kompeten adalah bahan utama proxy war dua kubu pendukung capres pada pilpres 2019. Faktor ketidakmatangan emosi mempengaruhi potensi produksi konten hate speech di media sosial. Diskriminasi terhadap pilihan politik dan identitas/aliran agama dan kepercayaan menjadi salah satu dari tiga variable intoleransi.
Menurut hemat penulis, sintesis pandangan dr. Ruslan tentang manusia yang cenderung negatif dan pandangan Dr. Airlangga yang positif, bahwa manusia adalah makhluk yang berpotensi menjadi saleh melebihi malaikat, dan berpotensi menjadi jahat melebihi setan.
Untuk menggalang rekonsiliasi dan reintegrasi perlu dirumuskan common enemy (musuh bersama) bangsa Indonesia. Dengan kesadaran adanya musuh bersama, maka semua partai politik dan lapisan masyarakat dapat diajak kerjasama mewujudkan rekonsiliasi dan reintegrasi bangsa.
Buya A. Syafii Maarif berkata, “Negeri ini salah urus.” Jadi, yang paling bersalah dan paling bertanggung jawab atas carut marut negeri ini adalah para pengurusnya.
Sedangkan Rocky Gerung berkata, “Telah terjadi perselingkuhan kuasa eksekutif, legeslatif, dan yudikatif.”
Akar persoalan bangsa ini adalah penyimpangan Reformasi melalui amandemen UUD 1945 empat kali (1999, 2000, 2001,2002) yang kebablasan, terutama tentang perubahan kedudukan Presiden yang bukan lagi menjadi mandataris MPR, dan Pemilihan Presiden langsung oleh rakyat one man one vote yang membuahkan UU Pemilu no 7 Tahun 2017 Pasal 222 tentang presidential threshold.
Langkah untuk menggalang rekonsiliasi dan reintegrasi nasional ialah kembali ke UUD 1945 asli dengan addendum.
Bersama kita bisa mewujudkan mimpi Indonesia Emas 2045. Selamat berjuang!
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
711GAMENovember 25, 2024 at 6:59 am
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/muhammad-chirzin-dari-fgd-forum-2045-perlunya-rekonsiliasi-dan-reintegrasi-bangsa/ […]
เว็บตรงสล็อตDecember 16, 2024 at 8:05 am
… [Trackback]
[…] Find More Information here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/muhammad-chirzin-dari-fgd-forum-2045-perlunya-rekonsiliasi-dan-reintegrasi-bangsa/ […]