Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College
Musyawarah adalah sebuah teknik pengambilan keputusan kelompok untuk kepentingan orang banyak. Konsep ini sedemikian penting sehingga Al Qur’an menjadikannya sebagai nama surat, yaitu As Syura (42) yg dipertegas dalam 42 : 38.
Prinsip-prinsip dalam musyawarah adalah : menghormati perbedaan pendapat, mengutamakan kepentingan bersama, tidak memaksakan kehendak, menerapkan semangat kekeluargaan, menyampaikan pendapat dengan sopan, mencari titik temu dari pendapat-pendapat yang telah diungkapkan secara adil dan bijaksana, menerima keputusan bersama secara besar hati, melaksanakan keputusan bersama tersebut dengan sungguh-sungguh.
Prinsip ini telah disepakati oleh para negarawan pendiri bangsa dan dirumuskan menjadi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dalam Pembukaan UUD1945. Kita membutuhkan para wakil dari seluruh unsur warga negara – agar tidak terjadi diktator mayoritas apalagi minoritas- untuk memusyawarahkan keputusan-keputusan strategis bagi bangsa dan negara ini. Untuk negara dengan bentang alam kepulauan seluas Eropa ini, dan kesenjangan edukasi dan informasi yang lebar, musyawarah makes a lot more sense.
Memilih eksekutif seperti presiden, gubernur, bupati dan walikota bukan perkara mudah sehingga seharusnya urusan fardlu kifayah yang bisa kita wakilkan pada wakil-wakil kita di MPR atau DPRD. Ini tidak saja sejalan dengan dasar-dasar sains data dan teori permainan, tapi juga efisien, serta mengurangi biaya politik. Akuntabilitas jabatan-jabatan publik juga meningkat dimana eksekutif mudah ditagih tanggungjawabnya dan mudah dipergilirkan dengan prosedur yang sederhana tidak berbelit-belit. Perlu dicermati bahwa Dewan Perwakilan Rakyat itu secara eksplisit bersifat perwakilan dengan tugas utamanya bermusyawarah dengan hikmah untuk mengambil keputusan2 publik.
Tantangannya adalah pemilihan wakil-wakil kita yang tidak hanya akan memilih pejabat-pejbat publik, tapi juga membuat Undang-Undang. Para law makers ini harus memiliki kompetensi bermusyawarah, sekaligus menerapkan standard etika yang tertinggi, melebihi standard etika para aparat negara, akuntan insinyur, dokter dan hakim sekalipun. Dalam arsitektur legal berdasarkan UUD2002 yang liberal-kapitalistik saat ini, para wakil kita itu tidak sepenuhnya mandiri karena dikendalikan oleh elite partai-partai politik sehingga tidak cukup bebas menyuarakan kepentingan publik. Akibatnya terjadi pembusukan dari dalam partai-partai itu sendiri. Pelaku korupsi justru dari kalangan parpol. Sampai kita kembali ke prinsip-prinsip musyawarah yang dicampakkan oleh UUD2002 ini, maka akan makin banyak maladministrasi publik di mana UU dan regulasi dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite.
Setiap monopoli selalu buruk bagi publik. Memberi monopoli politik pada parpol sebagai satu-satunyanya institusi yang berhak mengajukan capres dan cawapres tidak saja kekeliruan tapi terbukti berbahaya. Organisasi yang paling berbahaya di planet saat ini bukan ISIS atau Al Qaeda, apalagi HTI atau FPI, tapi partai politik. Di AS, parpol itu adalah Partai Republik dan Partai Demokrat. Di Indonesia, parpol itu dulu adalah PKI di zaman OrLa, dan Golkar di zaman OrBa. Di zaman Jokowi, parpol itu adalah PDIP. Ke depan ini, parpol itu mungkin Gerindra. Parpol-parpol ini sedemikian berkuasa sehingga korup. Orang mengatakan NKRI ini republik rasa kerajaan.
Prinsip-prinsip monopoli ini dimana the winner takes all bertentangan dengan prinsip musyawarah. Bahkan proses-proses pengambilan keputusan di dalam parpol tidak dilakukan secara musyawarah. Banyak keputusan-keputusan internal parpol dilakukan secara elitis oleh elite-elitnya, tanpa melalui musyawarah. Feodalisme masih mewarnai budaya parpol di Indonesia. Sementara itu Islam mendorong masyarakat yang lebih egaliter yang menjadikan proses-proses musyawarah lebih efektif dan produktif. Kasta-kasta sosial dan ekonomi akan menghambat musyawarah.
Kasus-kasus Proyek Strategis Nasional yang berpijak pada UU Omnibus Law Cipta Kerja yg kini ramai diperbincangkan seperti PIK 2 di Banten, dan Rempang di Riau sebagian besar karena musyawarah tidak lagi terlalu diindahkan. PSN menjadi terlalu top down dengan bias politik yang sangat tinggi. Oleh karena itu, model PSN perlu diperbaiki dengan membangun proses-proses bottom-up sehingga musyawarah terjadi di antara para wakil pemangku kepentingan penta-helix yaitu masyarakat, pengusaha, pemerintah lokal, akademisi dan media. Musyawarah ini bertujuan untuk memastikan manfaat bersama dalam jangka panjang dan berkelanjutan secara lokal, regional dan nasional. Mungkin mutual trust di antara warga negara kita saat ini sedemikian rendah sehingga wakil-wakil kitapun tidak bisa dipercaya dan musyawarah menjadi asing jika bukan aneh.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Kelemahan Jokowi
No Responses