Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Di balik aliran bensin yang mengisi jutaan kendaraan rakyat setiap hari, tersimpan praktik curang yang terstruktur dan sistematis. Kali ini, sorotan tajam mengarah pada dugaan praktik blending ilegal BBM jenis Pertalite yang dilakukan di Terminal PPN Patra Niaga, Merak, Banten. Praktik ini bukan hanya merugikan negara secara finansial, tapi juga membahayakan kualitas bahan bakar yang dikonsumsi masyarakat.
Blending atau pencampuran BBM merupakan proses penting yang biasanya dilakukan di kilang minyak dengan pengawasan ketat dan standar mutu yang jelas. Namun, menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, proses blending Pertalite justru diduga dilakukan secara tidak resmi di terminal milik anak usaha Pertamina itu.
“Proses blending yang seharusnya dilakukan di kilang, diduga dilakukan di terminal PPN Patra Niaga, depo BBM yang ada di Merak,” ujar Yusri.
Blending ilegal ini dilakukan dengan mencampurkan produk BBM non-standar atau intermediate—seperti naptha, kondensat, atau komponen oktan rendah—dengan bahan bakar lain untuk menghasilkan Pertalite. Hasilnya, BBM yang beredar di masyarakat memiliki kualitas lebih rendah dari standar RON 90 yang seharusnya dimiliki Pertalite. Praktik ini bukan hanya menurunkan performa kendaraan dan mempercepat kerusakan mesin, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap BUMN energi.
Dampaknya tidak kecil. Negara justru membayar kompensasi kepada Pertamina dan mitra swastanya berdasarkan harga eceran resmi Pertalite, padahal produk yang dijual ke pasar kemungkinan besar tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan.
“Kerugian negara akibat pembayaran dana kompensasi BBM jenis Pertalite yang tidak sesuai, di mana Pertamina dan PTPPN memberikan harga jual di bawah harga jual terendah,” ungkap Yusri.
Dengan kata lain, subsidi energi yang seharusnya digunakan untuk membantu rakyat malah dikorupsi lewat praktik manipulatif ini. Dana triliunan rupiah dari APBN dibayarkan untuk produk yang seharusnya tidak layak mendapat subsidi penuh. Hal ini melanggar prinsip keadilan, transparansi, dan efisiensi dalam tata kelola energi.
Blending ilegal BBM juga membuka peluang kolusi dan praktik mafia migas, di mana pemain-pemain tertentu mengatur volume dan kualitas produk tanpa kontrol regulator yang memadai. Terminal Merak, yang seharusnya hanya menjadi titik distribusi, justru berubah menjadi pusat kegiatan teknis yang tidak diawasi ketat. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa permainan ini melibatkan jaringan luas di internal BUMN dan instansi terkait.
Kasus blending ilegal Pertalite ini menjadi sinyal bahaya bahwa tata kelola energi nasional masih rapuh dan rawan disusupi oleh kepentingan rente. Jika tidak segera dibenahi, kepercayaan rakyat terhadap negara dan BUMN akan terus terkikis.
Blending di Terminal Merak Ilegal
Pakar energi mengingatkan bahwa pencampuran bahan bakar minyak (BBM) yang akan dijual kepada masyarakat harus dilakukan di kilang minyak, bukan di depo pemasaran, agar memenuhi standar keselamatan dan kualitas.
Direktur Eksekutif Pusat Energi dan Sumber Daya Indonesia (CERI), Yusri Usman, mengatakan kilang dilengkapi dengan fasilitas khusus dan sistem pemantauan ketat yang akan memastikan terpenuhinya standar yang dipersyaratkan.
“Beberapa kilang Pertamina, seperti di Cilacap, Balikpapan, dan Balongan, memiliki fasilitas yang memungkinkan pencampuran berbagai hidrokarbon menjadi produk akhir seperti Pertamax dan Pertalite,” kata Yusri pada Jumat, 28 Februari 2025, merujuk pada dua produk BBM dari PT. Pertamina dengan Research Octane Number (RON) masing-masing 92 dan 90.
Ia mengutip kesaksian dua pensiunan direktur kilang Pertamina bahwa pencampuran BBM di kilang merupakan prosedur standar yang harus diikuti untuk menjaga kualitasnya.
Ia mencontohkan, kasus korupsi yang baru-baru ini diungkap Kejaksaan Agung pada Februari 2025 menunjukkan bahwa pencampuran bahan bakar diduga dilakukan di depo pemasaran atau di fasilitas milik PT Orbit Terminal Merak, sebuah perusahaan swasta yang dilaporkan memiliki depo untuk bahan bakar impor.
“Ini praktik yang tidak lazim, karena depo seharusnya hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan distribusi, bukan sebagai tempat produksi atau pencampuran,” kata Yusri, seraya menambahkan bahwa praktik tersebut melanggar peraturan izin pencampuran yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Depo minyak PT Orbit Terminal Merak (OTM) milik Muhammad Kerry Andrianto Riza (anak Riza Khalid) disita Kejaksaan Agung
Menurut Yusri, pencampuran di depo diduga dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar secara tidak resmi, seperti mengubah RON 90 menjadi RON 92. Praktik ini dapat merugikan negara dan konsumen, karena produk yang dijual mungkin tidak memenuhi spesifikasi yang dipersyaratkan.
“Pencampuran di kilang mengikuti prosedur standar, menggunakan peralatan digital dan laboratorium kendali mutu yang tersertifikasi dengan mesin uji oktan yang identik dengan yang digunakan oleh Lemigas, sebuah laboratorium independen,” kata Yusri, seperti dikutip indonesiabusinesspost.com, edisi 3 Maret 2025
“Pencampuran bahan bakar di luar kilang merupakan penyimpangan dari prosedur standar dan dapat mengindikasikan masalah yang lebih besar, seperti manipulasi harga atau kualitas. Investigasi yang sedang berlangsung menunjukkan bahwa penyimpangan tersebut dapat berdampak luas secara ekonomi dan teknis,” tambah Yusri.
Pengawasan yang lebih ketat
Mengacu pada pengalaman praktis kedua pensiunan direktur kilang Pertamina, Yusri mengatakan bahwa PT. Patra Niaga sebagai subholding komersial dan perdagangan PT. seharusnya hanya menerima produk bahan bakar jadi atau, jika efisiensi biaya menjadi pertimbangan, menerapkan metode produksi yang tepat.
“Bahan bakar impor dapat dikirim ke kilang untuk dicampur, dengan biaya pencampuran dialokasikan ke kilang. Pencampuran tidak boleh diserahkan kepada pihak ketiga dengan fasilitas yang tidak memadai dan metode pengendalian mutu yang tidak terstandarisasi, karena hal ini menimbulkan risiko tinggi penipuan terkait kualitas bahan bakar,” ujarnya.
Ia mendesak pihak berwenang untuk memeriksa infrastruktur fasilitas pencampuran pihak ketiga untuk menentukan apakah mereka memenuhi standar yang tepat dan apakah kualitas bahan bakar mereka telah diverifikasi oleh Lemigas.
Menggabungkan operasi penyulingan dan pemasaran
Ke depannya, Yusri menyarankan agar seluruh produksi dan pengadaan ditangani oleh kilang, sementara Patra Niaga fokus sepenuhnya pada distribusi bahan bakar.
“Alternatifnya, operasi penyulingan dan pemasaran Pertamina dapat digabung menjadi satu entitas sub-holding hilir, menjadikannya unit bisnis lengkap yang bertanggung jawab atas produksi dan penjualan. Tidak ada produsen yang boleh dibatasi untuk menjual produknya sendiri,” ujarnya.
Sedangkan untuk PT. Perkapalan Internasional (Pertamina International Shipping/PIS), Yusri menyatakan bahwa penggabungannya ke dalam entitas yang sama tidak diperlukan pada tahap ini, karena layanan transportasi dapat dialihdayakan jika lebih hemat biaya.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga artikel terkait:
Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (1): Riza Chalid Akali Kontrak Terminal Merak
Related Posts
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
PT Soechi Lines Tbk, PT Multi Ocean Shipyard dan PT Sukses Inkor Maritim Bantah Terkait Pemesanan Tanker Pertamina
ISPA Jadi Alarm Nasional: Yahya Zaini Peringatkan Ancaman Krisis Kesehatan Urban
Kerusakan besar ekosistem Gaza, runtuhnya sistem air, pangan, dan pertanian akibat serangan Israel
Ilmuwan Gunakan AI untuk Ungkap Rahasia Dasar Laut Antartika
Kepala Desa Tirak, Suprapto, Membisu Soal Status Anaknya Yang Diduga Pembebasan Bersyarat (PB) Kasus Narkoba, Lolos Seleksi Calon Perangkat Desa
Jerat Jalur Merah: Ketika Bea Cukai Jadi Diktator Ekonomi
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Mahfud MD Guncang Kemenkeu: Bongkar Skandal 3,5 Ton Emas dan TPPU Rp189 Triliun di Bea Cukai!
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
No Responses