Muhammad Chirzin: Meluruskan UUD NRI 1945

Muhammad Chirzin: Meluruskan UUD NRI 1945
Ilustrasi

Catatan Muhammad Chirzin

 

Istilah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, disingkat UUD NRI 1945, itu digunakan untuk menyebut UUD 1945 hasil serial empat kali amandemen oleh MPR melalui Sidang Tahunannya, yakni pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

MPR telah melakukan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi salah satu tuntutan reformasi 1998.

Tuntutan Reformasi 1998 yang dimaksud adalah:

(1) Amandemen (perubahan) Undang-Undang Dasar 1945.

(2) Penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

(3) Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

(4) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah).

(5) Mewujudkan kebebadan pers.

(6) Mewujudkan kehidupan demokrasi.

Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 yang digulirkan oleh berbagai elemen masyarakat dan kekuatan sosial politik didasarkan atas pandangan bahwa UUD 1945 dianggap belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM.

Selain itu, di dalam UUD 1945 terdapat pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, dan tertutup, serta KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang.

Harapan besarnya bahwa dengan amandemen UUD 1945 tersebut penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin tertata dan terlaksana dengan saksama.
Kepastian sejarah menunjukkan bahwa perubahan UUD 1945 itu tidak serta merta menjadikan kehidupan bangsa Indonesia lebih baik; adil, makmur, sejahtera, dan bahagia.

Fenomena itu mengundang munculnya tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 Asli. Para eksponen amandemen UUD 1945 pun menyergah, “Akankah kita kembali pada iklim di mana jabatan presiden dapat dijalani seseorang berkali-kali?”

Di sisi lain, amandemen UUD 1945 telah mengubah sistem pemilihan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dari perwakilan menjadi langsung oleh rakyat.

Hal ini melahirkan pengaturan tata cara Pemilihan Umum dalam UU PEMILU Nomor 7 Tahun 2017 yang antara lain memuat pasal 222 tentang Presidential Threshold 20 %, yang disebut oleh Ketua DPD RI LaNyalla sebagai akar masalah ketidakadilan dalam ranah politik.

Pasal inilah yang dipandang oleh banyak pakar harus dibatalkan, jika bangsa ini benar-benar ingin memiliki Presiden dan Wakil Presiden yang terbaik.

Para aktivis 98 mengevaluasi kehidupan bernegara dan berbangsa pasca Reformasi, antara lain, bahwa era Orba dan masa kini tidak ada perubahan, malahan semakin buruk.

Cita-cita gerakan Reformasi 1998 tidak berjalan dengan baik. Era kekinian tidak jauh berbeda dari rezim Orde Baru yang menjadi alasan gerakan Reformasi turun jalan. Yakni, rezim Orde Baru bergerak otoriter dan oligarki mengakar kuat.

Demikian, kata salah seorang aktivis Pro Demokrasi yang juga pelaku sejarah Reformasi 1998, Andrianto dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komite Peduli Indonesia (KPI) dan DPD RI berjudul “Koalisi Rakyat untuk Poros Perubahan” di Ballroom Masjid Agung Trans Studio, Bandung, Jawa Barat, maupun melalui virtual, Minggu siang (26/6).

“Situasi dan kondisi era Orba dan kini tidak ada perubahan, malah makin buruk dari sisi sistem politik yang makin otoriter, dan ekonomi yang dikuasai oligarki yang rakus dan serakah.”

Senada dengan paparan itu Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, juga menyinggung oligarki saat ini yang sudah menjadi masalah akut dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

“Oligarki itu mengendalikan politik untuk mempertahankan kemiskinan. Jadi, tantangan kita yang pertama, demokrasi dikhianati. Kedua, kemiskinan yang dipertahankan.”

Syahganda pun mengapresiasi Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti yang memperjuangkan agar ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen dihapuskan.

Menurut Syahganda, adanya ambang batas itu seperti melestarikan oligarki yang dengan kekuatan modalnya dapat berperan banyak pada penentuan calon presiden dan calon wakil presiden.

“Perlu ada kekuataan rakyat untuk hadapi para oligarki ini.”

Hadir dalam acara ini Ketua KPI, Tito Roesbandi, dan lima narasumber lainnya, yaitu Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Mohammad Jumhur Hidayat, Pendiri Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa (FKP2B) Mayjen TNI Purn Deddy S Budiman, Sekretaris Jenderal Syarikat Islam Ferry Joko Juliantono, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Indra Perwira, dan pemerhati kebangsaan Muhammad Rizal Fadillah.

Harus diakui bahwa amandemen UUD 1945 yang meliputi 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat itu menimbulkan sejumlah anomali, antara lain tentang tata ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam.

Sistem ketatanegaraan dengan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan merupakan penjelmaan seluruh rakyat, yang salah satu kewenangannya adalah memilih Presiden, diganti dengan sistem check and balance, di mana Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 5 tahun.

Sungguhpun seseorang hanya boleh menjadi Presiden berturut-turut untuk 2 masa jabatan, beberapa Menteri pembantu Presiden dan beberapa Ketua Umum partai politik berkasak-kusuk mengusulkan amandemen UUD NRI 1945 lagi, agar seseorang bisa dan boleh menjabat 3 periode.

Jalan tengah keluar dari keruwetan konstitusi ini ialah melakukan amandemen UUD NRI 1945 lagi pada pasal-pasal yang amat fundamental dan krusial, untuk mengunci mati oligarki.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K

2 Responses

  1. แทงบอลออนไลน์January 4, 2025 at 7:49 am

    … [Trackback]

    […] Find More Information here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/muhammad-chirzin-meluruskan-uud-nri-1945/ […]

  2. ufa747 แทงบอลออนไลน์January 30, 2025 at 7:35 am

    … [Trackback]

    […] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/muhammad-chirzin-meluruskan-uud-nri-1945/ […]

Leave a Reply