Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Paradoks Indonesia yang dirumuskan Prabowo Subiyanto adalah bukti empirik bahwa Republik ini telah mengalami deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, menjauhi fitrah cita negara Proklamasi yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa dalam UUD 18/8/1945.
Deformasi itu dimulai sejak norma-norma dasar kehidupan berbangsa dan bernegara itu sebagai kesepakatan para pendiri bangsa diganti oleh kaum reformis yang mendendam pada Soeharto, juga Habibie, menjadi UUD 10/8/2002 hasil 4 kali perubahan ugal-ugalan. Kaum reformis ini ditunggangi oleh unsur-unsur asing nekolimik yang sejak lama berusaha mengganti UUD 18/8/1945 dengan berbagai cara segera setelah ditetapkan.
UUD 10/8/2002 itu telah memberi monopoli politik pada partai-partai politik, sekaligus menggusur MPR sebagai lembaga tertinggi negara sekaligus pelaksana kedaulatan rakyat. Presiden dan wakil presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung oleh 160 juta pemilih bukanlah mandataris MPR yang melaksanakan GBHN, tetapi petugas partai yang menjalankan agenda partai politik beserta bandar politik yang mendukung logistik partai politik. No more no less. Para bandar dan elite parpol pada dasarnya adalah swasta, karena terpilih bukan melalui pemilu, tanpa mandat rakyat.
Jika politik adalah urusan publik atau public goods maka tidak bisa diswastakan, apalagi diberikan secara hampir monopolistik pada organisasi tertentu saja seperti partai politik. Jika politik itu untuk semua, makan harus oleh semua. Seperti pendidikan tidak boleh dimonopoli oleh sekolah, politik tidak bisa diserahkan hanya pada partai politik.
Monopoli ini akan menyebabkan politik menjadi langka, sehingga makin mahal. Akibatnya seperti kita tidak mampu membayangkan pendidikan tanpa sekolah, kita tidak mampu membayangkan politik tanpa partai politik. Untuk mengurangi tendensi monopoli politik oleh parpol, kita harus melakukan deparpolitisasi, seperti kita harus melakukan desekolahisasi untuk memperluas kesempatan belajar.
Setiap organisasi, atau perorangan, seharusnya boleh mangajukan calon dalam kontestasi jabatan-jabatan publik. Parpol, jika harus ada, hanya sebagai event organizer saja. Keberadaannya bersifat ad hoc atau panitya sementara. Setelah pemilu dia wajib bubar. Menjelang Pemilu, parpol boleh ada lagi untuk memberi semacam kanal bagi aspirasi politik tertentu.
Noam Chomsky, seorang kritikus paling tersohor atas kebijakan-kebijakan internasional AS abad ini mengatakan bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini adalah partai politik AS, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Bukan ISIS atau al Qaeda. Apalagi FPI atau HTI. Di Indonesia, zaman Orla dulu partai itu adalah PKI. Di zaman Orba Golkar. Di zaman reformasi ini PDIP. Sebentar lagi mungkin Gerindra atau PSI.
Kini terpulang pada presiden Prabowo apakah reformasi partai politik sebagai koreksi atas Paradoks Indonesia akan terjadi dalam waktu dekat. Sebagai Ketua Umum Gerindra, reformasi parpol ini akan pertama mengena pada Gerindra yang dia dirikan sendiri 20 tahun silam. Apalagi platform politik Gerindra adalah UUD 18/8/1945.
Tuntutan reformasi kepolisian sebagai akibat power game liar yang disediakan oleh UUD 10/8/2002 adalah reaksi atas maladministrasi publik yang lahir akibat monopoli parpol ini.
Sambil mengenang tragedi G30S/PKI hari ini, hendaknya diingat bahwa selama 10 tahun terakhir, Jokowi yang ditendang keluar dari PDIP, telah berhasil melahirkan PSI dan Parcok.
@Gunung Anyar, Surabaya. 30/9/2025.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Demokrasi Dan Meritokrasi Ala Indonesia
Api Diujung Agustus (Seri 17) – Retakan di Dalam Bayangan
Elon Musk, Steve Bannon, dan Peter Thiel tercantum dalam dokumen terbaru Epstein
Pungutan Liar 30% di Balik Sewa Kapal Tanker: Terbongkar Sumber Korupsi Ratusan Triliun di Tubuh Pertamina
Kapal Hantu, Dana Siluman, dan Perusahaan Cangkang: Skandal Korupsi PIS 285 Triliun Dibongkar
Spiritualitas Dalam Pembangunan Bangsa
Dua Tim Reformasi
GSW : Monumen Kegagalan Lain Setelah IKN?
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (21): Membongkar Jejaring Internasional Riza Chalid
KPK Terkesan Mengulur Waktu Dalam Menetapkan Tersangka
No Responses