Muhammad Chirzin: Fenomena Profesor

Muhammad Chirzin: Fenomena Profesor
Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta

Catatan Muhammad Chirzin

Salah seorang Profesor yang tergabung dalam grup WA PROFESOR PTKIN menulis, “Bagaimana kalau bahasan postingan kita lebih fokus pada mas`uliyyah (tanggung jawab) Guru Besar Perguruan Ttinggi Keagamaan Islam (PTKI) dalam perbaikan internal PTKI dari berbagai aspek yang berpengaruh pada pembangunan masyarakat dan bangsa?” Secara spontan saya menanggapi, “Idealnya begitu Prof, tapi kenyataannya selalu berbeda.”

Istilah profesor dari bahasa Latin yang bermakna seseorang yang dikenal oleh publik berprofesi sebagai pakar. Dalam bahasa Inggris: Professor, disingkat dengan Prof, adalah seorang guru senior, dosen dan/atau peneliti yang bekerja pada lembaga-lembaga/institusi pendidikan perguruan tinggi atau universitas.

Di Indonesia, gelar Profesor merupakan jabatan fungsional, bukan gelar akademis. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Butir 3: guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Jika pada masa sebelumnya dosen dengan gelar akademis magister (S2), bahkan sarjana (S1) bisa menjadi guru besar/profesor, maka sejak tahun 2007 hanya mereka yang memiliki gelar akademik doktor saja yang bisa menjadi profesor. Hal ini karena hanya profesorlah yang memiliki kewenangan untuk membimbing calon doktor.

Sebagai pakar, profesor memiliki empat kewajiban tambahan: (1) Memberi kuliah dan memimpin seminar dalam bidang ilmu yang dikuasai, baik dalam bidang ilmu murni, sastra, ataupun bidang-bidang yang diterapkan langsung, seperti seni rancang (desain), musik, pengobatan, hukum, ataupun bisnis; (2) Melakukan penelitian dalam bidang ilmunya; (3) Pengabdian pada masyarakat, termasuk konsultatif, baik dalam bidang pemerintahan ataupun bidang-bidang lainnya secara non-profit; (4) Melatih para akademisi muda/mahasiswa agar mampu membantu menjadi asisten atau bahkan menggantikannya kelak.

Keseimbangan dari empat fungsi ini sangat bergantung pada institusi, tempat dan waktu. Profesor yang mendedikasikan dirinya secara penuh pada penelitian dan ilmu pengetahuan di universitas-universitas di Amerika Serikat dan universitas-universitas di negara Eropa misalnya, dipromosikan untuk mendapat penghargaan utamanya pada bidang ilmu dari subyek penelitiannya.

Jabatan profesor disandang setelah dosen melalui tahap pencapaian angka kredit yang sudah ditentukan sesuai nilai kum yang diperoleh secara berjenjang dari jabatan fungsional akadamik Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala dan Profesor/guru besar dengan nilai kum minimal 850.

Dosen yang bersangkutan wajib melaksanakan tridarma perguruan tinggi, di mana salah satunya adalah bidang penelitian dan membuat publikasi, terutama publikasi internasional bereputasi dan berdampak dari hasil-hasil penelitiannya.

Menurut Permenpan 46 th 2013 (pasal 26 ayat 3) syarat untuk mencapai jenjang Profesor/Guru Besar adalah sebagai berikut: (1) Ijazah Doktor (S3) atau yang sederajat; (2) Paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah Doktor (S3); (3) Karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi; dan (4) Memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Syarat tambahan: (5) Dosen yang berprestasi luar biasa dan memenuhi persyaratan lainnya dapat diangkat ke jenjang jabatan akademis dua tingkat lebih tinggi atau loncat jabatan; (6) Dikecualikan paling singkat tiga tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c angka 2), apabila Dosen yang bersangkutan memiliki tambahan karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi setelah memperoleh gelar Doktor (S3) dan memenuhi persyaratan lainnya.

Jabatan profesor hanya berlaku ketika yang bersangkutan berada di lingkungan akademik. Apabila yang bersangkutan mengundurkan diri atau diberhentikan dari kampus, maka tidak berhak lagi menyandang jabatan profesor. Jika seorang profesor sudah memasuki usia pensiun, maka jabatan profesornya otomatis hilang.

Tidak sedikit calon Guru Besar yang gagal meraih jabatan tersebut karena terganjal oleh persyaratan Scopus yang tak kunjung terpenuhi, mengingat hal itu butuh energi, dab waktu yang tidak singkat, serta biaya yang tidak sedikit. Scopus seolah-olah harga mati bagi siapa saja yang ingin menggapai gelar Guru Besar di Perguruan Tinggi, kecuali bagi calon Profesor Honoris Causa!

Beberapa orang akademisi, termasuk orang Guru Besar, kontra terhadap kebijaksanaan Scopus sebagai harga mati untuk menjadi Guru Besar di Perguruan Tinggi. Di antara faktor utamanya, bahwa SCOPUS dipandang sebagai rezim penjajahan ilmiah/ imperialisme intelektual. Hal itu ditengarai adanya monopoli penyebarluasan hasil penelitian berbiaya tinggi tersebut yang juga membutuhkan waktu tidak singkat. Di samping itu ditengarai adanya jurnal-jurnal Scopus predator/abal-abal yang mengisap kocek calon profesor.

Mengapa Pemerintah RI tidak membangun kemandirian dalam menetapkan persyaratan tertentu pada jurnal ilmiah dalam negeri yang bertaraf internasional? Apakah persyaratan jurnal bertaraf internasional tersebut tidak bisa digantikan dengan karya ilmiah berupa buku bermutu yang sesuai dengan bidang keilmuan calon profesor?

Di samping persyaratan Jurnal Scopus tersebut, sesungguhnya para Guru Besar PTKI memiliki tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi yang sama dengan semua dosen lainnya. Apakah para Guru Besar PTKI memiliki kesungguhan mengajar dan membimbing Mahasiswa Strata Satu sama dengan kesungguhannya dalam mengajar dan membimbing Mahasiswa Strata Dua maupun Strata Tiga?

Apakah para Guru Besar PTKI selalu aktif menulis untuk menyebarluaskan gagasan, atau menyebarluaskan pandangan kritisnya terhadap situasi dan kondisi bangsa dan negaranya?

Apakah para Guru Besar juga selalu welcome jika didatangi para Mahasiswa untuk mendapatkan pencerahan tentang bidang/tema/judul penelitian sebagai tugas akhir pada S1, S2, dan S3?

Apakah para Guru Besar juga selalu meluangkan waktu untuk mengisi kajian di masyarakat tingkat RT maupun RW sebagai pengabdiannya?

Para Guru Besar identik dengan ilmuwan dan cendekiawan yang sanggup berpikir dan berkontribusi lintas disiplin keilmuan, tanpa harus merasa ahli dalam segala bidang kehidupan.

Semoga para Guru Besar PTKI selalu berdedikasi untuk Negeri tanpa henti.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K