Api Diujung Agustus (Seri 1) – Lima Hari Setelah Api Padam

Api Diujung Agustus (Seri 1) – Lima Hari Setelah Api Padam

Cerita Fiksi Politik

Oleh: Budi Puryanto

Lima hari setelah kerusuhan besar 25–30 Agustus 2025, Jantara Raya ibukota Negara Republik Samudranusa, seperti kota yang baru bangun dari mimpi buruk. Jalan-jalan utama telah dibersihkan dari puing dan pecahan kaca, tapi bau asap yang menempel di dinding gedung-gedung seakan menolak pergi. Kamera televisi sudah jarang menyorot titik-titik bekas bentrokan, namun di balik layar, badai politik justru mulai membentuk pusaran yang lebih berbahaya.

Presiden Pradipa Wiranegara duduk sendirian di ruang kerjanya di Istana Negara. Pagi itu, ia memandangi laporan intelijen yang baru datang. Sampulnya merah, tebal, dan diberi cap “Sangat Rahasia”. Tangannya bergetar sedikit saat membalik halaman pertama. Nama-nama yang tercetak di sana bukan sekadar lawan politik biasa—beberapa adalah orang yang pernah duduk bersamanya di meja makan keluarga, tertawa di ruang rapat, bahkan menemaninya di masa kampanye.

“Jatuhkan Wiranegara. Angkat Gema,” demikian ringkasan di halaman depan laporan itu. Gema Rakarsa, Wakil Presiden, secara resmi selalu menunjukkan dukungan penuh, namun kabar tentang ambisinya sudah beredar di lingkaran dalam. Laporan itu memuat rincian pertemuan rahasia di sebuah vila di Puncak, percakapan terenkripsi di aplikasi luar negeri, dan arus dana misterius yang mengalir lewat perusahaan cangkang di Singapura.

Wiranegara menarik napas panjang. “Mereka terlalu tergesa-gesa,” gumamnya. Tapi ia tahu, kegagalan kudeta ini tidak berarti ancaman menghilang. Justru, lawan-lawannya akan belajar, beradaptasi, dan mencoba lagi dengan cara yang lebih licik.

Sementara itu, di sebuah rumah makan sederhana di daerah Cikini, tiga pria duduk mengelilingi meja kayu tua. Di hadapan mereka, teh panas mengepulkan uap, tapi tidak ada yang menyentuh. Mereka adalah bagian dari “Tim Bayangan”, jaringan rahasia yang diam-diam dibentuk Pradipa sejak dua tahun lalu—gabungan mantan intelijen, akademisi, dan analis politik independen.

“Kita harus memotong jalur logistik mereka,” ujar Seno, mantan perwira intel yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di balik laptop. “Bukan hanya dana, tapi juga narasi. Kalau mereka terus menguasai media sosial, kita kalah di persepsi.”

Dino, sang analis politik, mengangguk. “Tapi hati-hati. Kalau terlalu keras, kita bisa dituduh mengekang kebebasan berekspresi. Yang kita butuh sekarang adalah langkah yang halus, seperti menggeser bidak catur, bukan membalik papan.”

Diskusi mereka terus mengalir, membicarakan daftar nama yang harus diawasi, jaringan pendukung yang tersembunyi di organisasi kemasyarakatan, bahkan koneksi internasional yang siap memicu krisis ekonomi sebagai tekanan politik.

Di sisi lain kota, Gema Rakarsa berdiri di balkon rumah dinasnya. Ia menatap langit sore Jakarta yang kemerahan. Telepon genggam di tangannya menampilkan pesan dari salah satu tokoh bisnis besar yang selama ini mendukungnya.

“Kita gagal kali ini. Jangan gegabah. Waktu akan datang dengan sendirinya.”

Gema mengetik balasan singkat: “Saya mengerti. Kita tunggu momen berikutnya.”

Meski wajahnya tenang, dalam pikirannya ia sedang menyusun langkah baru. Ia tahu Pradipa akan segera melakukan perombakan kabinet, dan itu berarti ada peluang untuk menempatkan orang-orangnya di posisi strategis. Di balik senyum ramahnya, Gema menyembunyikan hasrat yang lebih besar daripada sekadar menjadi wakil.

Malam itu, di Istana, Pradipa memanggil tiga menteri terdekatnya. Pertemuan berlangsung di ruang makan kecil, tanpa protokol resmi. Hanya ada kopi hitam, roti bakar, dan percakapan yang penuh tanda bahaya.

“Kita akan lakukan perombakan,” kata Pradipa perlahan. “Bukan hanya untuk membersihkan kabinet dari mereka yang ragu, tapi juga untuk mengirim pesan: saya masih memegang kendali.”

Salah satu menteri bertanya, “Apakah kita akan menyentuh orang-orang Gema?”

Pradipa menatap kosong sebentar, lalu menjawab, “Bukan hanya menyentuh. Kita akan memotong akarnya.”

Keputusan itu menandai awal dari strategi baru: Operasi Catur Putih. Sebuah rencana yang akan mengubah peta kekuasaan di ibu kota dalam hitungan minggu. Pradipa tahu, langkah ini akan memancing reaksi. Tapi ia juga tahu, diam adalah kematian yang pelan.

Lima hari setelah api kerusuhan padam, ibu kota terlihat tenang di permukaan, namun di bawahnya, arus politik mengalir deras dan berbahaya. Dalam waktu dekat, rakyat akan menyaksikan reshuffle kabinet yang bukan sekadar pergantian kursi, melainkan manuver untuk mempertahankan tahta.

Yang belum diketahui publik adalah, reshuffle ini hanyalah babak pertama dari pertarungan panjang—dan tidak semua yang duduk di kursi kekuasaan akan selamat saat badai berikutnya datang

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K