Oleh: Muhammad Chirzin
Guru Besar UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi, adalah partai politik Islam yang berwibawa pada masa awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Organisasi Masyumi dibentuk oleh Jepang pada 24 Oktober 1943 dalam upaya mengendalikan umat Islam di Indonesia. Organisasi Masyumi adalah penerus organisasi Majelis Islam A’la Indonesia.
Masyumi menjadi sarana menghimpun masyarakat muslim di Indonesia untuk dijadikan pasukan pendukung Jepang dalam Perang Pasifik.
Jepang tidak tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII).
Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang, karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik sebagai buruh maupun tentara.
Pada zaman pendudukan Jepang Masyumi merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.
Pada 8 November 1945 organisasi Masyumi menjadi partai politik diketuai oleh Soekiman Wirjosandjojo, dilanjutkan oleh Mohammad Natsir, dan Prawoto Mangkusasmito.
Partai Masyumi merupakan gabungan organisasi-organisasi Islam Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama, Persatuan Umat Islam, Al-Washliyah, Al-Ittihadiyah, dan Nahdlatul Wathan, serta Mathla’ul Anwar.
Dalam waktu kurang dari setahun, partai ini menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947 untuk menyampaikan pandangan Partai Masyumi tentang kehidupan bernegara di Indonesia.
Anggaran Dasar Masyumi menyebutkan bahwa tujuan partai adalah untuk menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam. Ideologi Masyumi sebagai partai politik diungkapkan dalam manifesto politik Masyumi yang dikeluarkan pada tanggal 6 Juli 1947.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy’arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi. Keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari.
Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 karena adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.
Struktur organisasi Masyumi terdiri atas Dewan Pimpinan Partai dan Majelis Syuro. Dewan Pimpinan Partai bertindak sebagai lembaga eksekutif yang membuat pernyataan politik dan memutuskan kebijakan partai. Majelis Syuro merupakan lembaga penasihat yang berperan memberi nasihat dan fatwa kepada Dewan Pimpinan Partai perihal langkah apa yang akan diambil oleh partai secara garis besar.
Susunan kepengurusan pimpinan partai didominasi oleh para politisi yang berlatar belakang pendidikan Barat. Di sisi lain, Majelis Syuro didominasi oleh para ulama, terutama para pemimpin organisasi Islam, seperti KH Hasyim Asy’arie, dan KH Wahid Hasyim dari NU, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah.
Masuknya unsur-unsur organisasi dalam Masyumi sebagai anggota istimewa berperan besar dalam peningkatan anggotanya, terutama dari kalangan umat Islam. Identitas keislaman dalam Masyumi sangat menonjol, baik dalam mengambil keputusan maupun pola pikirnya yang bersumber dari ajaran Islam. Identitas ini tercermin dalam AD dan ART.
Salah satu resolusi yang dikeluarkan Masyumi pada masa perang kemerdekaan, menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk melakukan jihad fi sabilillah dalam menghadapi segala bentuk penjajahan.
Setelah Indonesia memperoleh kedaulatan secara penuh, para pemimpin Masyumi mulai memanfaatkan situasi dengan menafsirkan asas Partai Masyumi, yang disahkan dalam Muktamar Masyumi ke-6 yang digelar pada bulan Agustus 1952.
Sejak tahun 1952 sampai dengan pembubarannya pada tahun 1960 asas Partai Masyumi adalah Islam. Masyumi juga mengeluarkan tafsir asas sebagai rumusan resmi ideologi partai sebagai pedoman dan pegangan bagi para anggota Masyumi.
Dalam Pemilihan Umum legislatif Indonesia 1955 Masyumi menempati posisi kedua setelah PNI. Masyumi mengungguli berturut-turut Nahdlatul Ulama, PKI, dan PSII. Hasil Pemilihan Umum mendudukkan para anggota Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat, dan dari anggota partai ini terpilih sebagai Perdana Menteri Indonesia, seperti Mohammad Natsir, dan Burhanuddin Harahap.
Pada tahun 1958, beberapa tokoh Masyumi bergabung dalam struktur Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Masyumi bersama Partai Sosialis Indonesia mendapat ancaman pembubaran oleh pemerintah.
Setelah membubarkan diri pada tahun 1960, para anggota dan simpatisan Masyumi mendirikan Keluarga Bulan Bintang untuk mengkampanyekan pemberlakuan syariah. Muhammadiyah melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.
Di antara tokoh-tokoh Masyumi yang dikenal adalah sebagai berikut:
KH Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri.Sukiman, Perdana Menteri Indonesia.KH Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy’ari. HAMKA, wakil Masyumi dalam Konstituante, kader dan ulama Muhammadiyah.Prof. DR. KH Aboebakar Atjeh, wakil Masyumi dalam Konstituante.
Mohammad Natsir, Menteri Penerangan, Perdana Menteri Pertama NKRI, pemrakarsa Mosi Integral yang mengubah Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.Burhanuddin Harahap, Perdana Menteri Indonesia. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia pertama.
Mr. Mohammad Roem, diplomat ulung Perundingan Roem-Royen, Kader Muhammadiyah. Muhammad Isa Anshari, Ketua Partai Masyumi di Parlemen yang lantang dan tegas dalam memegang teguh prinsip perjuangan. Kasman Singodimedjo, kader Muhammadiyah, Daidan PETA daerah Jakarta yang menjamin keamanan penyelenggaraan Proklamasi Kemerdekaan RI, dan Rapat Umum IKADA. Dr. Anwar Harjono, juru bicara terakhir Partai Masyumi, pendiri organisasi dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Masyumi meninggalkan dua warisan utama bagi bangsa Indonesia, yakni kecendekiaan dan keteladanan. Masyumi memperoleh simpati dan dukungan luas dari umat Islam pada Pemilu pertama Indonesia 1955, karena para pemimpinnya sangat terpelajar, dan berintegritas dalam perjuangan yang patut diteladani oleh para genarasi muslim masa kini.
Dalam konteks kekinian, umat Islam patut menjunjung tinggi perjuangan dalam ranah politik dengan memilih pemimpin bangsa yang berakhlakul karimah, istiqamah, amanah, dan bersungguh-sungguh menegakkan nilai-nilai Islam dan Pancasila dalam segala lini kehidupan.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Kelemahan Jokowi
No Responses